NEGERI kita negeri agraris. Yup, slogan
itu ditanamkan sejak dulu. Kita amat berbangga dengan sawah-sawah yang
membentang luas di berbagai pulau. Namun di balik keindahan sawah itu, terselip
satu fakta menggiriskan tentang semakin kurangnya minat anak muda untuk menjadi
petani. Tak ada lagi anak muda yang bangga berkata ingin menjadi petani. Mereka
minder, lalu berkata, “Malu aku jadi petani.”
***
PAGI baru saja merekah di ufuk timur
ketika Asep bersiap-siap hendak berangkat ke sekolah. Di depan rumah, ia
menemui sang ayah yang juga tengah bersiap-siap ke sawah. Sang ayah memegang
cangkul dan beberapa peralatan di sawah. Asep berpamitan lalu mencium tangan
ayahnya. Sang ayah berkata, “Semoga jadi anak yang pandai dan berhasil. Jangan
seperti ayahmu yang cuma petani.”
Aku tersentak ketika mendengar kalimat
“Jangan seperti ayah yang cuma petani.” Kalimat ini mengesankan bahwa menjadi
petani adalah pilihan yang paling buruk di tengah begitu banyak profesi. Ada
rasa rendah diri serta rasa minder ketika menyadari diri sebagai petani, lalu
tumbuh harapan agar kelak sang anak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Aku teringat ucapan Bung Karno, “Pertanian
adalah soal maju mundurnya suatu bangsa!” Pertanian menyangkut hajat hidup
orang banyak, mulai dari petani hingga warga yang sangat tergantung pada hasil
pertanian sebagai sumber pangan. Pertanian adalah urat nadi tumbuhnya
masyarakat, menentukan corak budaya, mengukir peradaban.
Namun di balik wacana pertanian, terdapat
sejumlah individu yang berjuang keras untuk menegakkan marwah kita sebagai
negeri agraris. Pertanian menjadi tumpuan hidup bagi jutaan orang yang tinggal
di pedesaan. Para petani-petani ini menjadi harapan bagi seluruh anak bangsa atas
terpenuhinya kebutuhan pangan. Sungguh menyedihkan ketika nasib petani tak
seindah bulir padi yang menguning di sawah-sawah.
Cerita tentang Asep dan ayahnya kusaksikan
di pinggiran Cianjur, Jawa Barat. Dalam perjalanan ke beberapa desa di wilayah
itu, kutemukan fakta yang sungguh menggiriskan. Desa-desa pertanian menjadi
kantong-kantong kemiskinan. Beras yang diproduksi petani dijual dengan harga
murah. Beras impor membanjiri pasar sehingga menyulitkan petani untuk menjual
beras dengan harga pantas.
Fakta yang paling memiriskan adalah
kekhawatiran akan punahnya generasi baru petani di Indonesia. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan trend menurunnya jumlah tenaga kerja di sektor
pertanian. Pada tahun 2011, tenaga kerja di sektor ini mencapai lebih dari 37
juta orang. Pemerintah memproyeksikan, jumlah tenaga kerja pertanian pada tahun
2019 akan turun hingga 34 juta orang. Jika dilihat dari kelompok umur, maka
kebanyakan pekerja sektor pertanian kita berusia di atas 60 tahun.
Dikhawatirkan, sektor pertanian kita semakin mundur karena kurangnya generasi
yang lebih muda, yang bersedia masuk ke sektor ini.
“Kalau saya jadi petani, maka tak ada
peningkatan di keluarga. Lagian, siapa sih, anak muda yang mau jadi petani? Tak
ada yang mau hidup miskin dan tidak berpendidikan. Mending ke kota dan mencari
kerja yang lebih layak,” kata Asep saat kutemui seusai sekolah.
Namun tak tepat jika hanya menyoroti Asep.
Ada anggapan yang tumbuh di masyarakat bahwa pertanian tidak mendatangkan citra
yang baik. Pertanian identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Bahkan para
petani pun kerap menganggap pekerjaan sebagai petani kalah kelas dibandingkan
pekerjaan lain. Di desa-desa Cianjur yang kususuri, tak satupun petani yang
menginginkan anaknya meneruskan profesi ayahnya. Kebanyakan ingin agar anaknya
menjadi pegawai negeri sipil (PNS) ataupun menjadi karyawan perusahaan.
“Biarlah abah saja yang jadi petani. Asep
harus jadi orang sukses. Dia harus berhasil,” kata Abah Rully, ayah Asep.
Lantas, hendak dikemanakan sawah luas yang selama ini menjadi sandaran
kehidupan? “Sawah itu akan dijual setiap saat kalau Asep butuh tambahan ongkos
untuk sekolah.”
***
DI Jakarta, Presiden Joko Widodo berkali-kali
menyebut tentang target lahan sejuta hektar serta terwujudnya swasembada
pangan. Pemerintah menganggap kebutuhan pangan adalah hak dasar warga negara
yang harus segera dipenuhi. Krisis pangan adalah bencana yang bisa memicu
ambruknya tatanan sosial yang bisa menjungkalkan rezim.
Jika penduduk berjumlah 250 juta orang dan
setiap hari warga mengonsumsi 0,1 kg pangan, maka kebutuhan pangan yang perlu
disediakan per tahun adalah 90 juta ton. Nah, bisakah target ini dicapai ketika
lahan pertanian semakin menyempit, dan tak banyak lagi pemuda yang bersedia
menjadi petani demi menyuplai kebutuhan pangan nasional. Dalam kurun waktu lima
tahun, ada 5 juta Rumah Tangga Pertanian (RTP) yang tidak lagi berprofesi
sebagai petani dan lahan pertanian alih-fungsi.
lahan persawahan di Mamasa, Sulawesi Barat |
Di hadapan kita tersaji fakta yang sangat
menggiriskan ketika anak-anak muda justru menolak jadi petani dan memilih ke
kota demi hidup yang lebih baik. Di saat bersamaan, kondisi petani kita sangat
memprihatinkan. Petani tidak mendapatkan perhatian dan kepedulian yang serius,
baik pada porsi anggaran maupun pada porsi kebijakan yang memberdayaan. Yang
terjadi adalah: (1) Tidak tersedia SDM yang cukup, (2) Tidak tersedia jaminan
akses modal, (3) Tidak tersedia jaminan akses pasar (4) Sarana infrastruktur
yang kurang, (5) Tidak tersedia teknologi yang memadai. Jika kondisi ini terus dibiarkan,
maka dikhawatirkan akan terjadi ancaman bagi kedaulatan pangan yang bisa
melemahkan sendi-sendi kebangsaan kita.
Memang, di tanah air kita, kisah-kisah
tentang pertanian adalah kisah tentang klaim dan nestapa. Di satu sisi
pemerintah selalu mengklaim keberhasilan menggenjot sektor pertanian,
keberhasilan menciptakan swasembada pangan, serta menanamkan slogan tentang
pertanian sebagai sokoguru kehidupan masyarakat.
Tapi di sisi lain, pertanian menyisahkan
kisah-kisah nestapa tentang nasib para petani yang tak bisa beranjak dari
lembah kemiskinan. Profes identik dengan kemiskinan dan kebodohan. Banyak di
antara petani yang memang tidak punya lahan. Mereka mengolah sawah milik orang
lain dengan perjanjian untuk saling berbagi hasil, namun semua biaya produksi
menjadi tanggungan petani.
***
ASEP hanyalah satu dari begitu banyak anak
muda yang tak tertarik untuk kembali ke sektor pertanian. Pekerjaan besar yang
mesti kita lakukan bersama adalah kembali menjadikan desa menjadi kekuatan
utama dalam tananan kebangsaan kita. Itu bisa berarti bagaimana mengembalikan
peran desa sebagai payung besar yang menaungi semua kalangan, termasuk kalangan
generasi muda.
Ketika Asep enggan bekerja di sektor
pertanian, maka itu pertanda tentang begitu banyaknya pekerjaan rumah yang
harus dilakukan untuk mencapai swasembadapangan. Pada akhirnya, pembangunan
bukan sekadar tolok ukur fisik dan material, namun lebih ke arah bagaimana
terpenuhinya kebutuhan mendasar sebagai seorang warga negara. Pembangunan
memiliki dimensi budaya yang mencakup tercukupinya kebutuhan sebagai manusia,
dan tercapainya satu kondisi yang memanusiakan manusia. Tanpa itu, pembangunan
pertanian hanya menjadi slogan yang hanya kencang diucapkan saat kampanye,
namun minim realisasi.
Yah, seperti kata penyair Chairil Anwar,
kerja memang belum selesai. Belum apa-apa!
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar