Sosok Yumna dalam Battle of Surabaya |
SUNGGUH membahagiakan bisa menyaksikan
film animasi Battle of Surabaya. Tak sekadar bisa menyaksikan kepingan
sejarah tentang betapa heroiknya rakyat Surabaya di masa revolusi tahun 1945.
Tak sekadar bisa menikmati rasa sejarah yang kaya dengan detail-detail dan disajikan
dengan sangat menarik. Tak sekadar merasakan heroisme dan keberanian warga
Surabaya yang sungguh menggetarkan.
Namun, kisah animasi ini hendak melihat
peristiwa sejarah dari sisi warga biasa. Ada banyak sosok yang menyaksikan
perang dengan getir. Ada kisah penyemir sepatu yang menjadi agen rahasia
republik, warga Jepang yang simpati pada Indonesia, para samurai dari kelompok
Kipas Hitam yang mencekam Surabaya, hingga serdadu Inggris yang membawa dendam
pada tentara Nazi saat ke Surabaya.
Inilah film animasi cerdas, yang melihat
perang dari sisi yang selama ini justru belum banyak dieksplor oleh film-film
nasional. Two thumbs up!
***
BOCAH itu bernama Musa. Ia seorang
penyemir sepatu. Ibunya bekerja pada pria Jepang bernama Capt Yoshimura. Musa
kerap menjadi kurir bagi tentara republik. Ia ditugaskan untuk mengantarkan
surat yang berisikan pesan-pesan rahasia kepada para tentara yang bertugas di
luar Surabaya. Tugasnya sungguh berbahaya. Ia berhadapan dengan maut yang
setiap saat bisa melepas nyawanya.
Ini Surabaya pada tahun 1945. Kemerdekaan
baru seumur jagung. Tapi tentara Inggris di bawah pimpinan Jenderal Mallaby
datang membawa pasukan, yang diboncengi tentara KNIL yang berasal dari Belanda.
Kedatangan pasukan ini memicu murka para tentara republik. Semuanya bersiaga
dan setiap saat siap menyabung nyawa.
Kemerdekaan amatlah berharga bagi semua
orang. Di radio, beberapa pemimpin seperti Bung Tomo kerap menggedor kesadaran
orang-orang untuk membela republik. Ia berkata, “Lebih baik Surabaya banjir dan
digenangi darah, daripada harus kembali dijajah.” Pidato ini membangkitkan
kesadaran semua orang. Para tentara republik bersiaga atas kemungkinan yang
bisa munsul sewaktu-waktu. Surabaya mencekam.
Musa adalah remaja yang terbakar oleh
nasionalisme dan digarami oleh kecintaan pada negeri merasa terpanggil. Ibunya
sakit-sakitan lalu tewas ketika perkampungan dibakar oleh tentara penjajah.
Musa memendam sedih dan bertekad untuk terus membantu para pejuang. Dari atas
pengunungan, sembari memandang siluet kota Surabaya pada suatu sore, ia
mengangkat tangan sembari berteriak “Merdeka!”
Musa tak sendirian. Seorang gadis periang
bernama Yumna kerap menemani Musa untuk menjalankan misinya. Gadis periang yang
serupa sosok dalam komik Jepang ini menjadi sahabat terdekat Musa. Bahkan
benih-benih cinta tumbuh di antara mereka di tengah berbagai tugas rahasia yang
harus dilakukan. Mereka laksana dua kupu-kupu yang terus berkejaran dengan
riang. Hingga akhirnya sebuah rahasia terungkap.
Yumna memiliki masa lalu yang kelam. Ibunya
ditangkap tentara Jepang dan dijadikan jugun ianfu, pemuas nafsu tentara negeri
Nippon. Yumna lalu bergabung dengan perkumpulan Kipas Hitam yang anggotanya
dilatih beladiri Jepang, lalu melakukan berbagai aksi-aksi spionase serta
penyerangan. Meski demikian, Yumna telah bertekad untuk merebut kemerdekaan
Indonesia. Ia bergabung dengan palang merah, lalu bertugas di garis depan untuk
membantu tentara yang terluka akibat perang.
Suatu hari Musa tertangkap akibat
pengkhianatan dari Danu, seorang anggota Kipas Hitam yang memata-matai
perjuangan tentara Indonesia untuk kepemtingan tentara Inggris. Ia ditahan di
penjara Kali Sosok, Surabaya. Bersama beberapa tentara republik, Yumna datang
membebaskan Musa. Ia membawa pedang samurai dan menebas para anggota Kipas
Hitam. Gerakannya lincah. Sayangnya, ia tewas dalam serangan itu. Mendung duka
langsung terasa di saat perang tak lama lagi akan berkobar.
Di sisi lain, perundingan dengan Inggris
gagal mencapai kata sepakat. Para pemimpin perjuangan di Surabaya yakni Residen
Sudirman, Soemarsono, Moestopo, dan Bung Tomo lalu menyatakan perang. Mereka
lebih memilih mati ketimbang kembali dijajah tentara Inggris. Melalui radio,
Bung Tomo langsung membakar semangat semua orang, “Selama banteng-banteng Indonesia
berdarah merah yang mampu membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih,
maka selama itu, kita tidak akan menyerah,” teriaknya.
Perang lalu berkobar. Rakyat Surabaya
bangkit dan menyabung nyawa di medan laga. Sebanyak 16.000 orang telah gugur
dalam satu perang besar yang mengerikan. Dari pihak tentara sekutu, sebanyak
1.500 orang juga tewas. Perang merenggut banyak nyawa, memisahkan banyak bapak
dengan anaknya, memisahkan ibu dan putranya, lalu menyisakan banyak perempuan
yang hanya bisa meratapi keluarganya.
Musa ikut meratap. Ia kehilangan banyak
orang dalam kehidupannya. Ia juga diderasa sedih kala membaca surat-surat para
prajurit kepada keluarganya. Berhadapan dengan puing-puing kota Surabaya, ia
hanya bisa tertegun sembari meneteskan air mata. Perang memang kejam. Tak ada
kemenangan di situ. Yang ada adalah kegetiran!
***
KISAH dalam film ini tak hanya heroik,
tapi juga mengharukan. Sebagai penonton awam, saya larut dalam aliran kisah
yang sangat menyentuh hati. Saya bisa merasakan bagaimana perang menyisakan
getir saat masuk dalam pengalaman beberapa sosok seperti Musa dan Yumna (suaranya diisi oleh artis Maudy Ayunda).
Biasanya, film-film bertema perjuangan
merebut kemerdekaan selalu mengangkat sisi heroik dan menjadikan perang sebagai
panggung kehebatan bagi para militer. Film ini tak demikian. Film animasi ini
memotret sisi paling kelam dari setiap perang, sehingga yang tersisa adalah
kehancuran yang mengoyak-ngoyak nurani.
Film ini tak terjebak dalam logika hitam
putih. Semua pihak memiliki sisi baik dan sisi buruk. Seorang tentara Inggris
bernama Capt John Wright ternyata punya trauma ketika anaknya ditembak tentara
Nazi. Saat menginterogasi Musa, ia mengeluarkan sejata itu sembari berkata
kalau dirinya tak ingin menggunakannya. Saat Musa bebas, ia sempat menemui tentara
ini yang sedang sekarat, tapi ia justru tak membunuhnya. Hal yang sama dilakukan tentara
ini saat berada dalam satu momen ketika senjata telah diarahkan ke Musa. Ia
memilih membebaskan bocah itu.
Sosok lain yang juga baik adalah
Yoshimura. Ia militer Jepang yang bersimpati pada republik. Ia pula yang
menghadiahkan topi ala Jepang kepada Musa yang dikenakan di mana-mana.
Yoshimura tewas di tangan tentara Inggris saat sedang berjalan di satu ruas
jalan. Sebelum mati, ia masih sempat menyebut anaknya bernama Keiko yang berada
di Jepang. Belakangan, sosok Keiko muncul, yang ternyata bekerja di PBB, serta
aktif memperjuangkan diakuinya kemerdekaan Indonesia.
Film ini juga mengangkat beberapa
perkumpulan rahasia yang tumbuh pada masa itu, salah satunya adalah Kipas Hitam.
Saya pernah membaca kisah perkumpulan Kipas Hitam ini dalam buku Kuasa Jepang di Jawa yang ditulis Aiko
Kurasawa. Dalam buku itu, Kipas Hitam disebut sebagai organisasi rahasia yang
didirikan oleh Hitoshi Shimizu, pemimpin gerakan propaganda Jepang (sendenbu),
dengan tujuan untuk membangkitkan spirit bangsa Asia demi menumbangkan Eropa.
Hitoshi Shimizu mendirikan beberapa perkumpulan
rahasia yang di antaranya adalah; (1) Ular Hitam, berisi orang-orang
Indo-Belanda bermarkas di Bogor; (2) Chin Pan, perkumpulan yang menampung
orang-orang Tionghoa; (3) Kipas Hitam, yang dibentuk untuk mempersiapkan
orang-orang Indonesia melakukan perang kemerdekaan di bawah bimbingan Jepang. Saat
Shimizu ditangkap Belanda, Kipas Hitam lalu bersekongkol dengan sekutu untuk
menghadang para pejuang kemerdekaan.
Tentu saja, ada beberapa kelemahan dalam
film ini. Mulai dari pakaian Musa, Yumna dan Danu yang serupa pakaian remaja
dalam komik Jepang. Beberapa gerakan juga agak kaku pada beberapa bagian,
perpindahan adegan kadang kala kurang halus, serta adanya karakter yang kurang
matang. Misalnya karakter Danu, yang suaranya diisi oleh Reza Rahadian. Rasanya
aneh saja saat membayangkan sosok ini tiba-tiba saja berubah cepat, dari
pengkhianat republik menjadi seorang pejuang. Proses transformasi itu terlampau tergesa-gesa.
Terlepas dari semua itu, saya cukup
menikmati film animasi yang menghibur. Saya menyukai sosok Yumna yang periang, mandiri,
selalu menghibur orang lain, namun ternyata punya sisi kelam yang dirahasiakan.
Adegan tewasnya Yumna menjadi adegan yang paling membekas di benak saya. Saya
berharap film seperti ini terus diperbanyak. Sungguh menyenangkan bisa belajar
sejarah dengan cara seperti ini. Sejarah tidak menjadi kaku sebab identik
dengan nama orang dan tahun peristiwa. Tapi sejarah menjadi kisah yang
berdenyut dan terasa maknanya bagi kehidupan hari ini.
Pesan indah digambarkan pada adegan
terakhir. Saat itu, Musa telah berusia lanjut dan diajak cucunya keluar rumah
untuk menyaksikan reog di Jembatan Merah, Surabaya. Sayup-sayup ia menyaksikan
sosok-sosok seperti Yumna, Danu, serta muncul Soekarno dan Hatta. Ia juga
seolah menyaksikan Yoshimura dan istrinya yang berbaju kimono, lalu tentara
Inggris John Wright bersama anak istrinya, serta mereka yang tewas di peperangan
itu. Andaikan tak ada perang, epos cinta akan hadir di mana-mana.
Pesannya sungguh indah. Bahwa tak ada
pemenang dalam setiap perang. Yang ada hanyalah kegetiran yang dirasakan banyak
pihak. Mereka yang hidup justru menanggung getir dan mengais-ngais sejumput
bahagia di tengah tumpukan korban. Ini sesuai pesan dalam film, “There is no
glory in war!”
Bogor, 20 Agustus 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar