Empat Teori atas Pergantian Andrinof



RASANYA, tak ada yang kurang pada diri Andrinof Chaniago. Ia seorang akademisi dari Universitas Indonesia yang menulis buku Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik Akar Krisis Indonesia. Ketika dirinya diserahi tugas untuk mengatur perencanaan pembangunan, prestasinya dianggap tidak mengkilap. Malah ia di-reshuffle dan digantikan sosok lain. Lantas, apa penjelasannya mengapa ia diturunkan setelah bekerja keras selama 10 bulan?

Ada beberapa teori yang bisa dikemukakan. Pertama, barangkali Andrinof kurang bisa memahami apa yang diinginkan oleh presiden. Selama sepuluh bulan, ia tidak tahu mana prioritas dan mana bukan prioritas. Namun, rasanya argumentasi ini amat lemah sebab beliau telah lama mendampingi presiden. Ia jelas tahu mulai dari A sampai Z gagasan sang pemimpin. Malah, boleh jadi ia yang menyusun ide-ide dan visi-misi bagi presiden di sepanjang tahap kampanye hingga eksekusi program.

Kedua, digantinya Andrinof adalah sinyal dari takluknya para ilmuwan sosial politik dalam perencanaan pembangunan. Nampaknya, pemerintah sedang membutuhkan karakter seorang ekonom untuk mengembalikan keadaan yang nyaris terpuruk. Figur ekonom lebih dibutuhkan untuk menstabilkan rupiah, ketimbang seorang ahli ilmu politik yang barangkali kesulitan untuk menata kelembagaan Bappenas. Kehadiran ekonom dianggap penting untuk menghidupkan kegiatan ekonomi ketimbang menyusun basis perencanaan yang kuat untuk prioritas jangka panjang bangsa ini.

Semua paham bahwa selama puluhan tahun, arah pembangunan nasional dikendalikan para ekonom yang dianggap lebih memahami jalannya pembangunan. Apalagi, mainstream pembangunan kita diukur dengan beberapa indikator yang kuantitatif, dan mengabaikan aspek sosiologis dan budaya. Pada titik ini, kita bisa paham mengapa Andrinof akhirnya digeser. Ia hanya bisa meletakkan landasan, di saat pemerintah butuh lesatan ekonomi.

Ketiga, harus diakui kalau Andrinof kurang bisa membumikan gagasannya yang hebat-hebat di level praktis. Dunia akademisi jelas berbeda dengan dunia praktisi, khususnya dunia pengambilan kebijakan. Dunia akademik berkaitan dengan salah-benar, serta sejauh mana pengetahuan itu bisa dituliskan dalam jurnal ilmiah, yang kemudian meningkatkan branding seorang ilmuwan. Andrinof bisa melihat celah-celah dari pelaksanaan pembangunan, tapi dia belum tentu bisa menyusun formula untuk mengatasinya. Mempraksiskan satu gagasan jauh lebih sulit dari sekadar melihat celah-celah dan menyusun rekomendasi akademis.

Keempat, Andrinof sedang memasang badan untuk menyelamatkan presiden. Bisa jadi, tekanan yang dihadapi presiden dari semua partai politik memberikan ruang bagi reshuffle kabinat untuk sekadar memberikan permen atau pemanis bagi partai politik. Yang dikorbankan adalah figur yang tidak punya back up partai yang kuat, serta punya kesetiaan hebat pada presiden. Figur yang diganti adalah figur yang punya risiko politik paling kecil.

Mungkin saja, Andrinof bersedia menjadi tameng atau perisai untuk menyelamatkan presiden dari partai politik. Ia bersedia digeser demi memberikan napas dan ruang bagi sang presiden. Namun ia tahu persis bahwa presiden itu tak akan meninggalkannya. Barangkali setelah ini, ia akan mendapatkan satu posisi strategis yang kelak akan menjadi ruang bermain yang cukup lapang bagi dirinya. Hal yang sama bisa juga menjelaskan mengapa Andi Widjayanto diganti dari posisi Sekretaris Kabinet. Biaya politik dan sosial atas penggantian mereka lebih kecil ketimbang mengganti sosok politisi murni.

Sekali lagi, ini hanya teori. Anda berhak untuk memilih mana teori mana yang benar. Boleh jadi pula, tak ada satupun teori di atas yang paling mendekati kenyataan. Itu hak anda untuk menilai. Tabik.


Bogor, 13 Agustus 2015

0 komentar:

Posting Komentar