Tolikara, Inspirasi, dan Benci yang Mengoyak


seorang remaja di Raja Ampat, Papua Barat

KENANGAN saya tentang para sahabat asal Papua adalah keceriaan, tawa riang, kebahagiaan, dan persahabatan. Sungguh tak adil jika mereka yang amat baik hati itu terus-terusan dianggap sebagai penebar konflik yang menyakiti hati banyak orang, yang justru berumah di luar Papua. Saatnya menegakkan hukum, dan kembali mempererat solidaritas sosial di tanah surga itu.

***

SAHABAT itu bernama Umar Werfete. Ia berasal dari Kaimana, negeri yang amat tersohor dengan senja yang indah di tanah Papua. Kami berkenalan saat sama-sama mendapatkan beasiswa untuk bersekolah ke luar negeri. Dikarenakan bahasa Inggris yang pas-pasan, kami harus memperdalam kemampuan berbahasa Inggris di kampus Universitas Indonesia. Kami teman sepejuangan yang berusaha meningkatkan kemampuan bahasa dalam waktu terbatas.

Sejak pertama mengenalnya, saya tahu kalau kami akan menjadi sahabat. Meskipun saat itu saya belum pernah ke Papua, namun kultur tanah itu dan kampung halaman saya tak jauh beda. Di kawasan timur Indonesia, ada banyak dialek serta bahasa, tapi entah kenapa, ada semacam benang merah komunikasi yang bisa menautkan berbagai etnik. Sejak awal, saya sudah bersahabat dan sering kali bersama-sama.

Pada masa itu, kami sama-sama khawatir tak bisa mencapai skor Toefl minimal untuk bisa berangkat sekolah. Kebanyakan kawan lain mati-matian belajar dan setiap hari latihan. Malah, beberapa di antara mereka meminta kepada sahabat yang bahasa Inggrisnya hebat untuk belajar di rumah. Segala persiapan ditempuh demi lulus tes.

Di tengah situasi itu, justru Umar yang saya lihat tetap tenang. Hampir tak pernah saya melihatnya panik saat menjelang ujian. Sehari sebelum ujian, ia masih berkeliaran di Monas sembari menenteng kamera. Ketika banyak sahabat belajar keras, ia tetap santai dan bersikap easy going saat menunggu hasil tes. Pada titik ini, saya sepaham dengannya.

Sosoknya identik dengan keceriaan. Ia tipe sahabat yang tak mau memikirkan hal yang susah-susah. Bersamanya, tak ada hal yang bisa membuat pusing kepala. Hampir setiap hari ia membawa segudang kisah-kisah lucu khas Papua yang selalu sukses membuat semua orang terpingkal-pingkal. Uniknya, ia sering juga mengeluarkan joke yang mengkritik orang Papua sendiri. Salah satunya adalah kebiasaan makan sirih. Ia pernah berkata, “Untuk apa makan sirih. Kau mau jadi burung kah?”

Pernah kami membahas agama. Ia seorang Muslim. Tapi di Papua, ia punya dua nama. Di kalangan Muslim, ia dipanggil Umar. Akan tetapi di kalangan orang Kristen, ia dipanggil Marthen. Meskipun ia sendiri seorang Muslim, agama tak pernah menjadi kategori sosial yang menghambat interaksinya dengan siapa saja. Sebab keluarganya sendiri ada yang Muslim, namun banyak pula yang Kristen. Tak ada hal yang membedakan mereka sebab sama-sama menyadari bahwa mereka adalah orang Papua yang satu tubuh, satu jiwa.

“Di Papua, kami tak pernah bahas agama. Malah kadang saya tidak tahu apa agamanya keluarga atau teman. Teman-teman juga sering mengira saya Kristen. Makanya saya sering dipanggil Marthen. Saya tak pernah persoalkan itu. Kami semua adalah keluarga,” katanya.

***

Saya juga dekat dengan sahabat asal Papua bernama Richardus Keiya. Lelaki yang dipanggil Riki ini berasal dari Nabire. Saya mengenalnya ketika sama-sama bergabung di tim IPB untuk melakukan riset tentang pemetaan desa berbasis masyarakat di Berau, Kalimantan Timur. Sebagaimana Umar, sosok ini juga sangat ceria sehingga disukai banyak orang di lokasi penelitian. Ia bisa menghidupkan suasana sehingga kegiatan riset menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan.

saya dan penari Papua
pinang, buah yang dikonsumsi bersama sirih di Papua

Kata seorang kawan, Riki adalah seorang penganut Kristen. Anehnya, saya tak pernah mendengar dirinya ke gereja atau membahas tentang Al Kitab. Saat kami berdiskusi, ia menunjukkan ketertarikan pada filsafat. Saat itu, saya merekomendasikan buku Sophie’s World, karangan Jostein Gardner, yang berisikan petualangan seorang anak perempuan yang belajar filsafat secara kronologis.

Rupanya buku itu amat disukai Riki. Ia pernah meminta saya untuk menjelaskan tentag kaitan antara permainan lego dan ajaran filsuf Democritus yang menemukan teori tentang atom. Saat itu saya mengatakan bahwa seorang lelaki adalah sekeping atom. Ia membutuhkan perempuan sebagai atom lain demi membentuk satu senyawa.

Ia tersenyum lalu mengeluarkan dompetnya. Ia memperlihatkan foto kekasihnya yang kini menjadi seorang tentara. Ternyata pacarnya adalah perempuan asal Jawa yang mengenakan jilbab. Mereka sama-sama sepakat untuk mengabaikan perbedaan, dan mencari persamaan-persamaan. Cinta menjadi kekuatan yang merekatkan hubungan mereka.

Hebatnya, Riki tak pernah mempersoalkan keyakinan mereka yang berbeda. Baginya, agama harus bisa mendekatkan jarak antar sesama manusia. “Abang, kami juga tak pernah bahas perbedaan. Biar waktu yang akan jawab kami akan ke mana setelah ini.”

***

PADA dua sosok ini saya belajar banyak untuk memahami Papua. Bagi mereka yang melihat sesuatu berdasar pengkotakan agama, pasti akan sukar menjelaskan fenomena dua sahabat ini. Mereka memang memeluk agama, tapi interaksi mereka sangatlah cair sebab agama tidak pernah mengelompokkan mereka ke dalam satu kubu.

Siapapun yang datang ke tanah ini, apapun agamanya, pasti akan disambut sebagai sahabat selagi membawa niat baik. Namun sekali seseorang membawa niat jahat, maka orang-orang akan enggan mendekat. Pada setiap kunjungan ke tanah ini, saya mendapat kehangatan dan persaudaraan yang amat erat, tanpa memandang agama dan asal-usul. Tanah ini serupa rumah yang selalu terbuka pada siapapun yang hadir.

Beberapa hari terakhir ini, ada berita tentang rusuh di Tolikara, Papua. Orang-orang dengan entengnya langsung menuding itu sebagai konflik agama. Mereka yang sejak awal mudah emosi itu langsung menyerukan kutukan dan makian melalui berbagai kanal media sosial. Kekerasan hendak dibalas dengan kekerasan. Fakta-fakta dipilah berdasar kepentingan. Fakta tentang masjid dibakar telah diperbesar, lalu mengabaikan fakta tentang penembakan yang telah menewaskan warga sipil.

Kita sungguh menyesalkan tragedi penyerangan dan pembakaran kios serta rumah ibadah. Tapi kita juga harusnya menyesalkan tragedi penembakan warga sipil yang kemudian menewaskan warga dan melukai banyak orang. Kios dan rumah ibadah itu bisa dibangun lebih mewah, tapi bagaimanakah mengembalikan nyawa warga yang tewas di sana? Siapakah pelaku dan korban di sana? Bagaimanakah mengembalikan tanah itu sehingga kembali menjadi tanah yang damai setelah darah bersimbah, dan publik dari berbagai tempat menyerukan kecaman?

Fakta lain yang kerap terabaikan adalah sejarah panjang konflik politik dan kepetingan di tanah itu. Sejak lama, Papua menjadi arena bagi berbagai korporasi dan pebisnis skala dunia yang tiba-tiba saja mengklaim tanah itu, hanya berdasarkan selembar surat dari pemerintah pusat, serta dukungan aparat keamanan. Posisi warga lokal hanya sebagai sekam yang sewaktu-waktu bisa dibakar demi menutupi satu praktik kejahatan korporasi yang sudah lama berlangsung di sana. Mereka bisa didor oleh para preman yang kerap berbaju penegak hukum. Warga lokal hanya sebagai penonton yang seaktu-waktu bisa dibakar emosinya, setelah sebelumnya dipanas-panasi oleh banyak orang yang tinggal di luar Papua.

seorang ibu tengah melayani pembeli di Sorong, Papua Barat

seorang anak sedang memancing

Tentu saja, di sana ada juga benih konflik. Tapi sejarah pulau itu yang panjang telah menunjukkan bahwa masyarakatnya sanggup mengelola kebaragaman serta perbedaan menjadi perekat hubungan sosial. Malah, mereka yang bertengkar di media sosial itu kerap mengabaikan fakta sosiologis orang Papua memang sejak awal tak pernah mempersoalkan perbedaan. Mereka yang banyak berdebat adalah mereka yang justru tak pernah menginjakkan kaki di tanah itu. Kenyataan lalu dipotret sederhana, yang sejatinya hanya sekadar melegitimasi benih konflik yang telah lama bersemayam di kepala masing-masing.

Di Tolikara memang ada konflik. Tapi benih-benih konflik yang paling besar justru tumbuh dalam benak kita semua yang berada di luar Papua. Benih itu muncul pada ketidaksiapan untuk menghadapi perbedaan, keinginan untuk menjadi mayoritas yang berkuasa segalanya, serta ketidakmampuan untuk menemukan cara-cara mengelola perbedaan menjadi sesuatu yang menguatkan masyarakat dan bangsa ini. Benih itu muncul pada setiap kutukan dan kecaman kita yang seolah merasa lebih tahu apa yang sedang terjadi di sana, padahal informasi kita hanya berdasar media-media penghasut dan selebaran yang datang entah dari mana.

Benih itu muncul pada liputan penuh hasutan dari berbagai media yang menginginkan pertengkaran dan debat runcng menjadi arena jihad. Benih konflik itu muncul pada sikap kita yang selalu melegalkan konflik melalui sejumlah kutipan ayat dan dalil.Benih konflik itu muncul pada keengganan kita untuk menemukan solusi bersama yang bisa kembali menyatukan solidaritas yang sempat terkoyak oleh rasa benci  dan amarah.

***

Di tengah eskalasi debat panjang di media sosial itu, saya tak pernah menyaksikan satupun kalimat atau komentar dari Umar dan Riki. Keduanya tak pernah satupun mengeluarkan kalimat yang memanasi konflik sosial sehingga semakin ramai. Keduanya malah tenang-tenang saja. Keduanya paham bahwa konflik hanya bisa diselesaikan oeh orang Papua sendiri, tanpa harus membiarkan berbagai kelompok masuk ke sana. Mereka punya kearifan, serta daya lentur menghadapi beragam perbedaan. Perekat mereka adalah semangat orang Papua yang ceria, selalu bersahabat, dan tak pernah memandang orang berdasarkan agama dan keyakinan.

Di saat konflik mulai mencuat, Riki mengirimkan pesan singkat, “Abangku menurut saya: di papua jarang sekali terjadi masalah agama. Yang saya tahu sejauh ini mereka aman2 dan akur. Yang saya takutkan adalah kasus ini di jadikan "permainan" oleh beberapa oknum.”

Saya sepakat dengan Riki. Saatnya menunggu tangan negara yang tak hanya menangkap para perusuh, tapi juga siap menangkap polisi yang melakukan penembakan. Saatnya negara menjadi Oediphus yang siap menegakkan hukum, meskipun kelak hukum itu akan menjerat dirinya sendiri. Saatnya menanam kembang perdamaian bersama seluruh warga Papua yang kelak akan menkar dan semerbak wangi di tanah surga itu. Saatnya mengembalikan energi besar dan keriangan orang Papua agar selalu menjadi inspirasi bagi bangsa kita. Saatnya menguatkan warga di negeri yang disebut vokalis Edo Kondologit sebagai "Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah seluas madu, adalah harta harapan."


Bogor, 20 Juli 2015

BACA JUGA:




4 komentar:

Unknown mengatakan...

keren bro, semoga banyak yang sedang membacanya...

Anonim mengatakan...

Sungguh menyejukan dan bermanfaat buat kita untuk berpikir secara jernih dan positif dalam hidup berdampingan satu dengan yang lain. Salam damai.

Unknown mengatakan...

keren..keren..keren... Inspiratif....

Unknown mengatakan...

keren dan mengispirati

Posting Komentar