Peradaban yang Meminggirkan Lautan


“Somahe ke kehage”
Gelombang adalah tantangan kehidupan

--Syair orang Talaud


BOCAH itu bersorak ketika perahu layar yang dikemudikannya melesat. Ia tertawa gembira ketika angin bertiup kencang hingga perahu itu ke tengah lautan. Ia amat bersuka-cita tatkala perahu itu mengikuti irama gelombang lalu terus melaju. Ia terus mengayuh sembari bersenandung, “Nenek moyangku orang pelaut. Gemar mengarung luas samudera!”

Setahun silam, di pesisir Pulau Buton, saya menyaksikan bocah kecil itu. Dalam usia belia, ia justru tak sedikitpun merasakan takut kala menyusuri lautan. Ia menjadikan laut sebagai tempat bermain yang mengasyikkan. Ia tak khawatir akan tenggelam, ditelan gelombang, atau barangkali perahunya akan pecah. Ia justru menemukan kegembiraan saat berada di laut.

Di berbagai pulau lain, saya menyaksikan pemandangan yang sama. Di Berau, Kalimantan Timur, saya menyaksikan bocah-bocah belia dari Suku Bajo mengemudikan perahu layar. Mereka menjadi atlet yang kerap membawa nama daerah itu di ajang perlombaan perahu layar. Mereka melihat lautan serupa pelukis yang sedang menyaksikan kanvas untuk digores dengan aneka warna.

beberapa anak suku Bajo yang berlatih perahu layar di Berau



Bocah-bocah yang riang gembira di lautan itu telah menggedor kesadaran saya tentang lautan sebagai mata air kebudayaan. Betapa lautan telah lama menjadi sahabat bagi berbagai suku bangsa. Betapa lautan telah mengasah kemampuan berbagai suku bangsa hingga mereka sanggup menaklukan samudera-samudera luas. Betapa lautan telah menjadi ibu bagi peradaban dan kebudayaan yang seharusnya menjadi pilar-pilar penyangga negeri ini.

Lantas mengapa selama sekian tahun kita hanya memperhatikan darat sebagai rumah, tanpa memandang lautan?

Sejarah kita memiliki catatan emas tentang beberapa peradaban yang menguasai lautan. Sayang, beberapa peradaban itu justru runtuh karena kegagalan untuk menjaga ritme dan dinamika peradaban menjadi sesuatu yang positif dan menguatkan. Sejarawan Hilmar Farid benar, setelah eranya Sriwijaya dan Majapahit yang digdaya karena perkasa menaklukan laut, kita nyaris tak punya peradaban hebat yang bisa dibanggakan.

Peradaban hari ini dibangun di daratan. Kita telah lama memunggungi lautan. Kita berkhianat pada peradaban yang pernah melahirkan tradisi dan budaya kita. Lebih parah lagi, kita telah memosisikan pulau-pulau sebagai wilayah terjauh, menjadi wilayah terdepan republik ini. Sungguh lucu, salah satu direktorat di Kementerian kelautan dan Perikanan dinamakan Direktorat Pulau-Pulau Kecil dan Terluar. Mengapa harus dinamakan terluar? Mengapa tak dinamakan sebagai pulau terdepan yang merupakan teras dan halaman utama rumah negeri ini?

Menggunakan kata terluar seolah menegaskan cara pandang yang menempatkan kota (urban area) sebagai pusat dari peradaban. Padahal, sejarah mengajarkan kita bahwa lautan adalah rahim peradaban yang menghubungkan banyak peradaban, serta menjadi perekat berbagai tradisi dan etnik di bangsa ini.

perahu layar di Pelabuhan Paotere, Makassar

Dalam berbagai kebudayaan, lautan adalah jantung dan urat nadi kehidupan kehidupan. Kalimat pembuka tulisan ini adalah syair orang Talaud yakni “Somahe kei kehage” yang bermakna “gelombang adalah tantangan kehidupan.” Syair ini menggambarkan bahwa lautan adalah unsur pokok bagi masyarakat yang bercorak bahari. Lautan adalah metafora kehidupan masyarakat. Dalam banyak budaya, ombak di lautan adalah simbol dari berbagai tantangan yang dihadapi. Mereka yang berhasil meniti ombak adalah mereka yang sukses melalui lautan.

Orang Buton di Sulawesi Tenggara juga memiliki istilah terkait lautan. Mereka memiliki metafor tentang Kesultanan Buton sebagai perahu yang berlayar. Tugas kesultanan adalah menjaga keseimbangan perahu sehingga semua penumpang –metafor dari masyarakat—bisa tiba dengan selamat ke tujuan. Mereka juga punya menyebut seorang sahabat dengan kata “sabangka”, yang bermakna teman seperahu.

Tak hanya Buton, orang-orang Bajo banyak menciptakan istilah-istilah yang terkait lautan. Semua istilah itu kian terang menunjukkan pada kita bahwa lautan sangat penting bagi masyarakat kita. Lautan adalah semesta kehidupan itu sendiri.

Dalam berbagai ujaran, kita sering mendengar ungkapan ‘Jangan Lupa Daratan.’ Jika direnungi lebih dalam, ungkapan ini muncul dari satu masyarakat yang kebanyakan menjalani hari di lautan. Daratan seolah sesuatu yang tidak lagi penting sehingga tiba-tiba dilupakan. Dalam berbagai budaya, persahabatan sering disimbolkan sebagai keadaan ketika dua orang berada dalam perahu. Mereka akan saling bahu-membahu dan menolong agar tiba di tujuan. Kuat tidaknya satu persahabatan akan dilihat pada sejauh mana keduanya bisa saling menautkan kerjasama dan rasa saling membutuhkan.           

Sayangnya, selama beberapa dekade, orientasi kekuasaan kita memusat ke daratan, dan bersifat konsentris. Sejarawan Dennys Lombard pernah menggambarkan karakter kuasa beberapa kerajaan agraris yang menempatkan keraton sebagai pusat, lalu kutaraja, hingga akhirnya pulau-pulau terbelakang. Paradigma ini kemudian mempengaruhi cara berpikir kita yang melihat daratan sebagai unsur yang jauh lebih penting ketimbang lautan.

Kini, saatnya mengubah cara berpikir itu. Lautan harus dilihat kembali sebagai pusat dari segala aktivitas. Sungguh membahagiakan saat menyadari, bahwa seiring dengan keberpihakan pemerintah pada sektor maritim, istilah pulau-pulau terdepan mulai sering dipergunakan oleh masyarakat dan media massa. Ini menunjukkan adanya kesadaran maritim yang mulai tumbuh di kalangan warga masyarakat. Ungkapan “Jalesveva Jayamahe" yang bermakna "Di Laut Kita Jaya" harusnya dibumikan menjadi kenyataan. Negeri ini harus memperkuat armada maritim demi mengawal kedaulatan bangsa. Negeri ini harus menegakkan marwahnya di lautan dan samudera.



Namun menegakkan marwah pada lautan tak selalu bermakna membangun pelabuhan-pelabuhan besar, kapal-kapal dagang, serta perdagangan antar pulau. Keberpihakan pada laut hanya akan bangkit tatkala kesadaran maritim mengisi segenap ruang-ruang kebangsaan kita, saat spirit maritim menjadi napas yang menghidupkan gerap pembangunan, saat nilai-nilai solidaritas di lautan selalu menjadi buhul yang mengikat seluruh negeri menjadi kesatuan hebat yang tak terkalahkan oleh arus utara.

Di lautan, kita punya banyak pekerjaan rumah. Bocah-bocah penakluk lautan itu telah menunjukkan jalan yang harus digapai. Saatnya bergegas dan memasuki lautan kehidupan dan melalui berbagai ombak yang menggulung tinggi. Saatnya menaikkan layar kebangsaan dan menggapai pulau tujuan bersama.


Bogor, 9 Agustus 2015
Catatan lama yang terserak di laptop

BACA JUGA:





0 komentar:

Posting Komentar