Kiat Cerdik Kalahkan Jokowi



JIKA panggung kampanye politik kita ibarat arena peperangan, maka para pengeritik Joko Widodo (Jokowi) sedang mempraktikkan strategi yang amat mudah dibaca. Mereka tak sanggup mengenali karakter media sosial, serta di mana letak kekuatan sang capres kerempeng itu. Jika serangan atas Jokowi terus-menerus gencar di media sosial, maka hasilnya bisa ditebak: Jokowi akan menang telak sebelum pertandingan. Tak percaya?

***

LELAKI itu berdiri dan menyaksikan arena pertempuran. Ia memandang dua pasukan yang sedang berhadapan. Ia melihat satu pasukan sibuk melancarkan yel-yel untuk menjelek-jelekkan musuhnya. Pasukan yang satu justru diam, bermain dalam tenang, sembari mengamati gerakan lawan, kemudian setia mengawasi angin.

Lelaki itu adalah Sun Tzu (535 SM), seorang ahli strategi perang. Melihat tingkah kedua pasukan itu, ia dengan mudahnya menebak akhir pertempuran itu. Ia melihat pasukan yang menunggu adalah pasukan yang lebih pandai menempatkan posisi. “Pemenangnya adalah pasukan yang menahan diri dari untuk menyerang musuh yang benderanya berdiri dalam posisi sempurna. Mereka tak benar-benar menunggu. Mereka setia mengawasi, sambil menyiapkan banyak ranjau. Inilah seni mempelajari kondisi. “

Dalam strategi Sun Tzu, pengenalan diri dan pengenalan musuh adalah kunci untuk memenangkan pertempuran. Mereka yang sesumbar akan lebih mudah dikalahkan. “Dia yang menang adalah dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri. Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko kalah dalam setiap pertempuran.”

Panggung kampanye politik Indonesia laksana sebuah arena peperangan. Semua kandidat calon presiden tengah memainkan posisi yang tengah disorot publik. Seuruh energi publik seakan ‘dipaksa’ untuk menyaksikan orkestra adu strategi serta taktik untuk memperebutkan citra positif di benak seluruh masyarakat.

Seminggu terakhir, kehebohan di panggung kampanye itu kian memanas. Segera setelah pengumuman tentang mandat yang diberikan Megawati kepada Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon Presiden RI, berbagai kecaman kepadanya secara bertubi-tubi mengalir di media sosial. Yang menarik, kecaman itu justru dilontarkan secara massif oleh mereka yang jelas-jelas menjadi tim sukses.

Berbagai jurus serangan telah dilancarkan. Mulai dari menyebut Jokowi didukung para taipan Cina, mengangkat isu agama, menghantam dengan isu ingkar janji atas sebuah perjanjian. Hingga puncaknya adalah menyebutnya sebagai capres boneka. Strategi serangan ini sejatinya bermuara pada harapan bahwa Jokowi akan meladeninya. Namun ketika Jokowi justru diam saja, dan membiarkan para pengeritik itu berbicara sendirian, maka hasilnya akan tertebak. Boleh jadi, publik akan lebih mengapresiasi sosok yang tenang serta fokus untuk menggapai apa yang hendak dituju. Publik akan lebih peduli pada dia yang diam, tapi setiap gerakannya selalu mengejutkan.

Mereka yang sering wara-wiri di media sosial itu justru tak paham karakter media sosial. Semakin anda membicarakan satu sosok, maka semakin populerlah sosok tersebut. Semakin anda menyerang seseorang, maka semakin terkenal seseorang tersebut. Proses ini akan berujung pada dua kemungkinan, apakah sosok itu akan disukai ataukah dibenci. Sebab alam semesta telah mengajarkan, semakin keras lentingan sebuah bola, maka semakin keras pula pantulannya.

Ketika Jokowi tak meladeni semua serangan atasnya, maka ia semakin menunjukkan kematangannya. Ia mendapatkan kekuatannya lewat simpati publik yang terus mengalir. Ketika ia mengabaikan semua serangan, maka ia menempatkan dirinya pada posisi yang lebih strategis.  Ia semakin menyentuh hati publik sebab mengubah semua energi negatif yang mengarah ke dirinya, menjadi energi positif. Inilah yang dimaksimalkannya.

Ada banyak pakar komunikasi di media sosial. Entah kenapa, tak banyak yang memahami bahwa strategi Jokowi itu bukanlah strategi pencitraan sebagaimana yang diajarkan dalam kelas-kelas kuliah. Kampanyenya berbiaya murah. Ia tak perlu membayar mahal semua televisi untuk mengiklankan dirinya, sebagaimana Prabowo, ARB, dan Wiranto. Ia juga tidak memaksimalkan media luar ruang seperti baliho ataupun pamflet demi memajang gambar dirinya bersama

Pencitraan Jokowi ditopang oleh desas-desus dan opini publik yang setiap saat membicarakan dirinya, terlepas dari segala pro dan kontra. Jika dipikir-pikir, strategi kampanye seperti ini lebih efektif dari miliaran rupiah iklan televisi dan baliho. Desas-desus tentang dirinya, yang justru dihembuskan oleh para lawan politiknya, bisa dikemas menjadi strategi efektif yang semakin mengokohkan namanya. Mereka yang menyerang Jokowi melalui media sosial justru tak sadar bahwa serangan itu ibarat energi yang makin mengokohkan posisinya.

Mereka yang menyerang Jokowi tak juga bisa mengidentifikasi bahwa kekuatan Jokowi adalah bisa menggerakkan banyak media untuk selalu membuat berita tentangnya. Mengapa? Sebab ia tahu apa yang diinginkan oleh media. Meskipun media punya calon presiden sendiri, media selalu butuh berita. Selagi definisi berita adalah sesuatu yang unik, aktual, serta menarik, maka berita tentang Jokowi tak akan pernah sepi.

Jika anda ingin dicitrakan media sebagaimana pria itu, kenalilah apa yang ingin diketahui publik tentang sosok yang anda inginkan. Mereka yang hendak mengalahkan Jokowi, pastilah paham bahwa sosok itu sejatinya punya banyak kelemahan. Tapi sosok itu justru tak hendak menutupi kelemahan. Ia mengakui bahwa banjir di Jakarta belum bisa diselesaikannya. Namun ia berhasil menunjukkan kepada orang banyak bahwa dirinya tidak sedang lari dari masalah. Ia bekerja menyelesaikan banjir, meskipun langkah itu belum juga selesai. Pantas saja jika survei membuktikan bahwa dirinya tidak dianggap sebagai faktor yang menghambat upaya penanganan banjir dan masalah lainnya di Jakarta. Positioning-nya beda dengan pemimpin sebelumnya yang justru dianggap tak melakukan apa-apa.

Nah, bagaimanakah kiat mengalahkan Jokowi? Mengacu pada Sun Tzu, pria itu hanya bisa dikalahkan dengan dua cara.

Pertama, kenali kekuatannya. Sejauh ini, Golkar dan ARB bisa memahami kekuatan itu, makanya mereka tak pernah menyerang Jokowi di media sosial. Mereka paham watak media sosial, sehingga lebih fokus pada hal-hal besar. Hnya saja, Golkar belum menemukan model kampanye efektif yang bsia membuat kandidat mereka unik, sebagaimana Jokowi.

Kedua, kenali kekuatan sendiri, lalu pahami masyarakat. Kata Sun Tzu, “Kita tidak akan bisa menggunakan keuntungan dari alam kecuali bila kita mendapat petunjuk dari penduduk setempat.” Makanya, jauh lebih baik jika fokus pada segala kelebihan dan kekuatan sendiri, ketimbang menghabiskan energi untuk menyerang Jokowi, yang justru semakin melambung namanya. Temukan cara yang lebih cerdik untuk mengarahkan energi dan menemukan model kampanye efektif yang bisa berbicara lebih nyaring kepada banyak orang tentang harapan besar untuk negeri yang lebih baik.

Mohon maaf. Saya bukan pendukung Jokowi. Saya hanya mengamati apa yang terjadi di panggung politik kita. Tabik!



0 komentar:

Posting Komentar