Saat THEMIS Mengayunkan Pedangnya

Dewi Themis

SEORANG petinggi negara tertangkap karena melakukan korupsi. Tapi orang-orang justru meributkan berapa jumlah yang dikorupsi. Ada yang menulis bahwa jumlah itu tak sebanding dengan harta kekayaan petinggi negara itu. Ada pula yang berkomentar kalau banyak kasus lain yang harusnya bisa diatasi lebih dahulu.

Di mata saya, korupsi tak terkait dengan angka-angka. Korupsi tak pernah terkait dengan berapa banyak jumlah hartamu. Korupsi tak punya relasi dengan biaya yang dikeluarkan untuk naik ke tampuk kekuasaan. Korupsi tak berhubungan dengan berapa banyak sumbangan yang anda berikan ke Majelis Taklim. Tak ada pula kaitan dengan berapa banyak lidah seseorang melafalkan doa-doa dan zikir.

Korupsi itu terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri. Korupsi itu adalah tindakan menimbun kekayaan, yang dimulai dari sekeping, lalu membukit. Semakin besar kuasa di tangan seseorang, maka semakin jahat pula korupsi yang dilakukannya. Sebab jabatan itu serupa payung, yang seharusnya melindungi dan memberdayakan pihak lain. Di tangan seorang pejabat korup, payung itu digunakan untuk menutupi praktik politik yang

Sungguh naif argumentasi yang menyoroti korupsi hanya dari sisi jumlah. Berapa pun jumlahnya, selagi seseorang mengambil sesuatu yang bukan hanya, maka seseorang wajib mendapatkan banyak pertanyaan. Seorang anak yang mengambil sekeping logam, mesti mendapat teguran dari orangtuanya agar tidak melakukannya lagi. Jauh lebih baik meminta, ketimbang mengambil sesuatu yang bukan hak. Jika seseorang adalah pejabat, maka amanah yang diembannya akan lebih besar. Ia mesti menampilkan keteladanan, salah satunya adalah tidak mengambil sepeserpun sesuatu yang bukan miliknya.

Terhadap setiap kasus korupsi, kita mendesak sekuat tenaga agar negara segera mengungkapnya. Tak ada debat tentang ukuran sebesar zarrah ataukah tidak. Selagi itu bernama korupsi, kita akan menghajarnya sebab berpotensis ebagai virus yang akan menggergoti semua tananan. Kita mendesak semua kasus dituntaskan, tapi bukan berarti kita mengabaikan kepingan-kepingan kecil yang dilakukan seorang berharta.

Tak peduli besar kecil kasusnya, selagi seseorang menjadi pejabat publik, maka dirinya harus berbuat adil dan bersih dari segala tindak yang bisa membahayakan bangsa ini. Risiko menjadi pejabat publik adalah bersedia diawasi dan menjalani kehidupan yang seharusnya membawa teladan bagi orang banyak.

Seorang pejabat memang harus serupa malaikat. Mereka tak boleh sedikitpun melakukan kesalahan. Mereka membawa amanah untuk menegakkan hukum, memberikan keteladanan bagi masyarakat, menghadirkan nilai-nilai kebaikan, dan menjadi cahaya terang bagi masyarakat. Jika mereka melakukan secuil tindakan tak terpuji, maka bisa berdampak pada orang banyak. Jika mereka berbuat curang, maka risikonya ditanggung banyak pihak. Tak heran jika seorang pejabat menerima gaji tinggi, yang diambil dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat dalam setiap aktivitasnya.

Tentu saja, rakyat punya saham atas semua gaji tinggi pada para pejabat. Dari gaji yang diterima setiap bulan itu, ada keikhlasan seorang penjual telur yang dipotong sekian rupiah. Boleh jadi, di situ ada sekian persen dari seorang bapak yang membanting tulang sebagai sopir. Barangkali di situ ada jejak pembayaran seoran petani yang baru saja menjual hasil panen. Atau dipotong dari bayaran seorang pekerja seks yang menggadaikan kehormatannya demi membeli beberapa lembar kain di satu pasar rakyat.

Sebagai rakyat, kita punya hak untuk mencela seseorang yang digaji tinggi dari setiap peser uang yang kita bayarkan. Kita punya hak untuk mempertanyakan amanah yang kita titipkan untuk digunakan sebaik-baiknya demi maslahat orang banyak. Penyimpangan atas itu adalah sesuatu yang tak termaafkan, demi membangun masa depan yag lebih baik. Demi Indonesia bebas korupsi, maka seyogyanya pejabat korup harus segera dilengserkan.

Saya masih tak percaya atas apa yang terjadi kemarin. Pejabat yang tertangkap tangan itu disebut-sebut sebagai seseorang yang cemerlang dalam karier dan pemikiran. Malah ia pernah dinominasikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Tapi demikianlah pedang keadilan yang dibawa Dewi Themis bisa menebas siapapun pelakunya.

Themis, yang maknanya dipadankan dengan Iustitia atau Justitia, membawa timbangan dan pedang dengan mata tertutup. Ia tak memandang siapapun pelakunya. Ia melihat timbangan, lalu menentukan seberapa jujur seseorang lalu menjadikan pedangnya sebagai pengadil. Ia hanya memandang masa depan, yang diraih dengan membersihkan masa kini dari semua orang berwatak jahat.

Dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta sana, kita mendengar kabar kalau Themis sedang mengayunkan pedangnya.



Bogor, 18 September 2016

5 komentar:

Maria Etha mengatakan...

Antara nyeri dan ngilu, sudah tiada lagi kah org yg bs dipercaya?

Yusran Darmawan mengatakan...

saya yakin banyak yang bisa dipercaya. kita hanya perlu mendirin hukum yang adil, yang bisa memunculkan figur2 baik itu di sekitar kita.

erwan_saripudin mengatakan...

Themis... Mengayunlah... Mengayunlah...
Keren bang

Yusran Darmawan mengatakan...

hahaha. makasih bro.

Imron Fhatoni mengatakan...

Dulu ada oknum yang sempat mengusulkan hukuman mati bagi koruptor..hal itu pula yang kemudian menjadikan dia tersangka baru-baru ini, kemudian membuat kepercayaan publik luntur seketika. Saya masih menyimpan buku beliau dilema ri saya sampai sekarang hihi.

Selamat siang bang Yusran.

Posting Komentar