Cermin Besar di Media Sosial



DAHULU, ketika media massa masih berjalan sendirian dan tanpa pesaing, diskusi dan perdebatan masih bisa digiring ke arah alur yang rasional, logis, dan ilmiah. Namun di era media sosial, diskusi bisa menjadi ajang caci maki secara terbuka, dan segala otoritas bisa dibolak-balik. Media sosial menjadi ruang di mana seorang orang ingin eksis, mau nyambung ataukah tidak.

Ada banyak orang yang begitu terbuka menyampaikan isi kepalanya, tanpa mau mengecek apakah yang disampaikannya emas ataukah sampah. Ada banyak orang yang begitu mudahnya memaki para ulama dan cendekiawan, padahal dirinya masih mencari-cari posisi pijak di pasir pengetahuan. Ada banyak orang yang merasa hebat dan menyebut yang lain bodoh.

Yang hilang di media sosial adalah cermin besar bernama refleksi. Tak banyak orang yang mau melihat dirinya secara utuh, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Niat untuk belajar dan terus menambah pengetahuan itu telah lama dikalahkan oleh pikiran beku yang mengingatkan pada kisah katak dalam tempurung. Berdebat di situ tak selalu membuahkan hasil yang baik. Sepanjang satu gagasan tak bersesuaian dengan apa yang dipikirkannya, maka dengan mudahnya gagasan itu disingkirkan, tanpa proses telaah dan mengembangkan pengetahuan.

Apakah kenyataan di media sosial semuram itu? Nampaknya tidak selalu demikian. Media sosial juga mempertemukan dengan banyak orang baik yang selalu mau berbagi ilmu pengetahuan. Di ranah ini, saya bisa berinteraksi dengan banyak pemikir, penulis, serta orang-orang hebat yang selalu murah hati untuk berbagi khasanah pemikiran. Inilah mutiara berharga yang selalu saya serap dalam setiap interaksi.

Pada mereka yang menginspirasi inilah saya belajar banyak. Namun pada mereka yang memenuhi media sosial dengan ‘sampah' ini pula, saya belajar memahami bahwa kehidupan tak selalu satu warna. Semua orang berusaha untuk menemukan apa warna terbaik yang akan dipilihnya, lalu berusaha untuk mempertahankannya. Ada yang mempertahankan dengan jalan rasional, dialog, dan membuka pikirannya, ada pula yang mempertahankannya dengan logika sempit, dangkal, dan mati-matian ingin jadi pemenang.

Hai, bukankah medsos adalah cerminan dari masyarakat kita?


Bogor, 15 Juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar