Rizal Ramli |
BARU dilantik, Menteri Koordinator Maritim
Rizal Ramli sudah mulai melempar kritikan ke mana-mana. Tak hanya kebijakan
Menteri BUMN Rini Soemarno yang dikritiknya. Ia juga mengkritik kebijakan
Wapres Jusuf Kalla. Ia langsung memberikan kesan tentang pemerintahan yang
belum sejalan. Ia sukses menunjukkan pada publik bahwa ada perbedaan visi di
kabinet.
Publik memiliki sikap yang terbelah atas
sosok ini. Ada yang mengaguminya sebab menunjukkan keberanian menyatakan sikap.
Tapi ada pula yang kesal dengannya sebab seakan-akan ia merusak harmoni dalam
tim kerja di level negara yang berjalan rapi di bawah koordinasi duet
Jokowi-JK.
Harus dicatat. Sosok Rizal memang
kontroversial sejak dahulu. Konon, ia punya prestasi. Tapi nampaknya prestasi
itu tak seberapa mentereng. Ingatan publik tentang sosok ini lebih banyak pada
kalimatnya yang lugas dan ceplas-ceplos ketika mengkritik pemerintah. Bahkan,
publik juga mengingat dirinya yang beberapa kali hendak menjadi calon presiden,
namun tak dilirik satupun partai politik. Pada titik ini, kita bisa katakan
kalau dia memang punya ambisi yang belum kesampaian.
Ada pula yang menyebut-nyebut dirinya
sebagai sosok ekonom anti-neoliberalisme yang sengaja dipasang pada posisi
menko demi mengerem laju banyak pihak yang hendak mengarahkan ekonomi kita ke
era pasar bebas. Entahlah. Yang pasti anggapan ini tumbuh subur di banyak
diskusi.
Namun, bagaimanakah memahami posisi Rizal?
Apakah sesungguhnya kartu yang sedang dimainkannya? Apakah ia sedang menjadi
musuh bersama demi memuluskan sesuatu atau melindungi seseorang? Marilah kita
mengikuti empat teori tentang Rizal Ramli.
Pertama, pemerintah sedang membutuhkan
kapasitas Rizal Ramli untuk menguatkan barisan tim ekonomi. Sebagai ekonom,
tentu saja tokoh ini punya analisis sendiri atas ekonomi Indonesia. Sosok yang
memahami ekonomi makro sebagaimana dirinya dibutuhkan pemerintah untuk membenahi
ekonomi yang digembar-gemborkan sedang lesu dan terancam krisis.
Hanya saja, argumentasi ini punya banyak
kelemahan. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa harus dirinya? Mengapa bukan
sosok-sosok lain yang justru punya kapasitas dan prestasi serta track record
yang lebih baik ketimbang dirinya? Artinya, kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa ini bukan soal kapasitas. Rizal dipasang di posisi menko untuk satu
kepentingan yang lain, tak hanya isu ekonomi semata.
Kedua, Rizal dihadirkan di kabinet sebagai
pengecoh atau pengalih perhatian semua media dan publik. Baru dua hari di
kabinet, ia sudah mengeluaran pernyataan-pernyataan kontroversial yang lalu
‘digoreng’ oleh banyak media. Publik mendapat tontotan baru yang menarik untuk
terus diamati. Kesan disharmoni serta kritik yang dikemukakan Rizal menjadi
bahasan hangat di mana-mana.
Mekanisme pengalihan isu ini sukses
diterapkan Partai Demokrat di zaman SBY ketika meminta duet Ruhut Sitompul dan
Sutan Bhatugana jadi pengecoh. Gaya bicara dan sikap hantam sana-sini ala Ruhut
dan Sutan sukses mengalihkan perhatian publik pada kinerja pemerintah yang
biasa-biasa. Mereka menghadirkan satu drama dan tontonan menarik yang justru
sangat disukai oleh media massa.
Dalam konteks Rizal, semua pernyataannya
harus dilihat sebagai bagian dari drama dan skenario untuk mengecoh publik. Ia
memainkan peran dalam komunikasi politik yang bertujuan untuk memecah perhatian
publik agar fokus pada dirinya, lalu abai terhadap sejumlah isu strategis
yangharusnya disorot. Ia menyelamatkan muka presiden dengan menjadikan dirinya
sebagai sasaran kritik. Padahal, semuanya berada dalam koridor yang sudah
didesain oleh ahli komunikasi politik di pemerintahan kita.
Ketiga, teori perpanjangan tangan. Sejak
dilantik, Rizal Ramli tak pernah sedikitpun mengeluarkan pernyataan tentang
kebijakan Joko Widodo. Malah, ia mengeluarkan kalimat-kalimat positif, misalnya
presiden memintanya secara humble
untuk jadi menteri, dan ia tersentuh. Padahal, sebelum jadi menteri,
pernyataannya banyak yang menyerang Jokowi, misalnya pernyataan tentang kabinet
Presiden Jokowi yang kualitas KW3.
Secara politik, kita juga bisa melihat
bahwa Presiden Jokowi dikelilingi oleh beberapa kekuatan. Sejauh yang saya
lihat, Jokowi sangat lihai dalam menempatkan posisi ketika berhadapan dengan
banyak kelompok. Makanya, saya menduga kalau Rizal Ramli bersama beberapa trio
Luhut Pandjaitan, Sutiyoso, dan Hendropriyono diposisikan sebagai samurai yang
menghunus pedang untuk menebas banyak kelompok, demi semakin menguatkan
supermasi Presiden Jokowi.
Rizal diposisikan sebagai perpanjangan
tangan, sekaligus penyampai sikap presiden yang merasa dikepung oleh berbagai
kelompok. Melalui sikap yang ceplas-ceplos itu, Rizal sedang melakukan testing the water agar para jagoan turun
gunung lalu ikut meramaikan debat. Sejauh ini, saya melihat Pak JK dan Rini
tidak seberapa serius menanggapinya.
Keempat, teori politik pasca-Jokowi. Harus
dicatat kalau Rizal adalah sosok yang cukup ambisius. Ia pernah mencalonkan
diri sebagai calon presiden, tapi tak ada partai yang bersedia mencalonkannya.
Makanya, di tahun 2004, ia pernah disebut sebagai capres ‘tanpa partai.’
Boleh jadi, ia merasa sedang berada di
panggung yang penuh dengan sorot lampu dan kamera. Ia ingin mempertegas
branding-nya sebagai sosok idealis yang siap menyampaikan sikap di manapun
posisinya. Soal disharmoni dalam kabinet, itu soal lain baginya. Yang penting
publik melihat bahwa dirinya punya sikap yang jelas sehingga tepat menjadi
pemimpin Indonesia beberapa tahun mendatang. Tapi dugaan saya, Presiden Jokowi
dan Wapres JK tahu persis langkah-langkah Rizal itu. Namun mereka sengaja
membiarkannya sebab tentu saja paham sampai batas mana kemampuan Rizal dalam
mengendalikan wacana.
Sekali lagi, ini hanyalah teori. Terserah
anda mau memilih mana teori yang mana. Jauh lebih baik kalau ada teori lain di
luar empat teori yang disebut di atas. Sebab dengan cara demikian, diskusi akan
lebih hidup. Kita akan mendapat perspektif yang lebih holistik tentang apa yang
sebenarnya terjadi. Yang pasti, politik kita sangatlah dinamis, penuh drama dan
intrik menarik.
Bogor, 19 Agustus 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar