ilustrasi |
DI satu toko buku, saya melihat buku yang
berkisah tentang para pebisnis dunia. Saya tiba-tiba saja tertarik untuk
membaca sambil berdiri. Dalam waktu singkat, saya menelusuri kisah pendiri
Youtube dan Instagram. Ternyata dibalik produk hebat, terdapat gagasan-gagasan
sederhana yang dirawat dengan tekun hingga akhirnya menjadi kuat mengakar. Di
balik kisah hebat, terdapat banyak sinisme dan nujuman akan gagal.
Saya akhirnya mendapat definisi baru
tentang kehebatan. Bahwa mereka yang hebat bukanlah mereka yang meraup
pundi-pundi hingga jutaan dollar. Bukan pula mereka yang memiliki harta
berlimpah serta rumah mewah di mana-mana. Mereka yang hebat adalah mereka yang
selalu bisa bangkit dari kegagalan, mereka yang bisa mengabaikan semua sikap
sinis dan ketidakpercayaan orang lain, mereka yang bisa menemukan passion yakni sesuatu yang disukainya
dan bekerja untuk merawat kesukaan itu.
Kita mulai dari Youtube, situs yang paling
banyak menayangkan video, serta menyediakan ruang bagi siapapun untuk
memposting video. Kisah tentang Youtube
bermula dari tiga anak muda bernama Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim
yang selalu kumpul-kumpul dan membahas banyak hal. Ketiganya sama-sama bekerja
di PayPal, perusahaan pembayaran online.
Ketiganya selalu begadang dan ngobrol
tentang ide-ide bisnis. Mereka sering bertengkar dengan sengit dan tak
menemukan satu ide brilian yang sama-sama disukai. Suatu hari mereka menyadari
bahwa mereka punya hobi yang sama yakni mendokumentasikan sesuatu. Mereka
sama-sama narsis dan suka memamerkan videonya.
Ide untuk membuat Youtube bermula dari kekesalan.
Mereka sama-sama kesal karena kesulitan meng-upload video di internet. Mereka
lalu berpikir untuk membuat sebuah situs yang bisa memungkinkan mereka untuk
meng-upload video dengan secepat mungkin sehingga bisa memperlihatkannya pada
rekan-rekannya
Dari sebuah garasi di San Francisco
(Amerika Serikat) pada tahun 2005, mereka lalu mendiskusikan situs web yang
kelak akan sangat populer di dunia maya. Sejarah itu bermula dari video pertama
yakni Jawed yang sedang berada di kandang gajah. Tak punya modal, mereka lalu
membuat promosi dari mulut ke mulut, lalu mengirimkan email ke banyak orang.
Kesuksesan tak lantas datang. Di masa
awal, situs itu tak juga ramai dikunjungi. Hingga akhirnya, ketiganya menemukan
satu formula hebat untuk menggapai kesuksesan. Formula itu disebut Tiga C yakni
Content, Community, dan Commerce. Mereka menyadari bahwa sebuah situs harus
seperti warung kopi yang memiliki komunitas, punya rasa kopi yang hebat, serta
sukses membuat orang akan selalu datang.
tiga pendiri Youtube: Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim |
Mereka lalu membenahi sistem. Youtube
dibuat lebih simpel, bisa diakses siapapun, serta bisa membuat betah. Untuk
commmunity, mereka membuat fitur ‘related videos’ yang membuat pengguna bisa
lebih betah dan ingin melihat lebih banyak video. Mereka membenahi fitur share.
Tak disangka, dari garasi itu telah lahir
sebuah revolusi besar di dunia visual. Dahulu, tayanganvisual hanya bisa
dilahirkan oleh perusahaan-perusahaan besar, kini semua orang bisa memproduksi
konten yang kemudian menjadi viral dan ditonton banyak orang, disebarkan
melalui media sosial, lalu mendatangkan banyak pengiklan.
Youtube lalu menjadi fenomena baru yang
bernilai jutaan dollar. Para pendirinya kaya-raya dan terus bertambah kaya. Jangan
terkejut, Steve Chen dan Jawed karim baru berusia 36 tahun, sedangkan Chad
Hurley baru berusia 38 tahun. Diusia muda itu mereka sukses membuat situs yang
serupa ayam bertelur emas. Youtube masih akan terus-menerus mengeluarkan telur
emas. Tak disangka, dari garasi sempit, sebuah gagasan bisa tumbuh dan mengubah
dunia. Revolusi sedang terjadi.
***
KISAH Youtube tak berbeda dengan kisah
pendiri Instagram. Sejarahnya bermula dari anak muda bernama Kevin Systrom. Lelaki
yang pernah belajar di Stanford University ini dahulunya adalah karyawan di
Google. Sejak awal, ia bermimpi untuk membuat wadah yang bisa menyalurkan hobi
fotografi serta kegemarannya bermain-main di ranah internet. Ia lalu mulai
merancag Instagram.
Demi mewujudkan impiannya, ia berani
menolak pinangan Mark Zuckerberg untuk bekerja di facebook. Orang-orang
menganggapnya gila sebab berani menolak kesempatan emas untuk mendapatkan gaji
tinggi. Ia memilih untuk menjalankan idenya sendiri, apapun hasilnya. Ia bahagia
apapun hasilnya, sepanjang ia punya kuasa untuk membumikan gagasannya. Demi
impian, ia siap untuk menantang arus dan melaukan sesuatu.
Ia berpikir, jika dirinya bisa sukses di
perusahaan orang lain, maka pastilah akan bisa sukses di perusahaan sendiri. Ia
lalu mengajak beberapa orang, lalu mengembangkan beragam fitur. Ia menyajikan
fitu yang menawa, di mana orang-orang bisa mengedit foto sendiri dan
menambahkan beberapa efek yang disediakannya. Instagram dirancangnya fleksibel
sebab hanya bisa dioperasikan dnegan menggunakan mobile phone. Prinsipnya, semua orang bisa menjadi fotografer, dan
bisa membagikan pengalaman memotret kepada orang lain.
Kevin Systrom, pendiri Instagram |
Tepat pada 6 Oktober 2010, ia mendaftarkan
Instagram ke Apple Aps Store. Hanya dalam waktu sejam, aplikasi itu telah
diunduh hingga lebih dari 10 ribu kali. Dalam sebulan, apikasi itu telah
diunduh hingga lebih 100 ribu orang. Pada titik ini, Instagram sukses memikat
hati banyak orang, yang kemudian saling terhubung dan setia berkirim kabar
melalui gambar. Perlahan, semua pengiklan datang dan menjadikannya sebagai
seorang yang kaya-raya.
Systrom mengaku tak terkejut dengan kian
meroketnya Instagram yang menghasilkan jutaan dollar baginya. Kesuksesan itu,
dianggapnya, datang karena gagasan yang dimilikinya adalah hal baru bagi
pengguna internet. Kekuatannya bukan karena menghadirkan filter dan fasilitas
edit, tapi kemampuan untuk membangun komunitas yang saling terhubung dan
bertukar rasa melalui gambar.
***
DUA kisah di atas memberikan banyak
inspirasi. Ada bayak kisah lain yang juga menakjubkan. Di antaranya adalah Evan
Williams (pembuat Twitter), Ben Silberman (Pinterest), Dave Morin (Path), Jan
Koum (WhatsApp), hingga Jeff Bezos (Amazon). Mereka semua adalah para penguasa
dunia digital yang masih berusia muda.
Di tangan anak-anak muda seperti mereka,
ada banyak lompatan berpikir serta revolusi di bidang bisnis. Mereka yang muda
ini justru bisa melihat celah dan peluang, yang justru diabaikan oleh generasi
tua. Melalui kemampuan melihat celah itu, gagasan-gagasan besar bisa dibumikan
ke dalam langkah-langkah kecil yang kemudian menjadi lompatan besar.
Saya teringat pada buku Grown Up Dgital yang ditulis Don
Tapscott. Ia menjelaskan keajaiban berpikir anak-anak muda yang kemudian
mengubah dunia. Kata Tapscott, tak semua orang bisa memahami bahwa kaum muda
kita berkembang dengan pesat sehingga sebelum usia dewasa, mereka telah
memiliki kerajaan bisnis yang dibangun di atas fundasi hobi bermain mereka.
Fenomena ini mengingatkan pada lirik yang dibuat Bob Dylan, “There’s something happening here but you
don’t know what it is.”
Fenomena ini menjelaskan banyak hal.
Selain sebegitu kuatnya ideologi American Dream yang membuat obsesi anak-anak
Amerika hendak menggapai kemakmuran, juga menggambarkan bahwa impian yang
ditanam sejak kecil akan menjadi kompas bagi seseorang untuk bergerak ke arah
yang diidam-idamkannya. Hanya melalui kerja keras dan sikap tahan banting demi
menggapai impian, seseorang akan menjadi sosok hebat di masa mendatang. Hanya
dengan memeberikan kebebasan dan kemerdekaan, soerang anak bisa mengembangkan
bakat bermain menjadi sesuatu yang kemudian menjadi industri bernilai jutaan
dollar.
Kekuatan generasi yang saat ini berusia di
bawah 40 tahun adalah kemampuan untuk menjadi konsumen sekaligus produsen bagi
berbagai produk. Nilai-nilai generasi ini didapatkan melalui proses belajar
sosial dan kolaborasi melalui teknologi. Di Jepang inovasi teknologi dan
kemajuan itu diwakili oleh sosok Nobita yang selalu menginginkan teknologi baru
dari kantung Doraemon. Melalui kisah itu, rasa lapar dan rasa haus pada
teknologi terus dibangkitkan sehingga generasi baru tertantang untuk terus
berinovasi dan melahirkan hal-hal baru.
Akan tetapi, satu hal yang saya saksikan,
daya-daya inovasi itu hanya bisa lahir di tengah komunitas dan masyarakat yang
memberikan ruang seluas-luasnya bagi pengembangan bakat dan hobi. Penulis Malcolm
Galdwell dalam Outlier menjelaskan
bahwa hanya pada tanah yang gembur, sebuah bibit bisa tumbuh subur dan kelak
menjadi pohon rindang. Artinya, hanya pada masyarakat yang mendukung kebebasan
dan sikap positif, bakat-bakat besar akan bermunculan lalu mewarnai dunia masa
depan. Di negara seperti Amerika Serikat dan Jepang, sikap positif dan dukungan
terus dimunculkan demi melejitkan potensi anak mudanya agar bisa berpretasi
besar.
Sewaktu saya tinggal di Amerika Serikat,
saya bisa merasakan begitu kuatnya sikap positif serta dukungan masyarakat
untuk kemajuan seseorang. Masyarakat dan dunia sekolah benar-benar menjadi
lahan gembur yang memberikan dukungan agar seorang anak bisa tumbuh kokoh dan
kelak dahan dan rantingnya akan menjangkau mega-mega.
Nah, pertanyaan yang kemudian mengganjal
saya adalah bisakah bakat-bakat besar akan tumbuh di negeri ini ketika
ruang-ruang maya justru dipenuhi oleh mereka yang selalu berpikir negatif dan
menyebarkan virus-virus kebencian dan ketidakpercayaan pada banyak anak muda
kita? Bisakah kita menciptakan generasi yang tangguh tatkala masyarakat kita
justru memeihara kebencian pada sesamanya serta masih melihat tetangganya
sebagai sosok yang harus dibenci hanya karena berbeda agama dan pilihan politik?
Biarlah, waktu yang kelak akan menjawab
semuanya.
Bogor, 24 Juli 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar