Sebuah Getar di Balik Masjid




BERSAMA teman-temannya, pria itu nampak berpakaian safari. Di saat orang-orang datang untuk beribadah di Masjid Kubah Emas yang nampak megah di tengah hamparan pemukiman di Depok, pria itu sibuk mengatur posisi kendaraan. Sempritannya sesekali dibunyikan untuk mengingatkan para pemarkir yang sering tak patuh aturan. Pria itu bekerja sebagai juru parkir yang saban hari mengatur mobil dan motor. Atas jasanya, ia kerap menerima tip yang tak seberapa dari pengunjung masjid.

Seusai salat Idul Fitri, aku memandang masjid yang megah ini. Kubahnya yang mentereng itu dilapisi emas. Beberapa bagian dalam masjid juga dilapisi emas. Interior dalamnya serba mewah. Konon, beberapa perabot mewah sengaja didatangkan dari luar negeri. Pemilik masjid adalah seorang yang menerima anugerah berlimpah berupa materi dan kekayaan. Barangkali, pemilik masjid sengaja membangun masjid itu sebagai prasasti kecintaan yang didedikasikan sebagai rumah bagi Sang Pencipta.

Sang juru parkir itu tiba-tiba saja ada di sebelahku. Tanpa kuminta, ia memberi sekelumit penjelasan tentang masjid. Katanya, suatu hari, perempuan kaya-raya itu ditimpa sakit yang gawat. Perempuan yang berasal dari Banten itu lalu bernazar jika sakitnya sembuh, ia akan membangun masjid megah di tanah luas yang dimilikinya. Nazarnya serupa telaga yang kemudian menampung mukjizat. Perempuan itu sembuh. Demi sebuah ucapan terimakasih, masjid besar dengan kubah-kubah yang dilapisi emas berdiri di tanah itu.

Kisah masjid itu serupa kisah Taj Mahal di India. Hanya saja, Taj Mahal dibangun sebagai perlambang cinta dari seorang raja pada kekasihnya, sementara masjid ini adalah tanda terimakasih serta rasa bahagia karena melalui satu penyakit berat yang serupa ujian. Masjid ini didedikasikan sebagai tanda syukur pada Dia yang mencipta semesta.

Masjid itu serupa teratai yang mengambang di tengah lautan hijau. Di sekitarnya, ada rerimbunan bonsai serta pohon-pohon rindang. Aku tiba-tiba saja berandai-andai. Barangkali, taman-taman yang tak boleh diinjak sebab rumputnya tertata rapi itu dibangun sebagai tanda kecintaan pada Dia yang telah menyembuhkan. Barangkali masjid ini serupa altar untuk mempersembahkan cinta pada-Nya.

Namun, ada tanya yang tiba-tiba menghujam dan menusuk-nusuk ke dasar hati. Apakah Dia kerap hadir dalam bangunan semewah itu? Apakah Dia bahagia menerima ungkapan terimakasih dalam rumah semegah itu? Apakah Dia justru berumah di hati mereka yang ikhlas dan bening hatinya di tengah situasi ketika tak ada sepeserpun uang di kantong? Apakah Dia memilih tinggal bersama mereka yang tak pernah menunggu momen tertentu untuk mengucapkan terimakasih?


Takbir berkumandang. Aku bergabung dengan orang-orang yang salat di samping masjid. Ribuan jamaah memenuhi masjid ini hingga meluber ke jalan-jalan.  Imam masjid amat fasih ketika berdoa. Seusai salat, sang khatib juga fasih menyeru kepada semua jamaah untuk menghayati kemenangan setelah berpuasa selama sebulan penuh.

Tak disangka, kembali aku bertemu pria itu seusai salat. Ia kembali sibuk sebagaimana sebelumnya. Katanya, ia tak ikut salat sebab mesti memastikan semua mobil-mobil mewah itu dalam keadaan aman. Kuperhatikan dirinya yang memandu sebuah mobil mewah. Sungguh dada ini sesak ketika beberapa mobil mewah itu justru tak menggubrisnya. Pemilik mobil mewah itu tak mengulurkan tip untuk lelaki yang memandu mobilnya untuk keluar dari kerumunan.

“Tak apa. Memang, tip bukan kewajiban,” katanya.

Tapi aku merasa ada yang salah. Seharusnya, seorang petugas parkir berhak mendapatkan apresiasi atas kebaikan yang dilakukannya. Ia berdedikasi dengan pekerjaannya. Ia melaksanakan amanah dan tanggung jawab yang dibebankan padanya. Bahkan di saat ia tak mendapatkan sejumput rezeki atas jerih payahnya, ia memiliki keluasan dan kelapangan hati, lalu memaafkan mereka yang tak menggubrisnya.

Aku melihat sekeliling. Masjid ini adalah potret kemegahan, sekaligus potret keterasingan. Masjid ini terletak justru di tengah begitu banyak warga miskin yang mengais rezeki dari sosok berpunya yang datang untuk sekadar berfoto narsis, lalu meng-upload di media sosial. Mereka yang hanya bisa bermimpi bisa sehebat pemilik masjid itu justru punya keluasan hati dan kebesaran jiwa untuk selalu memaknai setiap gerak dalam hidup memiliki hikmah-hikmah yang bisa mengayakan batin. Orang-orang kecil yang amat baik hati itu telah menjadi pilar-pilar utama yang menguatkan kokohnya masjid.



Jangan pernah meremehkan mereka yang nampak biasa itu. Tanpa mereka yang penuh kebaikan itu, masjid akan kehilangan embun-embun hikmah. Tanpa warga miskin di sekitar masjid itu, tak bakal ada kisah dedikasi dan keteladanan dalam wujud kesetiaan pada tanggungjawab, serta kebesaran hati untuk memaklumi orang lain. Mereka yang biasa itu adalah getar indah yang terasa dalam setiap masjid. Mereka membuat kita tergetar kala menyadari bahwa jantung utama sebuah masjid adalah niat tulus untuk memakmurkannya, serta hasrat untuk membumikannya dalam setiap tindakan-tindakan kecil yang kita lakukan.

Seorang teman pernah bercerita kalau dirinya tak pernah tergetar ketika mendengar bacaan fasih dari imam di masjid-masjid megah. Sefasih apapun bacaan salat di masjid megah, ia tak tergetar. Tapi, suatu hari, teman itu diliputi rasa haru yang amat tebal ketika singgah di satu pemukiman kumuh yang tengah diguyur hujan. Dari sebuah mushalla reyot yang atapnya bocor dan berdinding bambu yang bolong sana-sini, teman itu mendengarkan suara bening seorang anak yang tengah mengaji. Suara lirih anak itu menembus suara hujan dan menggetarkan sanubarinya. Saat itulah, teman itu tergetar dan merasa amat kecil di hadapan-Nya.

Apakah Anda pernah merasa tergetar ketika berada di satu masjid hebat?


 

0 komentar:

Posting Komentar