Surat Getir buat Joko Widodo




BUNG Joko Widodo yang baik. Hari-hari kampanye akan segera usai. Orang-orang akan segera mencoblos. Entah apakah mereka akan memilihmu ataukah tidak, yang pasti semua orang telah punya pilihan. Izinkanlah aku mengemukakan sesuatu yang mungkin tak berkenan bagimu. Mungkin tak membahagiakanmu. Namun bukankah kebenaran harus terus ditajamkan demi menebas belukar ketidaktahuan?

Beberapa minggu silam, engkau mengejutkan diriku di acara debat calon presiden. Dengan bahasa yang terbata-bata dan retorika yang tak menggetarkan itu, engkau berbicara tentang satu hal yang terus terngiang-ngiang dalam benakku. Engkau berkata:

“Saya berdiri di sini karena saya bertemu ibu Heli tukang cuci dari Manado Sulawesi Utara; saya bertemu dengan Pak Abdullah nelayan dari Belawan di Sumatera Utara; dan saat saya ke Banyumas, saya bertemu Ibu Saptinah buruh tani yang setiap hari bekerja di sawah; dan saya juga bertemu Pak Asep seorang guru di Jawa Barat; dan jutaan orang yang ada di negara ini yang menitipkan pesan, menitipkan harapan-harapan kepada kami untuk membangun sebuah ekonomi yang lebih baik."

Kalimatmu itu disampaikan dalam ekspresi yang datar. Bagi sebagian orang mungkin tak menarik. Namun bagiku, kalimat itu laksana embun penyubur nasionalisme yang lama kutanam di dasar hatiku. Mereka yang namanya kau sebut itu adalah para warga biasa yang kalimatnya bergema di panggung sekelas debat calon presiden. Ada banyak pemimpin dan calon pemimpin di negara kita. Semuanya menyebut kata rakyat sebagai jargon kampanye. Namun tak satupun yang menyebutkan rakyat mana yang sedang dibahas. Pantas saja jika bersemi dugaan bahwa rakyat yang dimaksudkan itu adalah para anggota keluarga serta kerabat yang kelak akan menikmai kucuran proyek dari sang pejabat.

Dirimu beda. Dirimu membuatku merinding. Dirimu menyebut nama beberapa orang dari mereka. Suara mereka yang sayup-sayup itu tiba-tiba bergaung di seluruh penjuru Nusantara. Nama-nama dari mereka yang menempati lapis-lapis masyarakat biasa itu tak lagi disederhanakan hanya dengan menyebut kata ‘rakyat.’ Mereka mendapat panggung besar untuk didengarkan oleh seluruh rakyat. Mereka telah menitipkan harapan untuk Indonesia yang lebih baik.

Tahukah kau bahwa kalimat itu mengingatkanku pada legenda aktivis pergerakan bernama Soe Hok Gie yang meninggal pada pendakian di Gunung Semeru tahun 1973. Gie adalah anak muda yang senantiasa dibakar oleh bara perlawanan pada rezim yang korup dan menindas. Namanya harum di segala zaman, dan terus menjadi embun inspirasi bagi para pejuang rakyat.

Di harian Kompas tertanggal 16 Juli 1969, Gie menuliskan satu kekesalan pada rezim Soeharto yang kian berjarak dengan rakyat. Dalam opini berjudul Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang, Gie menulis dengan kalimat yang laksana serupa petir bagi penguasa di masa itu. Ia mencatat:

"Dengan perkataan lain, diperlukan suatu mobilisasi sosial. Komunikasi antara penguasa dengan masyarakat luas. Dengan si Badu kuli di Semarang, dengan si Tini guru di Sumedang, dengan Sersan Siregar di Tapanuli, dengan Rumambi pengusaha di Minahasa atau A Pion agen Lotto harian di Glodok. Agar mereka merasa, bahwa cita-cita besar yang dimiliki oleh lapisan atas pemerintah juga adalah cita-cita mereka. Dan mereka diinspirasikan untuk bekerja keras dan berkorban demi cita-cita besar itu. Tanpa partisipasi sosial dan mobilisasi sosial, cita-cita besar itu akan mati kering.”

BUNG Joko Widodo yang baik. Sungguh ajaib. Engkau dan Gie yang terpisah oleh waktu dibasahi oleh rasa sejarah yang sama. Sejak negeri kita merdeka, suara rakyat hanya menjadi alat legitimasi dari pemerintah berkuasa. Para pemimpin kita tak punya cara untuk merangkum semua suara itu lalu membawanya menjadi kegelisahan bersama. Mereka membangun istana, tembok-tembok kukuh yang membuat semua orang tak bisa menjangkaunya. Mereka membangun sebuah mahligai mewah yang dilengkapi peternakan kuda senilai miliaran rupiah. Dan di balik mahligai itu, mereka terus-menerus menebar impian tentang negeri yang hebat serta gaji yang akan naik tinggi-tinggi.

Engkau menyebut metode mengunjungi rakyat itu sebagai blusukan. Tapi mereka menyebutnya sebagai pencitraan. Dirimu jangan berkecil hati. Mereka terbiasa nyaman. Mereka tak paham bahwa ikhtiar mendengarkan suara rakyat itu laksana sebuah perjalanan panjang yang penuh onak dan duri. Demi mendengar suara-suara lirih itu kita mesti berkelahi dan mengalahkan keangkuhan serta ego yang menganggap diri lebih tahu dan lebih hebat dari mereka yang di akar rumput itu. Demi menemukan mutiara hikmah di padang tempat rakyat bermukim itu, kita mesti bersabar dan melangkahkan kaki di tengah belukar dan duri-duri. Perjalanan itu memang melelahkan, namun selalu ada inspirasi yang bisa diformulasikan untuk menyusun satu kebijakan yang baik bagi sesama.

Kepada mereka yang menuduhmu itu, aku kerap berkata, mungkinkah sebuah pencitraan dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun sejak menjadi walikota hingga menjadi gubernur? Mungkinkah pencitraan itu bisa mengecoh berbagai lembaga independen dan bergengsi, termasuk lembaga asing, untuk membanjiri dirimu dengan penghargaan atas prestasi yang kau torehkan? Bisakah lembaga-lembaga itu diajak kongkalikong demi sekadar pencitraanmu?

Kepada mereka kukatakan bahwa bos perusahaan penghasil lumpur justru setiap hari memasang wajahnya di tivinya sendiri selama bertahun-tahun. Bapak pemelihara kuda itu justru telah beriklan selama bertahun-tahun, di saat dirimu bekerja dan berbuat banyak. Di negeri yang pemimpinnya hanya bisa duduk diam dan berpidato, sosok sepertimu menjadi unik di mata media yang rajin mengikutimu bak semut mengikuti gula. Kalaupun dirimu melakukan program pencitraan, betapa hebatnya pencitraan itu sebab bisa membuat 90 persen lebih warga Solo tetap memilihmu di ajang pilkada, serta memikat warga Jakarta untuk mempercayaimu sebagai gubernur mereka.

Mereka yang membencimu telah menebar banyak pasukan di dunia maya. Mereka menguasai media, lalu mengubahnya sebagai corong besar untuk membahas segala cela pada dirimu. Mereka saling bersahut-sahutan ketika ada berita negatif tentangmu. Tiba-tiba saja mereka menjadi sejarawan yang hanya membaca berbagai link dari blog anonim. Tiba-tiba saja mereka menjadi lebih paham dari semua penegak hukum, dan memastikan bahwa engkau adalah seorang korup, sebagaimana anggota barisan pesaingmu.

Bapak Joko Widodo yang baik. Bisakah kita bicara tentang rasa kebangsaan ketika banyak anak bangsa justru menjadi penebar fitnah dan kampanye hitam? Bisakah kita duduk bersama dan bercerita tentang mimpi-mimpi bangsa kita di saat banyak orang melakukan opeasi ala intelijen demi memburuk-burukkan dirimu agar orang tak memilihmu?


Zaman kita memang kian berubah. Dahulu, Bung Karno dan Bung Sjahrir, dua sosok hebat bangsa ini, seringkali berseteru dan bersaing. Tapi mereka tak pernah saling senyum saat berhadapan, lalu menikam di belakang layar. Malah, ketika pengikut Sjahrir menculik Bung karno lalu  dibawa ke Rengasdengklok, Sjahrir amatlah murka. Ia berkata bahwa sesengit apapun perdebatannya dengan Bung Karno, tetap saja dirinya tak akan pernah bisa menggantikan sosok Bung Karno yang dicintai bangsa Indonesia dengan sepenuh hati. Sjahrir tak mau memburukkan Bung karno, bahkan di tengah situasi yang menguntungkan dirinya.

Sebagaimana para founding fathers kita, dirimu tak sempurna dan penuh celah. Dirimu masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan. Pada titik tertentu, kritik mereka bisa dibenarkan. Namun adalah keliru jika memosisikanmu sebagaimana Aladin yang bisa menyelesaikan semua persoalan dengan hanya mengusap lampu wasiat. Negeri ini sedang membutuhkanmu. Sikap egois yang mematok langkahmu di lingkup kecil adalah sikap yang tidak tepat. Cara-cara penyelesaian masalah yang unik dan humanis itu amatlah dibutuhkan pada level negara.

Rakyat sedang memberimu tantangan untuk mengabdi pada level yang lebih tinggi. Pendekatan yang humanis dalam menghadapi rakyat tengah dibutuhkan bangsa ini. Penguasaanmu akan detil-detil semakin membuatku yakin bahwa dirimu bisa mengemban harapan untuk zaman yang lebih baik. Maka saatnya kita buat sejarah. Menang dan kalah menjadi tak penting sepanjang kedaulatan rakyat terus jantung utama setiap pembangunan. Kita akan berjuang hingga senyum mengembang di wajah masing-masing, tak peduli apapun hasilnya.


***

BUNG Joko Widodo yang baik. Kemarin, kukunjungi pusara Soe Hok Gie di Taman Prasasti, Jakarta. Kupandangi pusara yang di atasnya terdapat tulisan “No body Know My Sorrow, No Body Know My Trouble”.  Gie memang mati muda. Ia membawa bara perlawanan itu dan mewariskannya dalam setiap kata yang pernah dituliskannya. Ia menginspirasi semua demonstran muda melalui buku Catatan Harian Seorang Demonstran yang pernah dituliskannya.

Di pusara Soe Hok Gie, aku merasakan satu semangat besar anak-anak muda yang hendak menebas semua penguasa korup. Mereka dibakar semangat Gie, dan digarami oleh samudera kata-kata yang ditliskannya. Jika kelak kamu benar-benar terpilih, wujudkanlah harapan banyak orang-orang biasa yang kau temui di sepanjang perjalananmu.

Jika kamu gagal mewujudkannya, maka para pengagum Gie itu akan siap menjadi martir. Mereka akan mengirimkan surat getir ketika kamu memilih jadi diktator ataupun menyimpang dari cita-cita indah yang pernah dianyam bersama-sama. Sejalan dengan para petani, pekebun, tukang becak, dan buruh, anak-anak muda itu akan menjadi kerikil yang berdiam dalam sepatumu. Mereka akan menjadi rumput-rumput liar yang kelak meruntuhkan semua tembok kekuasaan yang represif.

Dan kehidupan akan terus diisi dengan kisah heroik tentang mereka yang menginginkan perubahan, dan mereka yang menjaga jalannya perubahan.



0 komentar:

Posting Komentar