Saat ARA Menanyakan Tuhan



“Setiap anak adalah filosof.” Kalimat ini saya temukan dalam buku The Sophie’s World karangan Jostein Gaarder. Dulu, saya tak memahami makna kalimat ini. Tapi setelah memiliki anak yang banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan, saya mulai mengakui kebenaran pernyataan Gaarder.

Jujur, saya sering speechless, kehabisan kata saat harus menjawab pertanyaan anak saya Ara. Di usianya yang lima tahun, ia tumbuh sebagai anak yang menanyakan segala hal. Saya tak selalu punya jawaban jitu yang mengatasi dahaga pengetahuannya. Saat ia bertanya tentang Tuhan dan mendebat jawaban yang saya berikan, saya kehilangan kata. Saya menyadari bahwa pertanyaan seorang anak sangatlah mendasar. Pertanyaannya sangat filosofis.

***

HARI itu, anak saya Ara tiba-tiba datang dengan pertanyaan. “Ayah, di mana Tuhan?” Biasanya, saya menikmati sorot matanya yang ingin tahu banyak hal. Biasanya pula, saya punya jawaban atas pertanyaannya. Seiring waktu, pertanyaannya semakin sulit untuk dijawab. Saat bertanya tentang di mana Tuhan, saya memberi jawaban standar yang sering dikemukakan orang Indonesia. “Tuhan itu ada di langit. Jauh.”

Ara sempat terdiam. Sedetik kemudian, raut wajahnya kembali bingung. Ia lalu berkomentar.

“Kalau Tuhan itu di langit, artinya Tuhan ada di dekat awan yaa. Trus, kalau Ara naik pesawat, Ara bisa lihat Tuhan dong,” katanya.
“Tuhan itu jauh di langit. Ara tidak akan bisa lihat dari pesawat,” kata saya setelah sempat terdiam.
“Kalau Tuhan lebih tinggi lagi, artinya Tuhan itu di dekat planet yaa. Jangan-jangan Tuhan itu alien yaaa”

Saya kehabisan kata. Rasanya tak percaya anak sekecil itu bisa melakukan deduksi dari sejumlah premis yang saya ajukan. Ia serupa Sherlock Holmes, detektif yang tinggal di Baker Street dalam kisah yang ditulis Sir Arthur Conan Doyle. Saya baru sadar kalau jawaban saya bisa ditafsir secara berbeda. Seorang anak menalar dengan lebih jernih, lalu mengajukan pertanyaan yang menohok. Jika ini permainan catur, saya telah dikenai skakmat atas bidak catur yang dimainkannya.

Komentarnya membuat saya harus meralat pernyataan sebelumnya. Dengan sedikit malu karena gagal memberikan jawaban yang memuaskan dahaganya, saya lalu memberikan jawaban sederhana. “Nak, Tuhan itu ada hati Ara. Kalau Ara berbuat baik, ada Tuhan di situ. Tapi kalau Ara berbuat jahat, maka di situ ada setan.” Dialog berhenti. Ia kembali bermain.

Saat itu, saya memikirkan bahwa tak selalu mudah memberikan jawaban sederhana atas pertanyaan seorang anak. Saya tidak tumbuh dalam iklim sedemokratis anak saya. Dahulu, mengajukan pertanyaan tertentu dianggap pamali. Anak kecil dianggap tidak tahu apa-apa. Orang dewasa yang berhak untuk mengatakan apakah pertanyaan seorang anak layak diajukan ataukah tidak. Kadang, seorang anak ditakut-takuti saat menanyakan hal tertentu yang barangkali dianggap tabu. Di sejumlah tempat di kawasan timur, terdapat ungkapan, “Anak kecil tau apa. Cuci kaki baru bobo.” Dugaan saya, pernyataan itu muncul disebabkan orang dewasa tidak menemukan diksi yang tepat untuk menjawab pertanyaan anak. Bisa jadi, seorang anak mengajukan pertanyaan yang amat mendasar, yang justru tidak terpikirkan oleh seorang dewasa.

Suatu hari, Ara ke rumah sambil menangis. Saat melihat saya dan ibunya, ia lalu berkata,

“Ayah. Mama. Ara takut mati,” katanya.
“Siapa yang kasih tahu tentang mati?” tanya saya,
“Tadi Ara main ke rumah Noura. Kata Noura, semua orang pasti akan mati,”
“Iya Nak. Semua orang pasti akan mati.”
“Ara tidak mau. Ara tidak ingin ayah, mama, dan adek mati. Ara ingin semuanya besar, terus jadi nenek.”

Saat itu saya ingin katakan kalau kematian bisa datang kapan saja. Tak perlu harus menunggu sampai kakek-nenek. Tapi saya mengurungkan jawaban itu. Saya ingin mmberi tahu kalau kehidupan dan kematian adalah sesuatu yang berpasangan. Takdir kehidupan adalah bertemu kematian. Mengutip biksu Ajahn Brahm, kematian tak harus diratapi dengan penuh nestapa. Ia harus dihadapi dengan riang, dan dianggap sebagai proses yang memang harus dijalani.

Bagi anak seusia Ara, informasi tak hanya datang dari dialog-dialog dengan ayah ibunya. Informasi bisa datang dari manapun. Ia bisa menyerap informasi dari banyak pihak. Dirinya serupa spon yang menyerap air informasi dengan cepat, lalu mengecek lagi kebenaran semua informasi itu pada pihak lain.

Yang harus dilakukan adalah menjadi sahabat dekat yang mendengarkan semua pertanyaannya. Saya selalu berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Namun, menghadapi seorang anak tidak sama dengan menghadapi orang dewasa. Anak kecil memiliki penalaran yang sistematis dan seringkali memberi jawaban yang mengejutkan. Kita harus pandai-pandai memberikan jawaban. Sebab jawaban yang kita berikan akan diolah kembali dengan penalarannya, lalu memunculkan banyak pertanyaan lain.

Saya lalu mengecek buku-buku di rak belajar. Saya hanya menemukan satu buku yang fokus pada bagaimana memberikan jawaban atas pertanyaan seorang anak. Buku itu berjudul M Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak tentang Islam. Tapi saat saya membuka-buka buku itu, saya menemukan kalau bahasa dalam buku itu sepertinya ditujukan untuk orang dewasa. Minimal bisa dipahami anak seusia sekolah menengah. Buku itu tak tepat digunakan untuk menjawab pertanyaan Ara.

Benar kata Jostein Gaarder. Seorang anak memang seorang filosof yang mengajukan pertanyaan mendasar. Saya teringat kisah tentang Socrates yang berjalan-jalan di Athena, lalu memberikan pertanyaan mendasar ke banyak orang. Sedemikian mendasarnya pertanyaan itu sehingga membuat banyak orang kehilangan kata. Tanpa mau mengakuinya nalarnya yang terbatas, banyak orang memilih untuk mengatai Socrates sebagai orang gila. Dengan menyebut Socrates gila, maka orang-orang hendak berlindung dibalik ketidaktahuannya atas hal-hal mendasar yang ditanyakan.

Posisi anak kecil serupa Socrates yang menusik kemapanan berpikir orang dewasa. Barangkali, sebagai orang dewasa, saya tak cukup menghabiskan waktu untuk mencari tahu di manakah posisi Tuhan. Tak semua orang mendengar bahwa seorang sufi berkata bahwa pertanyaan di mana Tuhan adalah pertanyaan yang keliru, sebab kita mendefinisikan Tuhan serupa materi yang bisa ditentukan posisinya. Tuhan ada di mana-mana. Ia melingkupi segala sesuatu. Ia adalah awal dan akhir.

Satu lagi, seorang anak paling bisa menemukan inkonsistensi dalam setiap jawaban. Minggu lalu, saya pernah berkata kepada Ara bahwa salat itu wajib bagi setiap orang. Hari ini ia datang dengan pertanyaan, “Kata Ayah, semua orang harus salat. Tapi kok Ara jarang lihat Ayah salat?”

Hah? Saya ingin marah. Saya ingin berkata “Anak kecil tau apa.” Tapi sejurus kemudian, saya terdiam. Ah, dia benar.



Bogor, 27 September 2016

16 komentar:

Imron Fhatoni mengatakan...

Tadi sempat jalan2 ke gramed mataram bang, sebenarnya saya mencari buku bang yusran yang berjudul membangun kampung nelayan, karena kebetulan ayah saya adalah seorang nelayan dan saya tinggal tidak jauh dari daerah labuan, tepatnya perkampungan orang2 bugis disumbawa. Tapi di gramedia tidak ada bang, satu2 nya buku bang yusran yang pernah masuk hanyalah Kopi Sumatra di Amerika katanya, tapi itupun telah habis terjual. Nasib yang dari timur bang hehe. Tapi saya menikmati cerita Ara malam ini. Semoga bulan depan buku terbaru abang bisa dijumpai di gramedia mataram

Yusran Darmawan mengatakan...

wah... terimakasih banyak bro. sy selalu bahagia kalau ada yang membaca artikel di blog ini. salam.

Rama mengatakan...

saya suka tulisan tulisanmu Bang Yus,jujur dan lugas,bilehkan jadi fansmu hahaha

Kuliner Ala Ghaziya mengatakan...

Paragrap terakhir menarik bang,bisa saja jawaban abang shalatnya tak kelihatan karena selama ini sholatnya selalu di masjid...he'he..salam bang.

Unknown mengatakan...

selalu suka... btw, om yusran, tulisan ini jadi bikin saya bersiap2 ngadepin pertanyaan2 serupa yg mungkin ditanyakan anak2 saya kelak.. terima kasih, om. :)

Unknown mengatakan...

Diam2 saya juga sering belajar menulis dgn menikmati tilisan abang di blog ini..hehe

Yusran Darmawan mengatakan...

ah ibu rama. dirimu suka bercanda nih.

Yusran Darmawan mengatakan...

hahahaha. masukan yang bagus sebagai jawaban kalau2 dia nanya lagi hal yang sama.

Yusran Darmawan mengatakan...

iya sih. pertanyaan ini memang pasti akan muncul dari anak2.

DAMANG mengatakan...

banyak hal yg bisa dipelajari dr anak-anak kita, salah satunya betapa pemaafnya iya, ketika dipukul oleh ayahnya, dimarahi, beberapa saat kemudian ia kembali akan memeluk ayahnya, ini yg hilang dikehidupan kita yg sdh merasa dewasa

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih bro

Yusran Darmawan mengatakan...

betul. ada banyak hal yang bisa dipelajari dari anak2.

irwan mengatakan...

salam bang,,,menarik tulisannya bang,, bang punya koleksi tentang buku-buku yang berkaitan dgn Buton?

Yusran Darmawan mengatakan...

mau nyari buku apa bro?

Nahri mengatakan...

Salut..Tulisan yang membumi dan sesuai realitas. Setiap orang tua mengalami hal ini...

Nahri mengatakan...

Tulisan menarik, membumi dan sesuai realitas. Setiap orang tua pasti mengalami pertanyaan-pertanyaan itu....

Posting Komentar