Menemukan Asa pada Si Kurus


DARI sedikit pemilihan presiden (pilpres) yang pernah kusaksikan, pilpres kali ini adalah yang paling meriah, penuh gegap gempita, dan paling menegangkan. Sejak kandidat belum jelas, aku sudah menceburkan diri ke dalam arus perbincangan publik, mengamati isu demi isu, hingga akhirnya memutuskan menjadi relawan di luar struktur.

Entah kenapa, aku menjadi sedemikian antusias. Namun setelah kutimbang-timbang, ada beberapa penjelasan mengapa aku mendukung pria kurus yang menjadi pemenang itu.


Pertama, aku simpati karena dirinya menjadi sasaran kampanye hitam dan segala celaan negatif. Rasanya sungguh menyedihkan sebab dirinya menjadi sasaran dari berbagai isu negatif. Mulai dari asal-usulnya, latar keluarganya yang miskin, tuduhan sebagai minoritas Tionghoa, hingga tuduhan sebagai anggota PKI.

Bagiku, semua energi negatif dan fitnah itu tak akan membuat kualitas pilpres ini semakin menarik. Entah kenapa, banyak yang beranggapan kalau satu cara untuk mengalahkan pria kurus itu adalah sebanyak mungkin menyebar semua cerita dan rumor tentang dirinya. Soal kebenaran adalah soal lain. Yang penting hancurkan reputasinya, lemahkan karakternya, serta buat dirinya jadi seorang pecundang. 

Gerah dengan kampanye hitam itu, aku memutuskan untuk berkampanye dengan cara positif yakni memperkenalkan semua kebaikan-kebaikannya. Menebar energi negatif ibarat menikam pisau ke diri sendiri. Yang dirusak oleh fitnah itu bukan sekadar reputasi orang lain, tapi juga diri sendiri, khususnya hati yang sebening cermin dan bisa menjadi tempat nurani untuk menjawab semua pertanyaan kita. Melalui tindakan menyebar fitnah, seseorang sama dengan menikam dirinya berkali-kali dan mengaburkan cermin nuraninya sendiri.

Kedua, sejak dahulu aku sangat memperhatikan rekam jejak (track record) seseorang. Ketika lawan si kurus itu adalah seorang jenderal yang tak punya prestasi hebat, aku tak simpatik. Aku tak tertarik dengan visi dan retorika. Bagiku, retorika bisa diasah dan dilatih hingga mahir. Malah, aku seorang pengajar retorika di perguruan tinggi. Hal yang tak bisa dilatih adalah kejujuran, keikhlasan, serta kebajikan hati. Unsur-unsur inilah yang membuat nama seseorang bisa mengendap dalam hati banyak orang. Tanpa rekam jejak yang baik, tak ada jaminan seseorang akan bisa menjadi pemimpin yang hebat.

Ketiga, aku tak suka gaya kampanye kandidat lain yang selalu menonjolkan sisi militerisme dan pembelaan atas masa Orde Baru yang sedemikian bobrok. Bagiku, Indonesia harus terus bergerak. Kita tak boleh mundur dan kembali pada romantika zaman itu. Rata-rata publik tahu bahwa masa itu adalah masa yang sangat kelam bagi para aktivis pergerakan. Kebebasan diberangus. Penguasa arogan dan sewenang-wenang. Rakyat sipil sering jadi korban kekerasan negara. Demi pertumbuhan ekonomi, negara tak seharusnya menghilangkan harapan mereka yang bersuara kritis.

Makanya, ketika kandidat itu selalu bicara tentang ketegasan ala militer, aku semakin yakin untuk tidak memilihnya. Aku ngeri dengan reputasinya yang pernah menghilangkan kebebasan orang lain. Bagiku, kebebasan itu amatlah penting. Tanpa kebebasan, tak akan lahir kemerdekaan, serta keberanian untuk mengemukakan pikiran. Di zaman fasis berkuasa, kebebasan itu lenyap. Banyak orang yang kehilangan hidup hanya gara-gara berbeda pendapat. Dan Indonesia tak boleh mundur. Indonesia harus maju terus dan meninggalkan semua kisah kelam pada masa itu.

Keempat, aku kepincut dengan gerak-gerik si kurus itu. Ia memang tak jago retorika. Ia juga lebih banyak diam. Tapi rekam jejaknya amatlah mengesankan. Ia bisa menghargai rakyat kecil dan memosisikannya sebagai saudara dekat. Ia tak memakai bahasa ilmiah ala perguruan tinggi. Bahasanya adalah bahasa rakyat jelata yang kemudian menjadi identitas serta style politiknya yang sering turun ke pasar-pasar tradisional dan berdialog dengan banyak pedagang.

Idenya unik-unik. Ia bicara tentang ekonomi kreatif. Ia bicara tentang maritim. Ia juga bicara tentang rakyat kecil yang terabaikan di pusaran pembicaraan politik. Ia berbicara tentang hal-hal sederhana yang jarang dibahas para politisi kita. Tema-tema yang sederhana itu semakin meyakinkanku bahwa ia akan menjadi pemimpin yang tak melupakan akarnya. Ia bisa menjadi tumpuan ketika banyak orang kecil negeri ini yang menjadi warga kelas dua. Aku tak hendak angkuh sebagai kelas menengah kota yang hidup nyaman. Aku menginginkan pemerintah yang berpihak pada rakyat. Bagiku, kKeberpihakan pria kurus itu adalah wakil dari idealisme yang harusnya ditanam oleh semua pemimpin, yang kelak akan berbuah manis bagi seluruh rakyat.

***

AKU hanya mencatat empat alasan sederhana. Ada beberapa penjelasan lain mengapa aku memutuskan untuk jadi relawan yang tak dibayar. Dari banyak alasan itu, aku menyederhanakannya menjadi satu. Aku bermimpi melihat Indonesia yang lebih baik. Demi cita-cita itu, aku menaruh kepercayaan pada si kurus yang penuh kekurangan itu. Ia tak sempurna. Ia penuh celah. Tapi ia membawa harapan, sesuatu yang nyaris sirna dalam kehidupan sehari-hari. Ia menunjukkan dirinya sebagai seorang pekerja keras yang bisa memanusiakan orang lain. Pada dirinya, kusimpan banyak harapan.

Sungguh membahagiakan ketika mengetahui bahwa dirinya terpilih sebagai presiden. Semoga saja ia mengemban amanah. kelak, aku akan bercerita pada anakku. "Nak, belajarlah dengan giat. Kita memang orang kecil. Tapi kita punya harapan kelak bisa menjadi orang besar. Kita punya peluang menjadi pemimpin, sebagaimana sosok kurus itu. Nak, dia orang biasa sebagaimana kita. Tapi dia punya harapan kuat yang kemudian menjadi kompas baginya untuk menggapai impiannya."


Selamat kepada Joko Widodo - Jusuf Kalla yang terpilih menjadi Presiden dan Wakul Presiden RI. Tunjukkan pada dunia bahwa kita bisa bangkit!



0 komentar:

Posting Komentar