Putri Ungu di Istana Merah


saat Ara di Istana Anak-Anak


MIMPI dan bahagia itu sederhana. Tak perlu menempuh perjalanan sebagaimana yang dilakukan Eric Weiner ketika mengunjungi Bhutan. Tak perlu mengikuti jejak Elizabeth Gilbert yang berkunjung ke Italia, India, dan Indonesia. Kita bisa menggapainya dengan melakukan hal-hal sederhana, namun penuh makna.

Dua bulan silam, anakku Ara menyaksikan foto ibunya ketika berkunjung ke Istana Anak-Anak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Melihat foto istana itu, Ara langsung sesunggukan. Ibunya lalu bertanya kenapa sedih, Ara menjawab singkat, “Ara ingin ke istana. Mau jadi putri.”

Ara memang bukan anak kecil lagi. Pada usia menjelang tiga tahun, ia keranjingan menonton semua film tentang putri-putri. Ia mengikuti kisah para putri yang dibuat Disney. Ia juga suka menyanyikan lagu Let It Go, yang merupakan soundtrack film Frozen. Ia suka menjentikkan jarinya, dengan harapan akan ada sihir atau keajaiban. Ia juga suka memakai baju putri berwarna putih dan ungu yang dibelikan ibunya.

Dirinya hari ini adalah akumulasi dari seluruh daya-daya khayal dan imajinasi yang didapatnya dari sejumlah animasi, pergalan dengan ibunya, serta kisah-kisah dongeng yang rajin kubelikan, lalu dibacakan ibunya. Ia ingin terbang. Ia ingin bermain di awan. Ia ingin menembus langit. Ia ingin menjadi putri biru yang berdiam di kastil-kastil dengan menara tinggi menjulang dalam kisah Rapunzel.

Ara dan "Paman Kelinci"

Makanya, ketika mendengar dirinya sesunggukan saat melihat gambar istana, aku hanya bisa diam. Maklumlah, saat itu kami terpisah. Ia berada di Sulawesi Selatan bersama ibunya, sedang aku sendiri berada di Bogor, Jawa Barat. Rencananya, mereka akan mengikutiku ke sini, namun ada beberapa urusan administrasi yang mesti diselesaikan dahulu.

Seperti apakah gerangan makna impian bagi anak kecil?

Dahulu, aku kerap memandang remeh impian. Tapi belakangan kusadari bahwa seorang anak memiliki imajinasi serta daya khayal yang seharusnya serupa balon yang dilepas ikatannya agar membumbung tinggi ke udara. Imajinasi itu serupa kaki-kaki yang bisa menggiring seorang anak untuk menggapai mega-mega dan impiannya.

Kesalahan pendidikan kita adalah seringkali memadamkan imajinasi seorang anak. Pendidikan kita terlampau memaksa seorang anak untuk membumi di pijakan realitas, sebagaimana halnya orang dewasa. Padahal, imajinasi bisa menggiring seorang anak pada daya-daya dan kemampuan menciptakan segala hal yang baru. Tak salah jika fisikawan Albert Einstein berujar “Imagination is more important than knowledge.” Imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan.

Di negeri barat, imajinasi selalu dirawat dalam semesta pendidikan. Aku masih ingat persis, seorang siswa sekolah dasar di satu negara sering diminta menggambar serta melahirkan karya-karya reatif. Hasrat penciptaan dimulai dari impian-impian yang diwujudkan melalui imajinasi. Pernah, aku terheran-heran melihat betapa kreatifnya mereka membuat satu karya berupa kerajinan tangan. Belakangan barulah kuketahui kalau kreativitas, yang dituntun oleh imajinasi, adalah tunas bagi penciptaan sebuah teori dan cara pandang baru dalam sains.


***

DUA hari silam, aku dan ibunya membawa Ara ke TMII. Ia sering tak paham hendak diajak ke mana. Ia tak pernah protes ketika aku dan ibunya membawanya ke mana-mana. Ketika memasuki kompleks TMII, ia sudah berteriak kegirangan. Melihat badut, ia langsung histeris. “Ayah, itu clown. Itu rabbit,” katanya.

Aku lalu mengajaknya berfoto dengan “kelinci” itu. Ia amat kegirangan dan tak henti-hentinya bercerita kalau ia pernah bertemu Paman Kelinci. Aku mengikuti aliran semangatnya yang serupa sungai deras. Aku bahagia melihatnya tersenyum ceria.

Setelah itu, kami lalu naik shuttle bus menuju ke Istana Anak-Anak. Bagiku, tempat itu biasa saja, tidak seistimewa kastil di Disneyland atau kastil Harry Potter di Universal Studio. Bagiku, yang hilang dari TMII adalah aktivitas serta keceriaan. Selama beberapa tahun ini, tempat wisata itu pelan-pelan ditinggalkan oleh mereka yang dahulu setia ke tempat itu. Istana Anak-Anak itu menjadi bangunan yang kosong-melompong, tanpa ada kegiatan yang bisa mengasah imajinasi dan kreativitas seorang anak.

Ara dan Mama
 
patung Gadjah Mada

Tapi tidak bagi Ara. Ketika melihat istana itu dari kejauhan, ia melompat kegirangan. Ia tak henti-hentinya tersenyum. Ia serupa seseorang yang berjalan di tengah padang pasir dan kehausan, tiba-tiba melihat telaga berisi air segar di hadapannya. Ia amat girang karena akhirnya bisa menyaksikan kastil-kastil yang dahulu hanya bisa dibayangkannya. Kini, semua impian itu jadi kenyataan. Kini, semua khayalan itu akhirnya terwujud.

Ia telah memakai baju putri berwarna ungu. Ia melangkah anggun memasuki kastil itu. Ada badut kelinci yang datang menyapa, lalu menggendongnya. Ia lalu menaiki tangga dengan penuh semangat. Ia bahagia sebagaimana tumbuhan yang tertima matahari pagi. Kastil itu memang sederhana, tapi telah mengingatkannya pada banyak hal . Kini, ia serupa Putri Elsa dalam kisah Frozen yang bisa mengeluarkan es setiap kali menjentikkan jari. Ara tak sesakti Putri itu. Tapi ia bisa menyihir dan meletakkan sebening embun dalam sanubariku yang tiba-tiba saja merasakan kebahagiaan serupa.

Yup. Ada embun yang tiba-tiba jatuh di sanubariku. Sebagai orang dewasa, aku lama tak mengalami keriangan seperti itu. Aku terlanjur menjalani hidup sebagaimana masyarakat kota yang selalu bergegas agar tak terlambat. Hari-hariku adalah berpikir, menganalisis, memahami sebuah persoalan, lalu mencari jawabannya. Batinku kering dengan hasrat dan petualangan baru, serta keriangan karena menemukan mainan baru.

Melihatnya bahagia, aku sempat tertegun. Hingga akhirnya, suaranya mengejutkanku, “Ayah, Ara mau ke bulan.”

Hah?




0 komentar:

Posting Komentar