Puisi Soe Hok Gie di Tepian Cimory


payung-payung di Cimory

SEBAGAI warga Bogor, saya cukup beruntung sebab jarak ke Puncak hanya sepeminuman teh. Malangnya, saya justru jarang ke sana, sebab lalu lintas selalu macet. Puncak tak hanya milik warga Bogor. Puncak adalah milik warga Jakarta yang selalu membutuhkan relaksasi dan pelepas penat di tengah deru kehidupan yang kian padat. Beberapa kali saya terjebak dalam kepadatan kendaraan dan terjebak antrian hingga beberapa jam.

Belakangan saya menemukan saat terbaik mengunjungi Puncak. Jangan pernah datang saat akhir pekan atau liburan. Datanglah pada saat hari biasa, saat orang-orang sedang bekerja. Saat itu, keindahan kawasan Puncak seakan tersingkap. Kemacetan jalanan seakan tersibak. Saya menikmati perjalanan yang hanya ditempuh selama setengah jam dari rumah saya.

Satu tempat yang tak pernah saya lewatkan adalah Cimory. Ini adalah restoran yang menyajikan berbagai produk olahan susu. Daya tariknya bukan pada restoran dengan menu mahal. Daya tariknya terletak pada keindahan pemandangan dari restoran itu berupa sungai jernih yang mengalir di sela-sela bebatuan, suara gemuruh aliran air, hingga pohon-pohon hijau yang membentuk pagar untuk mengapit Cimory.

Setiap kali mengunjungi Cimory, dan memandang sungai jernih serta pegunungan hijau Pangrango di kejauhan, saya mengingat puisi yang dibuat Soe Hok Gie:

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi 
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada 
hutanmu adalah misteri segala 
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Saat kunjungan kemarin, saya menemukan sesuatu yang baru. Biasanya, area teras yang langsung menyentuh pagar untuk memandang sungai itu bebas diakses siapa saja. Kini, untuk memasuki area itu harus membayar sepuluh ribu rupiah, serta mendapatkan bonus berupa susu kedelai. Mengapa haus membayar?

“Pengunjung tak hanya bisa berdiri di teras dan memandang sungai. Tapi bisa menyeberang jembatan sana, lalu mengunjungi area di seberang sana,” kata perempuan yang memasangkan gelang kertas sebagai pertanda telah membayar.

Bersama istri Dwi, si kecil Ara dan bayi Anna, saya lalu memasuki teras Cimory. Pemandangannya selalu saja menakjubkan. Setelah mengambil beberapa pose, saya lalu mengikuti tepian teras, meniti di jalanan samping sungai, lalu menyeberang di jembatan kayu sebelah sana. Ternyata seberang Cimory memiliki eksotika yang memukau. Di situ terdapat hutan alami yang ditata untuk para pengunjung. Saya melalui sela-sela pohon, singgah di beberapa spot istirahat, juga menyaksikan sekeliling.






Tempat pertama yang saya singgahi adalah rumah kura-kura. Di situ ada beberapa kura-kura yang serupa kura-kura-kura Galapagos. Saat saya sentuh, kura-kura itu licin dan wangi. Rupanya, baru saja dibaluri dengan minyak zaitun. Pantas saja banyak rang yang berpose dengan kura-kura yang semua gerakannya nampak lambat ini. Melihat kura-kura ini saya ingat sosok kukang dalam film Zootopia yang gerakannya serba lambat.

Selanjutnya saya mengunjungi kandang kelinci. Saya juga menyaksikan sapi Australia yang nampak galak pada pengunjung. Mungkin sapi ini merasa tak nyaman sebab menjadi tontonan. Tak jauh dari situ, saya melihat rumah burung yang dihuni berbagai jenis burung. Rumah burung itu dibentuk seperti bunga yang sedang mekar. Di atas setiap rumah kecil, ada burung yang bertengger. Pemandangan yang sungguh asri.

Di bawahnya, saya melihat beberapa burung yang sedang mematuk-matuk tanah. Si kecil Ara sangat gembira dan berusaha mengejar beberapa burung. Ia berusaha mendekati burung itu yang dengan segera bergerak menjauh. Saya menyaksikan keriangan itu sembari memberinya semangat.

Di samping rumah burung itu, ada beberapa kandang yang berisikan burung langka. Saya selalu tidak tega menyaksikan burung-burung yang dikandangkan hanya untuk menjadi tontotan. Burung-burung perkasa itu harusnya di alam bebas. Sayapnya harusnya menantang desir angin lalu mengepak dan membumbung tinggi menembus ketinggian pepohonan. Burung-burung hebat itu tak seharusnya berada dalam kandang.





Saya meninggalkan kandang burung, lalu melihat tempat memerah susu sapi, tempat belajar yang meja kursinya berbentuk unik. Saya lalu duduk-duduk di taman sembari memandang pepohonan. Kesan saya, Cimory ini berbeda dengan sebelumnya. Tak lagi sekadar restoran dan panorama sungai yang disaksikan dari teras, tapi serupa kebun raya yang menjadi tempat tetirah dari kepenatan hdup yang bergegas dan berlari kencang.

***

“Ayah, saya ingin berpose seperti tempo hari,” kata Dwi, istri saya. Rupanya, ia memakai baju yang sama dengan saat terakhir kami ke Cimory. Saat itu, dia sedang hamil sembilan bulan. Kini, ia bersama bayi dan bocah mungil yang selalu kegirangan saat melihat hewan. Ia ingin mengabadikan dirinya yang telah berubah. Dahulu ia sedang hamil dan menggandeng putri kecil, kini ia bersama bayi mungil. Putri kecil itu tak kehilangan keceriaan, sebagaimana biasanya. Sembari menyiapkan kamera, saya memandang mereka yang bergerak menuju tepian sungai sana.

Melihat mereka yang menunggu, sungai dengan air gemuruh, serta pepohonan hijau, saya kembali teringat lanjutan puisi Soe Hok Gie.

“Hidup adalah soal keberanian, 
menghadapi yang tanda Tanya” 
tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar 
terimalah dan hadapilah 
dan antara ransel-ransel kosong 
dan api unggun yang membara 
aku terima ini semua melampaui batas-batas hutanmu, 
melampaui batas-batas jurangmu 
aku cinta padamu Pangrango 
karena aku cinta pada keberanian hidup

Soe Hok Gie, lelaki yang idealis dan mati muda itu, menulis banyak sajak di Pangrango. Membaca beberapa larik sajaknya, saya sering menemukan sikap getir atas kehidupan yang serba menjemukan. Dari beberapa buku yang memuat sajaknya, saya bisa merasakan dirinya yang selalu ingin sendirian dan melihat sesuatu dari tepian. Dia tak ingin menjadi massa. Mungkin, atas dasar itu, Gie selalu berkelana seorang diri ke kawasan Puncak hingga Pangrango.

Berbeda dengannya, saya justru datang bersama keluarga. Antara saya dan Gie dihubungkan oleh satu ikatan kuat yakni keberanian untuk memilih. Dia memilih sendirian untuk menelusuri gunung gemunung, lembah-lembah, dan sungai-sungai deras, saya justru memilih menjalaninya bersama keluarga. Saya menyadari bahwa terdapat ikatan kuat yang akan selalu menghubungkan saya dengan orang-orang yang menunggu giliran potret di sebelah sana. Terdapat tali-temali yang akan menjadi jalan bagi saya untuk selalu kembali ke rumah.



Di tengah alam Cimory saat senja di ufuk sana, di tengah pepohonan hijau itu saya menemukan oase dan jawab dari banyak keraguan. Setelah kembali ke rumah dan kantor, barangkali ada rupa-rupa persoalan yang harus diadapi, ada banyak tantangan yang harus dilewati, ada banyak gunung yang harus dihadapi dengan segala keikhlasan. Di situ ada rasa pesimisme, takut, khawatir, serta kecemasan yang bisa saja datang menyergap.

Tapi keberanian pada hidup akan selalu menjadi cahaya terang yang memandu semua perjalanan. Kecintaan pada hidup adalah embun yang selalu memberikan harapan untuk terus bergerak, apapun risiko yang harus dipilih. Kecintaan pada keluarga adalah temali yang selalu menjaga kita agar tidak jatuh dalam lembah kehampaan.

“Ayah, kenapa melamun. Cepat foto kami,” teriak si kecil Ara.

Bogor, 25 September 2016



BACA JUGA:






0 komentar:

Posting Komentar