SELAMA lima tahun terakhir, saya seolah
tak punya tempat pijak yang jelas. Saya selalu berpindah-pindah tempat demi mengikuti
garis takdir dan nasib. Di semua tempat yang saya datangi, saya selalu
mengumpulkan berbagai buku, yang jika dikumpulkan akan bisa menjadi
perpustakaan besar. Sayang, kesemua buku itu tersebar di berbagai tempat.
Takdir saya ibarat seorang peladang
berpindah yang bergerak mengikuti sumber daya serta tugas-tugas dadakan. Hari
ini saya tinggal di Bogor, esok hari saya mungkin akan berpindah tempat lagi.
Nah, pada setiap perpindahan tempat, saya akan lama memandang buku-buku saya
yang susah dibawa-bawa. Terkadang saya akan mengikhlaskannya pada beberapa
sahabat. Saya ibarat tupai yang mengumpulkan bahan makanan di satu pohon demi
menyambut musim dingin.
Bagi saya, buku itu ibarat bahan makanan
yang setiap saat bisa mengatasi rasa lapar akan pengetahuan. Buku memiliki gizi
yang tak bisa ditemukan pada berbagai makanan. Menyimpan banyak buku ibarat
menyimpan nutrisi yang penting bagi tubuh. Sebab melalui buku itu, tersimpan
banyak kenangan serta jejak berpikir pada satu masa.
Jika saja surga adalah gambaran dari
tempat yang paling diinginkan, maka saya membayangkan surga sebagai tempat yang
dipenuhi buku-buku. Dahulu, saya pernah bermimpi untuk punya kafe buku yang
luas, lalu ada banyak film yang bisa ditonton beramai-ramai, serta panggung
kecil bagi para penampil dan pekerja seni. Itulah surga yang saya bisa saya
bayangkan dan paling saya inginkan. Tak lebih. Hingga kini, saya masih
memelihara anggapan tentang surga itu.
Di mata saya, mengumpulkan buku jauh lebih
penting dari mengumpulkan baju-baju bagus. Jika di masa kuliah, saya berani
membeli buku di saat uang bulanan hanya cukup untuk makan, maka di masa
sekarang pun saya berani menunda hasrat untuk membeli beragam keperluan lain
demi buku-buku.
Saya tak hendak membatasi ketertarikan
saya pada satu aspek bacaan. Saya menyukai beragam tema. Tak hanya meminati
buku-buku teks ilmu sosial dan sejarah, saya juga meminati beragam fiksi dan
kisah-kisah yang ringan, namun menghibur. Buku menjadi jendela buat saya untuk
memahami dunia, bertemu dengan berbagai karakter, serta merasakan langsung
degup jantung seseorang di satu tempat. Melalui buku, saya bisa bercengkerama
dengan banyak orang di berbagai lokasi.
Buku serupa portal mesin waktu yang bisa
memindahkan saya ke berbagai lokasi. Saat membaca buku tentang Gandhi, saya
bisa merasakan bagaimana tarikan napasnya saat mengorganisir publik India yang
secara damai berdemonstrasi di tambak garam. Saat membaca buku tentang para
pelacur Karamat Tunggak, saya bisa hanyut dalam perasaan para pekerja seks yang
tengah dihimpit kesulitan ekonomi dan tekanan sosial. Saat membaca buku tentang
Khidir, saya seolah menjadi sosok Musa yang merasa lebih punya pengetahuan,
lalu merasa kesal karena Khidir berbuat sesukanya.
Kerap kali buku menghadirkan kesedihan
yang berkepanjangan. Saat membaca kisah Khais dan Layla, atau kisah San Pek dan
Eng Tay, saya bisa merenung berhari-hari memikirkan betapa cinta tak hanya
membawa kisah-kisah indah namun ada pula kisah getir yang mengharu-biru.
Tak cuma sedih, buku juga bisa membawa
terbang ke mana-mana, Buku adalah semesta yang membawa saya ke negeri
antah-berantah. Saat membaca fiksi sejenis Harry Potter, saya tiba-tba saja
berada pada dunia penuh sihir, hewan ajaib, dan dunia penuh petualangan. Pada
buku-buku dongeng, saya bisa ikut terbang bersama para peri dan bidadari, bisa
menjadi Jaka Tarub yang menemukan sayap bidadari lalu menyimpannya di bawah
tumpukan padi. Saya juga bisa menjadi para ksatria pengejar cahaya yang
mengasah pedang demi menebas angkara.
Pada buku-buku itu ada energi yang
mengalir deras dan memasuki pikiran sejak pertama kali membuka lembar pertama. Pada
buku itu terdapat demikian banyak embun hikmah yang selalu membasahi batin saya
kala sedang mengalami dahaga pengetahuan. Pada buku itu terdapat banyak harta
karun berharga, yang dikumpulkan manusia selama berabad-abad, lalu disajikan
kepada manusia zaman kini demi menjadi mata air pengetahuan. Betapa ruginya
jika kita tak melunangkan waktu untuk membaca barang sejenak.
Sungguhpun saya tak dianugerahi harta
berlimpah, saya bahagia kala menatap tumpukan harta karun yang tak akan pernah
habis memberikan inspirasi. Pada semua buku-buku itu, saya menyimpan banyak
catatan tentang kehidupan yang
Namun belakangan ini, harta karun itu
semakin bertambah. Anak saya Ara mulai jadi pembaca yang hebat. Ia mulai rajin
minta dibelikan buku-buku gambar, kisah-kisah dongeng untuk dibacakan sebelum
tidur, hingga berbagai buku untuk diwarnai, ditempeli sticker, hingga buku
putri-putri.
Barangkali, di mata sebagian orang, saya
hidup jauh dari berkecukupan. Tapi saya merasa amat kaya-raya saat memandang
tumpukan buku-buku yang seolah berkisah banya hal tentang kehidupan, jalan
panjang menggapai impian, serta masa-masa yang penuh gegap-gempita.
Bogor, 15 Juli 2015
Saat melihat-lihat koleksi buku milik Ara
1 komentar:
membaca tulisan ini seperti sy membaca diri sy yg juga suka mengumpulkan buku2 yg bahkan kadang ada yg sampai sekarang belum terbaca. Rasanya memang ada kepuasaan tersendiri saat melihat tumpukan buku, atau membuka lembar demi lembar dr buku, aroma buku baru. walau terkadang buku yg tertumpuk belum terbaca, ttp sj masih menamnah koleksi br. sy pernah juga terinspirasi dr seorang penulis buku. dalam satu minggu dia sll membaca 3tema buku yg berbeda. menggugah sy untuk memcoba, dan ternyata mengasyikkan.
tulisan ini keren..
Posting Komentar