Mencari Pelangi di Stadion Gelora


mereka yang menghadiri Konser Dua Jari

ANAK muda itu memegang sebuah kamera pocket. Ia tiba-tiba saja menghentikan langkahku di depan Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Bersama istri dan anak, aku datang untuk menghadiri konser dua jari. Anak muda itu meminta kami memegang kertas bertuliskan salam dua jari, lalu memotret kami. Setelah itu ia lalu menghadiahkan beberapa sticker bergambar Jokowi-JK. Apa harus membayar? Tidak. Hah?

Rupanya anak muda itu bergabung sebagai relawan. Ia sengaja meminta banyak orang untuk berpose. Ia lalu membuat video yang berisikan rangkaian gambar yang merupakan testimoni banyak orang. Aku tak banyak bertanya tentang karya yang sedang dipersiapkannya. Yang pasti, ia seorang pekerja kreatif yang dipandu oleh gagasan-gagasan.

Tak jauh dari anak muda itu, aku melihat dua orang yang sedang menggambar di jalan aspal. Dua orang itu menggunakan jalan raya sebagai kanvas untuk menggambar sesuatu. Nampaknya, mereka sedang menggambar pose Jokowi dan JK. Iseng, kutemui dan kuajak berbincang. Kutanya, apakah mereka mendapatkan bayaran dari apa yang mereka lakukan? Keduanya menggeleng.  Mereka melakukannya secara sukarela.

Keduanya hendak memberikan setitik kontribusi bagi bersemainya gagasan-gagasan tentang kebaikan. Mereka merindukan perubahan. Mereka membumikannya melalui karya-karya yang diharapkan bisa menggugah orang lain. Mereka bekerja dengan cara sederhana, menginspirasi orang lain, lalu menggerakkan yang lain untuk jalan bersisian. Mereka --meminjam isilah Anies Baswedan-- melakukan gerakan ‘turun tangan.’

Stadion Gelora Bung Karno dipenuhi massa yang menyemut. Aku melihat banyak orang berdatangan dengan berbagai atribut. Yang menarik, atribut itu tak seragam. Banyak atribut yang dibuat sendiri. Ada seorang bapak membawa bendera dari kain kotak-kotak yang mirip dengan baju kebesaran Jokowi. Aku melihat sejumlah dokter datang dengan baju kerja yang masih terpasang. Di bahagian lain, tiga orang wanita cantik dengan sepatu hak tinggi datang pula meramaikan GBK. Apakah gerangan yang dicarinya? “Kami ingin jadi saksi perubahan,” katanya.

Ini bukan kampanye pertama bagiku. Tahun 2012, aku dan anak-istri juga menghadiri kampanye Barrack Obama di Ohio, Amerika Serikat. Suasananya sama persis. Ada banyak kelompok kreatif yang meramaikan kampanye. Partisipasi publik muncul secara spontan. Orang-orang membuat fundrising, gerakan mengumpulkan sumbangan dari warga. Ada gerakan ‘One Dollar for Obama.’ Lewat fundrising itu, kampanye diorganisir hingga ke berbagai sudut kota. Kampanye-kampanye itu memantik kesadaran bahwa perubahan harus dikerjakan bersama-sama. Bahwa perubahan harus sama-sama diciptakan. Setiap orang adalah pelaku sejarah, yang lalu beramai-ramai mendatangi lokasi kampanye Obama dengan membawa karton bertuliskan “Forward”.

saat aku dan keluarga menghadiri kampanye Obama di Ohio, Amerika Serikat

Di Gelora Bung Karno, aku merasakan semangat yang sama. Aku bertemu sahabat yang dahulu menjadi aktivis di satu kampus di Makassar. Dahulu, sahabat itu amat kerap di hadapan massa yang sedang berdemonstrasi. Jelang runtuhnya kekuasaan Soeharto, sahabat itu beberapa kali ditahan aparat. Saat lulus, ia bekerja sebagai aktivis pemberdayaan masyarakat. Ia tetap apatis dengan politik. Bahkan ia selalu nyiyir melihat politisi, yang dianggapnya sebagai pemburu rente dan remah-remah kekuasaan.

Kemarin, sahabat itu nampak berbeda. Ia masih terliat garang seperti dahulu. Ia membawa karton bergambar dua jari. Wajahnya bersinar-sinar. Aku tiba-tiba saja melihat dirinya belasan tahun silam ketika masih mengorganisir para mahasiswa. Aku seolah terpental dalam satu lembah sejarah yang sama tatkala sama-sama menjadi pejuang kesepian di masa-masa akhir kejatuhan Soeharto. Kami pernah sama-sama mengorganisir aksi massa, membujuk orang-orang untuk bergabung di barisan yang sama, lalu menjalani hari bersama pada demonstran lainnya. Di stadion itu, sahabatku berbisik:

“Kita punya satu kesempatan untuk menggapai impian kita dahulu. Kita punya satu suara. Kita bisameyakinkan orang-orang untuk satu suara dengan kita. Suara-suara itu akan menjadi air bah yang bisa menjebol apapun. Kamu harus yakin,” katanya dengan berapi-api.

Aku memandang sekeliling. Mereka-mereka yang berbondong-bondong dan membanjiri stadion itu dari berbagai lapisan sosial. Ada yang datang dengan mobil sekelas alpard, ada yang menumpang bis umum, ada pula yang berboncengan. Semuanya berada pada satu semangat yakni sama-sama menginginkan Indonesia yang lebih baik. Semua berada dalam barisan yang sama menginginkan perubahan!

dua orang anak muda sedang menggambar di jalan raya

dua orang peserta kampanye

Yup, begitu abstrak dan luasnya kata perubahan. Barangkali kata itu tak tuntas didiskusikan dalam semalam. Di ajang pilpres, semua bicara tentang perubahan. Semua memberikan janji dan klaim. Namun tak semua para penjanji itu memiliki track record yang memadai sebagai seorang pelaksana janji. Malah, ada yang terjebak dengan nostalgia masa silam, yang justru bisa menjadi jerat di masa kini.

Bisakah kita lepas dari masa silam? Bagiku tidak. Masa silam itu seyogyanya cermin untuk melihat diri kita hari ini, sekaligus untuk melihat sisi kelam yang pernah kita lakukan di masa silam. Dengan belajar dari masa kelam itu, kita belajar untuk tidak mengulangi kekelaman yang sama di masa depan. Kita memaafkan masa silam, tapi tidak akan pernah melupakannya. Melalui sejarah, kita merawat ingatan untuk selalu jernih melihat isi lain diri kita. Kita memaafkannya, namun berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi.

Untuk itulah kami hadir. Kami dan mereka di GBK itu berpijak pada garis yang sama. Kami sama sekali tak dimobilisir. Kami datang bukan karena instruksi. Kami datang demi menyatakan satu sikap untuk tidak kembali berada pada bayang-bayang nostalgia sebuah masa. Kekuatan kami adalah ingatan tentang pedihnya satu masa, dan harapan tentang masa depan yang lebih baik.

aku dan keluarga di konser Salam Dua Jari

salam dua jari

massa yang memenuhi stadion

Kami memang menginginkan bangsa yang kuat, dengan ekonomi perkasa. Tapi kami jauh lebih menginginkan bangsa yang humanis, yang menghargai dan melayani serta memberikan rasa aman kepada semua warganya. Kami sama menginginkan tangan-tangan negara yang serupa tangan lembut seorang ibu ketika anaknya sedang ditimpa musibah. Kami ingin negara yang hadir dalam wajah baik hati pada warganya yang ditimpa kesulitan ekonomi. Kami ingin negara yang menjaga simpul silaturahmi warganya lewat penegakan hukum yang menjangkau semua orang.

Kami punya setitik harapan. Bagi kami, harapan laksana kupu-kupu yang diterbangkan ke angkasa raya. Harapan itu serupa pelangi yang menjadi tangga-tangga untuk menggapai langit. Memang, tak semua harapan bisa menggapai langit. Ada yang tergelincir, dan ada yang terjerembab. Namun, bukankah harapan-harapan yang kait-mengait dan dirajut bersama-sama bisa menjadi kekuatan terhebat untuk menggapai mega-mega impian? Bukankah kekuatan besar itu akan hadir ketika semua orang menyatukan dirinya dalam satu barisan?

Di Gelora Bung Karno, kami melihat pelangi harapan. Ia tidak terletak pada retorika yang mengguntur dan merobek langit. Ia nampak pada ketulusan dan keikhlasan mereka yang hadir dan secara sukarela bergabung pada barisan yang sama. Ia terletak pada kejernihan hati untuk membaca masa silam, melihat masa depan, lalu menggerakkan jari-jemari untuk memilih.

Salam Dua Jari!


BACA JUGA:




0 komentar:

Posting Komentar