bubur ayam khas Resto Raminten di Yogyakarta |
DALAM beberapa kali kunjungan ke
Yogyakarta dan Solo, saya selalu mencicipi makanan yang terasa manis. Tadinya
saya berpikir bahwa barangkali ini terkait lidah saya yang terbiasa mencicipi
makanan yang terasa asin, khas kawasan timur Indonesia. Namun, setelah membaca
liputan Tempo tentang antropologi kuliner, ternyata ada faktor sejarah, budaya,
dan ekonomi politik di balik rasa makanan yang manis itu. Hah? Gimana ceritanya?
Jawa sangat kaya dengan tradisi kuliner.
Selain resep yang terus diwariskan, orang Jawa juga mengenal weton, hari pasar bagi setiap keluarga
kerajaan. Pada hari weton akan
disajikan kuliner kesukaan anggota keluarga yang telah tiada. Lewat kuliner,
mereka mengenang orang-orang yang telah berpulang. Selain weton, ada banyak ritual dan upacara adat yang identik dengan
kuliner. Mulai dari peringatan 1 sura, jumenengan
(perayaan naik tahta), hingga ritual lainnya.
Di Keraton Surakarta, dahulu ada tradisi
bagi keraton untuk membagikan jenang dan sega
liwet pada setiap Kamis malam. Masyarakat lalu membuat sendiri masakan itu,
dan tidak harus disajikan pada Kamis malam. Malah, dua makanan itu menjadi
identik dengan kota Solo.
Hedi Hinzler, peneliti Leiden University,
menyebutkan bahwa tradisi ini sudah ada sejak masa-masa kerajaan. Studinya
menyebutkan bahwa prasasti-prasasti Jawa telah mengisahkan tentang pembagian
makanan kerajaan sejak abad ke-9. Raja selalu mengijinkan rakyat untuk memakan
kulinernya, yang kemudian disebut rajamangsa. Yang bisa memakannya hanyalah
para pejabat, keluarga raja, dan pemuka agama.
nasi blawong, makanan favorit para sultan di Yogyakarta |
Seiring dengan kedatangan Belanda, masakan
khas Eropa mulai memasuki dapur-dapur di istana Surakarta maupun Yogyakarta.
Pada masa Mangkunegara IV bertahta di Solo, beberapa koki yang paham makanan
Eropa diangkat sebagai kepala juru masak istana. Mereka lalu menyajikan makanan
Eropa kepada para tamu, yang juga menjadi indikasi kemajuan pada masa itu. Demikian
pula di Yogyakarta. Pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII, banyak resep makanan
baru yang muncul. Hanya saja, resep ala Eropa itu telah mengalami modifikasi
sehingga sesuai dengan lidah orang Jawa.
Rasa Manis
Namun modifikasi paling besar pada makanan
Eropa itu adalah rasa manis. Terkait rasa manis, ada dua argumentasi yang bisa
dikemukakan. Pertama, rasa manis telah lama dikenal
sebagai rasa yang wajib ada dalam makanan. Dalam teks Jawa kuno, terdapat ajaran
tentang enam rasa yakni manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepat. Keenam rasa
ini harus ada dalam setiap makanan demi menghasilkan rasa yang sempurna.
Kedua, rasa manis itu diduga terkait
dengan banyaknya suplai gula di Jawa akibat didirikannnya banyak pabrik
gula. Sejarah mencatat, pada tahun 1830,
Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan kebijakan tanam paksa untuk
mengisi kas pemerintah yang kosong karena habis digunakan untuk perang melawan
Pangeran Diponegoro. Para petani di Jawa hanya dibolehkan menanam komoditas
tertentu yang aku di pasaran internasional, di antaranya adalah tebu dan kopi.
Jenang Suran, bubur yang dimasak di Pura Mangkunegaran setiap tanggal 10 Sura |
Lebih 100 pabrik gula lalu didirikan di
Jawa. Sejuta petani menanam tebu, yang kemudian berimbas pada menipisnya stok
beras. Di saat kekeringan, petani memasak dengan air perasan tebu. Sejarawan
Onghokham menulis bahwa setelah tanam paksa dihapus, bisnis gula lalu beralih
ke pedagang Tionghoa dan swasta. Melalu kerjasama dengan raja-raja Jawa, semua
kerajaan lalu mengalami kemakmuran. Para abdi dalem, lalu mendapatkan konsesi
tanah yang kemudian ditanami gula.
Walaupun bisnis gula kemudian meredup
akibat krisis ekonomi tahun 1930-an, para priyayi dan bangsawan telah terlanjur memiliki
lifestyle sebagai warga kelas atas.
Kebiasaan kuliner, khususnya yang manis-manis, menjadi gaya hidup masyarakat.
Tak heran jika banyak yang terkena sakit gula. Konon, Sultan Hamengku Buwono
VIII meninggal karena sakit gula. Ia menjadi satu dari banyak orang yang
terkena dampak dari makanan yang berasa manis.
Ternyata, di balik setiap rasa makanan
terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa diserap. Melalui makanan, kita
bisa memasuki rimba kebudayaan, merambah tepian sejarah, lalu membawa pulang
demikian banyak inspirasi pengetahuan di sana. Melalui tradisi, kita bisa
menyerap segenap masa lalu untuk memahami segala dinamika di masa kini.(*)
Bogor, 22 Agustus 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar