Arkarna |
BAND asal Inggris, Arkarna, menyanyikan
lagu Kebyar-Kebyar dalam bahasa
Indonesia yang fasih. Batin saya tercekat. Bukan karena syair lagunya yang
penuh makna dan membangkitkan nasionalisme, melainkan satu keping sejarah dan
suara-suara lirih yang selama ini terabaikan.
Melalui lagu ini, saya tersadar bahwa
kemerdekaan bukan sekadar hasil dari perjuangan bersenjata di medan laga. Suara-suara
pada lagu ini hendak menunjukkan bahwa kemerdekaan ibarat bangunan yang setiap
bata penyusunnya adalah rakyat Indonesia yang memiliki beragam profesi.
Kemerdekaan adalah akumulasi suara-suara banyak orang yang mengalirkannya dalam
berbagai warna.
Tentu saja, kemerdekaan tak bisa diklaim
sebagai kerja-kerja militer di medan laga. Bahwa ada banyak manusia-manusia
lain yang siap sedia merebut kemerdekaan, lalu merawatnya dengan beragam cara.
Di antara sosok–sosok itu terdapat para seniman yang menjaga api kemerdekaan
dengan lagu-lagu yang menyentak, dan terus-menerus merawat kesadaran dan
kecintaan kita pada bangsa ini.
Demikian pula dengan kerja-kerja mengisi
kemerdekaan. Meskipun kemerdekaan telah direbut, bukan berarti keberadaan para
patriot bangsa telah punah. Para pahlawan selalu hadir sesuai dengan spirit
zaman hari ini. Tentu saja, keberadaan mereka tak bisa dinisbahkan hanya pada
tentara, polisi, dan pemerintah. Kerja itu juga melibatkan para seniman dan
penyair yang melalui kata telah membentuk gambaran kita tentang Indonesia.
Saya tiba-tiba saja terkenang pada
Gombloh, seniman besar yang membuat lagu Kebyar-Kebyar.
Sosok ini tak hanya milik rakyat Surabaya, yang menjadi rumah seninya, tapi
juga seluruh bangsa Indonesia. Lagu-lagunya mengalir dalam nadi semua pencinta
negeri ini. Lagu-lagunya menjadi lagu wajib para demonstran. Bahkan saat
gerakan reformasi berkumandang, lagu-lagu milik Gombloh dinyanyikan bersama
lagu karya Iwan Fals dan Franky Sahilatua di seluruh penjuru tanah air. Mereka
adalah pahlawan besar yang merawat kecintaan pada tanah air melalui
syair-syair.
Jika tak ada Gombloh, Iwan Fals, Franky
Sahilatua, Leo Kristy, ataupun Ebiet G Ade, apakah momentum sejarah seperti
reformasi bisa lahir? Belum tentu. Para seniman-seniman bersuara kritis ini
telah memberikan sinyal kepada seluruh warga bahwa ada sesuatu yang salah di
negeri ini. Melalui lagu, mereka mengisi kesadaran orang tentang perlunya
menentukan sikap. Melalui syair, mereka menggedor hasrat anak-anak muda untuk
segera bangkit dan meluruskan berbagai kesalahan yang dilakukan anak bangsa.
Karier Gombloh terbilang unik. Ia pernah
belajar di jurusan arsitektur, Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya. Namun
belajar di kampus bukanlah dunianya. Ia lalu bergabung dengan Leo Kristi dan
Franky Sahilatua. Selanjutnya ia ber-solo karier. Ia menggambarkan kehidupan
sehari-hari rakyat kecil melalui lagu Doa Seorang Pelacur, Kilang-Kilang,
Poligami Poligami, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, Selamat Pagi
Kotaku. Ia juga membuat beberapa lagu bertemakan lingkungan, salah satunya
adalah Lestarikan Alamku yang kerap dinyanyikan
para aktivis. Lirik-liriknya khas, sedikit nakal, dan kadang misterius.
Sosok ini dikenang karena lagu-lagunya
yang menggugah nasionalisme. Di antaranyaa dalah lagu Dewa Ruci, Gugur
Bunga, Gaung Mojokerto-Surabaya, Indonesia Kami, Indonesiaku,
Indonesiamu, Pesan Buat Negeriku, dan BK, lagu yang bertutur
tentang Bung Karno, sang proklamator. Lagunya Kebyar Kebyar banyak
dinyanyikan di masa perjuangan menuntut reformasi.
Gombloh |
Gombloh memang sosok legendaris. Pada
tahun 2012 lalu, saya bertemu Prof William Frederick, seorang profesor sejarah
di kampus Ohio University, Amerika Serikat. Profesor ini amat mengagumi
dedikasi dan nasionalisme yang dipancakan Gombloh. Menurutnya, pada diri musisi
seperti Gombloh, kita bisa melihat bagaimana perubahan sosial perlahan disulut,
bagaimana upaya menebalkan kecintaan pada atanah air, serta bagaimana mengasah
kepekaan sosial atas apa yang terjadi. Bagi profesor ini, lagu-lagu Gombloh
adalah jendela untuk memahami perubahan.
Tak hanya William Frederick, peneliti Martin
Hitch juga banyak membahas lagu-lagu Gombloh saat mempresentasikan risetnya
yang bertajuk, "Social Criticsm in the Songs of 1980’s Indonesian Pop
Country Singers", yang dibawakan dalam seminar musik The Society of
Ethnomusicology di Toronto, Kanada, pada tahun 2000. Ia mengutip beberapa lagu
Gombloh demi menunjukkan keping-keping kenyataan yang dilihat sang seniman,
yang kemudian diabadikan dalam lagu.
Saya sepakat dengan tuturan Gilderoy Lockard
dalam buku Dance of Life. Popular Music and Politics in Southeast
Asia, yang terbit pada tahun 1998.
Ia mengatakan bahwa
selalu ada hubungan antara musik populer dan situasi politik di Asia Tenggara.
Ia percaya bahwa seorang penyanyi memiliki peran sebagai aktor politik, yang
menggunakan musik sebagai senjata untuk menentang kemapanan satu rezim. Dalam
konteks ini, lagu-lagu dan syair yang dihasilkan Gombloh adalah potret realitas
sosial, yang secara perlahan telah membakar hati banyak orang tentang situasi
zaman kita dan perlunya untuk mengingatkan rezim.
Pada titik ini, kita bisa mengatakan bahwa
Gombloh adalah pahlawan besar yang menjadikan lirik dan lagu sebagai senjata.
Ia menyajikan potret buram tanah air, sekaligus menyajikan perlunya
membangkitkan semangat untuk menyeesaikan kerja-kerja yang belum tuntas. Lagu
Kebyar-Kebyar menjadi pernyataan sikap Gombloh terhadap tanah air Indonesia,
sebagaimana syair, “debar jantungku, getar nadiku berbaur dalam semangatmu”.
***
HARI ini saya mendengarkan lagu Gombloh
dinyanyikan band Arkarna. Batin saya dibasahi oleh semangat Indonesia. Yang
segera terasa adalah kebanggaan sebagai bangsa dan negara yang lagu-lagunya
dinyanyikan oleh bangsa lain. Yang terasa adalah harapan bahwa bangsa ini
“sejak dulu selalu dipuja-puja bangsa.” Melalui Arkarna, kita melihat kembali betapa
bangsa kita selalu punya harapan dan potensi besar untuk berkibar di mana-mana.
Melalui Arkarna pula, kita bisa
memperbarui kecintaan kita pada beberapa sosok seperti Gombloh. Saatnya
memberikan apresiasi pada banyak warga biasa yang memberikan kontribusi
pemikirannya untuk negara. Saatnya untuk melihat kemerdekaan sebagai kerja
bersama, yang tidak hanya melibatkan para militer, namun juga seluruh elemen
masyarakat. Adalah salah kaprah mengidentikkan kemerdekaan dengan tugas para
pemanggul senjata. Selama sekian tahun, gambaran kita tentang kemerdekaan
adalah perlawanan bersenjata, aksi tembak-menembak, serta prajurit yang terluka
di medan peperangan.
Jika tekun membaca sejarah, kita akan
menemui satu kesimpulan penting bahwa perjuangan persenjata hanyalah kepingan
kecil yang menyangga rumah besar bernama kemerdekaan. Makanya, negara harus
hadir untuk memberikan perlindungan kepada seluruh anak bangsa, tanpa kecuali.
Pada diri Gombloh, kita bisa menemukan
cermin untuk kembali melihat Indonesia. Kita bisa menyaksikan berbagai masalah,
coreng-moreng di wajah bangsa, serta betapa sedikitnya yang kita lakukan untuk
mengisi bangsa ini. Pada diri Gombloh, kita menyaksikan Indonesia.
Bogor, 17 Agustus 2015
BACA JUGA:
1 komentar:
Thanks gan..
Posting Komentar