Rahasia di Balik Kedubes Amerika



DI balik tembok kukuh Kedutaan besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, terdapat banyak hal yang mengundang rasa penasaran. Apakah gerangan aktivitas yang ada di sana? Bagaimana perasaan mereka yang berkantor di situ dan setiap saat menghadapi demonstrasi dan kecaman dari sejumlah orang yang mengatasnamakan diri sebagai penganut Islam di Indonesia?

***

PAGI itu, saya datang ke kantor Kedubes AS untuk wawancara visa. Saya melihat tembok kokoh yang tinggi serta kawat berduri di atasnya. Saya lalu ikut antrian banyak orang yang menunggu jadwal untuk diwawancarai. Saat masuk ke dalam, saya melalui beberapa pintu metal detector. Beberapa orang diminta membuka tas untuk diperiksa apa gerangan isinya. Malah, ada yang diminta melepas sepatu karena mengandung unsur logam.

Pihak kedutaan terlihat sangat hati-hati saat memeriksa semua yang masuk ke dalam. Di dalam kedubes, terdapat jalur yang dilalui oleh para pencari Visa. Tapi saya sempat melihat ada banyak ruangan yang aksesnya terbatas. Hanya bagi orang-orang yang memiiki kode akses yang bisa memasukinya.

Sepintas, kantor ini serupa benteng yang dilindungi dengan sangat ketat. Entah apakah mereka yang di kantor ini mengindap paranoid atau ketakutan berlebihan. Saat menunggu antrian, tiba-tiba saja sirine terdengar. Ada suara yang memerintahkan agar semua orang menunduk. Kata seorang kawan, sejak peristiwa hancurnya WTC, pihak kedutaan lebih mengetatkan penjagaan. Pihak kedutaan berhak untuk tidak mengeluarkan visa bagi orang tertentu jika dirasa mencurigakan. Untunglah, saat itu tak terjadi apa-apa.

Pengalaman itu menghadirkan banyak rasa ingin tahu yang yang tumbuh dalam benak. Apakah gerangan aktivitas yang dilaukan pihak kedubes? Saat membayangkan bahwa kantor itu menjadi sasaran demonstrasi dari berbagai ormas Islam, apakah gerangan yang dirasakan oleh mereka yang berkantor di situ? Apakah yang mereka lakukan sebagai representasi dari negara adidaya di tanah yang jauh ini?

Sekian lama saya menyimpan pertanyaan itu. Namun sejak membaca buku yang ditulis Stanley Harsha berjudul Seperti Bulan dan Matahari; Indonesia dalam Catatan Diplomat Amerika (terbitan Kompas 2015), pertanyaan itu sedikit demi sedikit terjawab. Saya mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga sekaligus jawaban tentang aktivitas pihak kedubes.

Stanley Harsha adalah diplomat Amerika yang bertugas di Indonesia. Sebelumnya, ia sudah melalangbuana pada berbagai penugasan. Uniknya, Stanley kemudian jatuh cinta pada perempuan asal Indonesia, lalu menikah dan memiliki bebrapa anak. Yang menarik, Stanley berusaha untuk memahami kebudayaan Jawa, berusaha untuk memahami berbagai simbol budaya serta kebiasaan masyarakat Indonesia. Ia belajar dari berbagai pengalaman, lalu memberikan catatan kritis, sekaligus refleksi atas pengalamannya.

Buku ini berisikan banyak topik yang dijalin menjadi satu. Sebagai pengkaji budaya, saya bisa merasakan perjuangan Stanley untuk memahami berbagai benturan budaya. Ia yang lahir dari keluarga Amerika dan dididik untuk selalu rasional dalam melihat sesuatu, tiba-tiba mesti membiasakan diri untuk berinteraksi dalam kebudayaan Jawa yang lebih mengedepankan rasa. Melalui pengalaman itu, ia bisa belajar banyak lalu memosisikan dirinya sebagai seorang yang baru belajar kebudayaan jawa dan kebudayaan masyarakat Indonesia lainnya.

Ia berusaha mencari kesamaan budaya demi memudahkan proses interaksi. Kalaupun ada perbedaan budaya, ia belajar untuk tidak memvonis budaya tersebut. Ia berusaha memahami makna, lalu menerjemahkannya dalam segala laku dan tindakan. Dengan cara ini, ia bisa diterima oleh banyak kalangan di Indonesia. Ia bisa menjalin persahabatan dengan banyak kelompok

Bagian yang paling menarik buat saya adalah bagian yang bercerita tentang respon pihak kedubes saat menghadapi gelombang demostrasi serta pernyataan kebencian pada pemerintah Amerika. Sebagai pihak kedubes, yang diusahakan Stanley adalah munculnya pemahaman atau minimal pengertian atas segala yang dilakukan negaranya. Makanya, ia mencatat dengan rapi segala bentuk protes dan pernyataan tidak sepakat dari semua elite politik maupun ormas terhadap bangsanya.

Dalam buku ini, saya menemukan betapa rapinya cara kerja pihak kedubes. Mereka rajin mengamati semua wacana, membaca liputan semua koran, membuat analisis media, setelah itu merencanakan  berbagai program. Mereka tekun mengadakan riset untuk menghitung sejauh mana persepsi warga Indonesia atas Amerika. Digabungkan dengan analisis media, mereka lalu merumuskan hendak melakukan apa. Di antara program yang dilakukan adalah mengunjungi elite politik, pemimpin, ataupun semua lembaga ormas serta pesantren.

Buku ini menyajikan beberapa fakta yang disampaikan secara terbuka. Di antaranya bagaimana respon para elite politik yang menuduh Amerika paranoid karena melemparkan tuduhan pada Al Qaeda sebagai dalang tragedi runtuhnya WTC. Stanley menyajikan kesaksian tentang warga Indonesia yang tidak percaya bahwa kehancuran gedung itu karena teroris. Malah, yang muncul adalah kecaman kepada pemerintah Amerika karena hendak menyerang markas Al Qaeda di Afganistan. Beberapa pimpinan ormas dan organisasi Islam lalu menyatakan jihad.

Stanley juga mengungkapkan keprihatinannya atas tindakan sweeping kepada warga Amerika. Ia sempat merasa tidak aman sekaligus mengkhawatirkan keluarganya. Ia lalu mengungsikan keluarganya ke Amerika. Sebagai phak kedubes, ia mesti menjalankan misi untuk menangkis kemarahan masyarakat sekaligus berusaha memastikan semua warga Amerika tetap aman dari tindakan anarkisme. Ia rajin memberikan informasi kepada warga Amerika. Di saat bersamaan, ia juga menggelar beberapa progra. Di antaranya adalah kunjungan ke elite-elite politik Indonesia, kunjungan ke semua pemimpin media, serta kunjungan ke semua organisasi ormas.

Tantangan yang dihadapinya adalah (1) bagaimana menjelaskan ke banyak orang Indonesia tentang bahaya terorisme, (2) bagaimana meyakinkan orang-orang bahwa Amerika tak pernah membenci umat Muslim, sebab yang dibenci adalah oknum pelaku kekerasan, (3) bagaimana menjelaskan sikap Amerika yang selalu ingin bersahabat dengan siapapun. Ia selalu mengacu pada Pew Research yang menyatakan bahwa sebagian besar warga Indonesia tidak percaya dengan wacana terorisme yang selalu diteriakkan Amerika.

Yang saya saluti adalah langkah-langkah yang dilakukan pihak kedubes selalu mengacu pada riset dan pengayaan data. Saya bisa merasakan betapa rapinya kegiatan pengumpulan data, riset lapangan, serta analisis pemberitaan media yang mereka lalukan. Stanley menyebut banyak headline media yang mendiskreditkan Amerika. Ia memetakan posisi berpijak berbagai media, lalu merencanakan sejumlah program. Di antaranya adalah menggelar kunjungan media demi sama-sama mendiskusikan berbagai isu. Bahkan, ia juga datang ke Majalah Sabili, yang selama ini dikenal sebagai anti-Amerika dan anti-Yahudi.

Pihak kedubes juga menggelar kampanye diplomasi publik. Mereka membuat satu tim untuk menangani kampanye anti-terorisme. Hampir setiap hari mereka mengirimkan hak jawab ke semua media massa, menghubungi tokoh-tokoh masyarakat, lalu menyebarkan brosur ke lebih dari 3.000 pesantren. Meskipun kampanye itu digelar secara simultan, Stanley mengakui bahwa kebanyakan orang Indonesia; (1) tetap menganggap Osama bin Laden tidak bersalah dan bukan ancaman dunia, padahal bukti-bukti kuat telah disampaikan, (2) tetap menganggap bahwa serangan teroris 11 September bukan ancaman bagi dunia, (3) tetap menganggap perang melawan teroris adalah perang melawan Islam.

Kesadaran memang membutuhkan proses untuk menggapai kematangannya. Ketika bom meledak di Bali, warga Indonesia baru sadar tentang bahaya nyata terorisme. Ketika bom kembali meledak di Hotel JW Mariott, barulah tokoh-tokoh politik mempercayai tentang ancaman terorisme. Beberapa pemimpin ormas keagamaan mulai berbicara lain ketimbang sebelumnya. Meskipun malu-malu, mereka mulai mengakui ancaman terorisme serta perlunya meningkatkan kewaspadaan sebab bom bisa meledak di mana saja dan mengancam siapa saja. Pada titik ini, Stanley dan pihak kedubes yang mulai merasa tidak aman sebab bom bisa jadi menyasar mereka.

Apa boleh buat. Kebencian buta seringkali menjadi penghalang bagi seseorang untuk melihat cahaya kebenaran. Tak adil juga memusuhi bangsa Amerika dengan hanya berdasar pada satu atau dua keping informasi, yang boleh jadi bahannya hanyalah kutipan dari satu media. Di era social media ini, informasi bisa menjadi senjata yang menghadirkan rasa benci pada seseorang. Dengan hanya berbekal pada septong informasi tidak lengkap, seseorang bisa membenci dan memusuhi orang lain. Barangkali yang harus dilakukan adalah mengembangkan sikap kritis, menelaah setiap informasi dengan gamblang, dan setelah itu menyusun langkah-langkah terbaik yang harus dilakukan.

Pada titik ini, Stanley Harsha, seorang diplomat Amerika yang berpindah keyakinan menjadi seorang Muslim, telah mengajarkan banyak hal.


Bogor, 3 Juli 2015



0 komentar:

Posting Komentar