banner kegiatan |
SEORANG sahabat mengundang saya untuk sharing
pengetahuan tentang blogging ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tak saya
sangka, perjalanan itu menjadi perjalanan yang mengesankan. Saya bertemu banyak
sahabat-sahabat muda yang menggeluti dunia teknologi informasi. Dalam usia
muda, pengalaman mereka sangat mengesankan saya. Mereka adalah para blogger,
web designer, penulis buku, pengelola start-up, pembuat aplikasi di android,
social media marketer, hingga para praktisi IT.
Mereka diikat oleh visi yang sama, yakni
bagaimana mempromosikan Lombok-Sumbawa menjadi salah satu kiblat pariwisata
dunia. Di ranah maya, mereka sangat produktif dalam mereproduksi konten dan
segala informasi tentang wilayah itu. Dalam hati, saya membatin, bahwa generasi
inilah yang akan menentukan sejauh mana citra dan persepsi publik terhadap
wilayah itu. Generasi inilah yang akan mengubah dunia, menentukan persepsi dan
opini publik masa depan, lalu merancang perubahan melalui langkah-langkah
sederhana.
Melihat yang muda itu, saya membayangkan
revolusi!
***
BUKAN sekali saya menghadiri pertemuan yang
dihadiri para blogger. Di Kota Jakarta, saya dua kali menghadiri pesta blogger
yang mempertemukan mereka yang kerap berselancar di dunia maya. Setiap pesta
blogger, selalu meninggalkan impresi yang dalam di hati saya. Betapa tidak,
saya bisa bertemu dengan banyak orang yang selama ini hanya dibaca namanya dan
ditelusuri ruang-ruang berpikirnya. Selalu membahagiakan saat bertemu mereka
yang kerap anonim di dunia maya.
Di setiap pesta blogger, saya selalu
terheran-heran karena acara itu disponsori oleh US Embassy (Kedutaan Besar
Amerika Serikat). Saya lalu menduga-duga bahwa pihak kedutaan negeri Paman Sam
itu telah lama memiliki prediksi bahwa dunia teknologi informasi akan menjadi
atmosfer demokratis yang akan mengubah semua tatanan. Dunia informasi akan
mengubah peta sosial, peta bisnis, dan juga peta intelektualitas dunia. Melalui
jendela kecil di layar ponsel dan laptop, orang-orang melempar ide ke ruang
maya. Ide itu lalu beresonansi dengan semesta serta orang-orang yang berpikiran
sama.
Pemerintah kita terlambat sadar bahwa dunia
sedang berubah secara perlahan. Nantilah kehadiran Gojek, Grab-Bike, dan Uber
bisa dikatakan sebagai satu dentuman yang mengejutkan pemerintah bahwa bisnis
pun perlahan berubah dengan kehadiran berbagai aplikasi. Padahal, di ranah lain
pun perubahan sudah lama muncul. Di bidang informasi, kehadiran para blogger
tak bisa lagi disepelekan. Cepat atau lambat, mereka mulai menjadi kiblat yang
meruntuhkan otoritas berbagai media mainstream.
Dua tahun silam, saya sudah punya firasat bahwa
komunitas blogger akan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Hanya saja, saya
tidak menyangka bahwa tumbuhnya jauh lebih cepat dari yang bisa saya bayangkan.
Hampir di semua kota, komunitas ini bermunculan dan membangun satu tradisi,
yang dahulu dibiakkan oleh media-media mainstream. Kehadiran para blogger telah
‘memaksa’ lanskap media untuk berubah. Para blogger membangun komunitas dan
bertukar gagasan dalam satu atmosfer informasi. Mereka saling membaca karya
masing-masing, saling mengapresiasi, lalu memperdalam pengetahuan melalui
interaksi.
para peserta |
Hampir di semua tempat, para blogger baru
bermunculan. Di mana-mana, komunitas blogger selalu beririsan dengan komunitas
lainnya, mulai dari fotografer, web designer, pengelola start-up, pembuat
aplikasi, videografer, hingga komunitas pembuat game. Saya bisa memahami
irisan-irisan ini sebab mereka semua adalah generasi muda yang memang sejak
awal melek pada dunia internet dan teknologi komunikasi. Para ahli menyebut
mereka dalam berbagai nama. Ada yang menyebutnya Generasi Y, ada pula yang
menyebutnya Net Generation. Bahkan
ada yang menyebutnya digital native, warga
asli era digital, yang sejak usia belia sudah terbiasa dnegan teknologi layar
sentuh.
Kehadiran mereka ditandai ketidakpahaman para digital
immigrant, generasi lama yang melihat dunia digital seringkali dengan perasan
curiga. Generasi baru ini sering dilihat dnegan cara pandang lama. Kebiasaan
menjelajah di ranah digital dianggap tak berfaedah. Padahal, generasi ini
memiliki karakter yang berbeda. Mereka mengenal game dan terbiasa memainkannya
sejak usia belia. Mereka tak tunduk pada otoritas, individualis, dan lebih
asyik dengan dirinya. Namun di saat mereka terpanggil untuk melakukan sesuatu,
mereka bisa melakukan banyak hal-hal besar. Kemampuan inilah yang mengejutkan
pada diri mereka.
Saya teringat pada kisah tentang Chris Hughes.
Dalam usia 23 tahun, ia bertemu Barrack Obama, yang saat itu masih menjadi
senator. Obama meminta Chris untuk merancang kampanye yang berbasis dunia maya.
Chris menerimanya sebagai tantangan. Ia lalu membangun satu web yang diniatkan
sebagai kanal informasi, lalu menyebarkannya ke mana-mana. Ia juga
mengorganisir kaum muda, mengelola manajemen pencitraan di dunia maya,
menyebarkan berbagai pesan baik yang dimiliki Obama. Tak disangka, kerja keras
itu berbuah kesuksesan, saat Obama terpilih menjadi presiden.
***
DI Hotel Santika, Mataram, saya diminta berbicara
di hadapan para digital native. Tadinya, saya ingin berbicara tentang
sesuatu yang mendasar tentang bagaimana mengelola konten, serta membuat satu
blog dibanjiri pengunjung. Saya menyiapkan slide-slide tentang hal-hal mendasar
itu. Baru menjelaskan dua slide, saya meminta mereka untuk menanggapi materi.
Betapa saya terkejut karena mereka memiliki
pemahaman yang sangat baik, bahkan terhadap apa-apa yang belum saya tampilkan.
Mereka memahami bagaimana seharusnya membuat outline, mind-mapping, hingga
bagaimana mengemas konten dengan kreatif. Saya lalu menyerap banyak hal baru
melalui interaksi dengan mereka. Saya posisikan diri saya sebagai seorang murid
yang berhadapan dengan para guru berusia muda, yang telah lama bermain di ranah
digital.
Kesan saya, kemampuan mereka di atas rata-rata.
Yang mereka butuhkan adalah jam terbang serta keberanian untuk menjelajah
wilayah-wilayah di luar zona aman mereka. Mereka harus berani membuka jalan
baru, atau terus-menerus mengasah kemampuan dan kepekaannya dalam mengolah
berbagai produk baru. Tanpa keberanian itu, mereka bisa jalan di tempat, dan
kelak hanya memiliki kisanh tentang jelajah mereka yang terbatas di dunia IT.
Ciri khas generasi ini adalah kemampuan
menyerap dan mempelajari hal baru. Mereka mudah memahami cara kerja satu
aplikasi yang baru di-unduh di ponselnya. Hanya saja, generasi ini seringkali
tak bisa fokus pada satu titik. Kemampuan multi-tasking telah menuntun mereka
untuk selalu berpindah topik saat bersamaan, tanpa sempat menguasai sesuatu secara
mendalam.
banner kegiatan |
Saya bisa memahami kalau ada kritik mengenai
generasi ini yang hanya belajar melalui Google, tanpa membaca banyak buku-buku
bermutu. Tapi saya juga ingat penturan Don Tapscott dalam Grown Up Digital, kalau generasi ini melihat persoalan secara
berbeda. Mereka memang tak punya pengetahuan mendalam, sebagaimana seniornya. Namun
mereka bisa menyajikan sesuatu yang mendalam melalui hal-hal yang sederhana. Mereka
cerdas dalam mengemas pesan sehingga menjadi ringan dan sederhana. Di balik
sesuatu yang nampak biasa itu, tersimpan banyak hal luar biasa sebab dipahami
oleh banyak kalangan, dan bisa memantik perubahan sosial.
Anak-anak muda di Lombok-Sumbawa itu punya
kekuatan besar yang tak selalu dipahami banyak orang. Mereka nampak biasa, suka
bercanda, dan tak serius memperhatikan paparan di satu pertemuan. Akan tetapi,
di dunia maya, mereka punya pengaruh besar yang bisa mengubah wacana hanya
melalui ujung jemari mereka. Saat mereka bersatu, mereka serupa air bah yang
bisa menjebol satu tembok kukuh melalui penyajian informasi melalui berbagai
kanal blog dan media sosial. Merekrut mereka dalam satu barisan adalah langkah
strategis untuk menguasai masa depan.
Hal yang juga mengesankan di Lombok adalah
pertemuan para blogger itu diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB). Saya terkesan karena pemerintah daerah bisa membaca trend masa
kini. Mereka paham bahwa pariwisata hanya akan ‘berbunyi’ kalau terus-menerus
dikicaukan netizen dan disebarkan secara massif. Mengajak generasi muda
terlibat dalam satu agenda besar adalah langkah berani yang patut diacungi
jempol. Di banyak tempat, netizen dan blogger dipandang sebelah mata. Padahal
kekuatan mereka tak bisa lagi dipandang remeh. Merekalah yang menjadi
pengendali informasi di abad digital ini.
Kolaborasi antara pemerintah dan netizen ini
mesti dikelola dengan baik. Pemerintah harus terbuka dan lebih transparan
kepada mereka. Sebab sekali generasi ini menemukan kebohongan dan penyimpangan,
maka kepercayaan mereka bisa runtuh. Karakter mereka yang apolitis, atau tidak terlalu suka hal-hal yang berbau politik, akan
mencuat. Mereka bisa dengan mudah meninggalkan arena, kembali ke habitat mereka
yang anonim namun aktif di dunia maya. Malah, mereka bisa mengorganisir
perlawanan yang bisa menjatuhkan rezim.
Namun setidaknya, di Lombok, kita melihat
harapan tentang pariwisata yang akan terus semerbak mewangi ke mana-mana.
Bogor, 12 September 2016
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar