DI tengah gempuran berbagai waralaba serta
restoran asing, warga Yogyakarta menghadapinya dengan bertumpu pada kekuatan
tradisi. Mereka bisa membangun budaya tanding melalui restoran yang menyajikan
makanan tradisional, namun dikemas dengan cara yang unik dan modern. Yang
kemudian muncul adalah sajian makanan yang dikemas apik, unik, serta menjadi
petualangan budaya yang menakjubkan di jantung Pulau Jawa ini.
***
DARI luar, restoran itu serupa rumah. Ukurannya
sama saja dengan rumah-rumah yang terletak di Jalan FM Noto di Kotabaru,
Yogyakarta. Seminggu silam, saat berkunjung ke tempat itu, saya tercengang. Rumah
makan itu dikemas dengan nuansa tradisionil yang pekat. Baik dekorasi, ornamen,
serta atmosfernya dikemas dalam nuansa Jawa. Saya meliat ukiran-ukiran, foto,
serta lukisan tentang penari Jawa. Bahkan para pelayannya pun memakai batik, kebaya,
serta kain khas Yogyakarta. Tempat itu adalah House of Raminten.
Aroma hio dan dupa sangat kuat di rumah
itu. Saya melihat di beberapa bagian, terdapat sesajen yang di dekatnya ada hio
serta dupa. Dari luar, suasananya agak mistik. Namun setelah di dalam,
suasananya jauh dari mistik. Buktinya, rumah makan ini sangat ramai dengan
pengunjung. Sampai-sampai, orang harus antri demi mendapatkan tempat duduk di
dalam.
Saya menikmati pemandangan unik di dalam
rumah makan itu. Ketika melangkah masuk ke dalam, saya mendengar suara gamelan
mengalun lembut sayup-sayup. Saya juga menyaksikan dua orang perempuan sedang
membatik di sudut ruangan. Mereka tak sekadar berakting seolah-olah membatik.
Mereka benar-benar membatik, sehingga sebagai pengunjung, saya bisa belajar
banyak tentang teknik tradisional untuk membuat kain yang demikian indah dan
kini menjadi identitas nasional.
Puas mengamati proses membatik, seorang
pelayan datang membawakan menu. Pelayan lelaki mengenakan kain batik serupa
sarung, serta mengenakan rompi. Pelayan perempuan mengenakan pakaian serupa
kemben dengan kain batik yang juga nampak anggun. Pelayan yang mendatangi saya lalu
menyodorkan menu. Saya melihat bahwa menu yang ditawarkan juga khas angkringan
yang banyak bertebaran di Yogyakarta.
Walaupun rumah makan itu nampak berkelas,
harga menunya amat murah dan bisa dijangkau siapa saja. Bahkan masyarakat kelas
bawah pun bisa mengakses makanan di rumah makan itu. Maklumlah, salah satu menu
yang disajikan adalah sego kucing atau nasi kucing seharga seribu rupiah. Jika
tak kenyang, maka bisa menambah hingga puas.
House of Raminten dimiliki oleh pengusaha bernama
Hamzah. Nama Raminten adalan nama tokoh yang diperankan Hamzah ada sebuah
komedi situasi di tivi lokal. Sejak awal, Hamzah memang berniat untuk
mempromosikan budaya Jawa. Menurut seorang pelayan, mulanya Hamzah ingin
mempromosikan jamu khas Jawa. Ia lalu membangun warung yang berfugsi sebagai
kafe jamu.
Ternyata, banyak pengunjung yang ingin
mencoba menu lain. Mulailah kafe itu menawarkan makanan serta minuman yang
dikemas secara unik. Hamzah lalu membuat kafe bernuansa tradisional, namun
tetap bernuansa angkringan atau warung kaki lima khas Yogyakarta yang
menawarkan menu nasi kucing. Ia juga menawarkan menu Susu Suklat Lembut atau susu
cokelat. Ada juga Perawan Tancep yaitu susu yang dicampur dengan rempah-rempah.
Kekuatan Tradisi
Pengalaman makan di House of Raminten
mengajarkan saya bahwa aktivitas ke rumah makan bukan sekadar aktivitas untuk
mencari sesuap nasi demi mengenyangkan perut. Rumah makan sejatinya bisa
menjadi etalase bagi kita untuk mengenal tanah air dan mengenal denyut nadi
kebudayaan. Tempat ini menjadi etalase untuk mengenali Jawa serta kehidupan
sosial Yogyakarta. Para pengunjung bisa merasakan kuatnya tradisi serta energi
masyarakat untuk menghasilkan demikian banyak produk-produk kreatif.
Di rumah makan itu, saya merasakan nuansa
Jawa yang kental. Sebagai pelancong di tanah Jawa, saya bisa menjelaskan pada
anak istri saya tentang kain batik serta prosesnya, kemudian pakaian yang
dikenakan oleh para pelayan di situ. Saya juga merasakan nuansa Jawa melalui
musik gamelan yang mengalun dari sudut ruangan. Kemudian dekorasi dan foto-foto
yang dipajang juga menunjukkan aspek kejawaan yang kental.
Di House of Raminten, tradisi menjadi
titik pijak dan identitas untuk mengembangkan satu konsep rumah makan yang konsepnya
modern. Tradisi bisa menjadi kekuatan sebab bisa menjadi pintu masuk untuk
menjelaskan tentang kehidupan sosial serta filosofi suatu masyarakat. Tradisi
juga bisa menjadi sumber ekonomi yang bisa memberikan penghidupan bagi banyak
orang, banyak pembatik, pekerja seni, serta pekerja budaya di Yogyakarta. Di
House of Raminten, tradisi itu dirawat, dibesarkan, dan dikuatkan sehingga
menjadi payung ekonomi yang kuat dan menjadi mata air kehidupan.
Di tempat itu, saya juga membayangkan
tentang tanah air yang terdiri atas 17 ribu pulau. Di tanah kita terdapat
demikian banyak suku bangsa yang masing-masing memiliki keunikan tradisi serta
pola hidup. Namun, tidak semua tempat bisa mengolah tradisi itu sehingga
menjadi kekuatan untuk menahan gempuran modernisasi. Yang banyak terjadi adalah
kian memudarnya tradisi karena ditinggalkan oleh penganutnya, dianggap
ketinggalan zaman, serta tidak dikembangkan secara kreatif dengan cara
mengelola beberapa aspeknya untuk dikuatkan dan disesuaikan dengan dinamika
berpikir masyarakat yang ters berkembang.
sajian tempe penyet |
es bakar |
Saat ini, di banyak kota, makanan asing datang menyerbu dengan membawa segala kemegahan serta tradisi yang berbeda. Banyak pula anak bangsa yang memuja kuliner asing, dan menafikan khasanah kuliner tradisional. Padahal, kuliner asing tak selalu menyehatkan. Banyak jenis kuliner itu yang justru serupa racun bagi tubuh. Pantas saja jika banyak warga dunia yang kemudian berpaling kepada sesuatu yang natural atau alamiah sebab lebih menyehatkan tubuh. Banyak warga dunia yang berpaling pada kearifan lokal, pada jenis tanaman obat sepeti jamu dan kuliner lokal yang dianggap lebih peduli pada tradisi serta memiliki kearifan ekologis.
Di tengah trend global itu, House of
Raminten seakan memberikan pelajaran terus-menerus bahwa tradisi bisa menjadi
kekuatan serta memiliki daya dobrak untuk membuat khasanah lokal menjadi tuan
di negerinya sendiri. Jika saja semua budaya serta suku bangsa di Indonesia
bisa mengolah kekayaan tradisi lokal itu, kita bisa berharap bahwa di semua
tempat, kita akan menemukan keunikan, kekuatan tradisi, serta upaya secara
sadar untuk merawat tradisi itu untuk menjadi kekuatan.
Di House of Raminten, saya belajar bahwa
tradisi bisa bertuah, memiliki daya-daya yang kuat untuk membangkitkan rasa
cinta budaya, penghargaan pada keunikan tradisi, serta mengemasnya menjadi
kekuatan ekonomi. Ternyata tradisi bisa menjadi begitu indah.
Jakarta, 14 Oktober 2013
0 komentar:
Posting Komentar