suasana di dalam kereta |
KETIKA memutuskan hendak naik kereta dari
Yogyakarta ke Bandung, saya agak ragu-ragu. Mendengar kata kereta, saya membayangkan
suasana dalam gerbong yang padat manusia hingga memenui semua lorong. Saya
membayangkan para pedagang yang naik dan memenuhi gerbong, lalu memaksa kita
untuk membeli barang. Saya juga membayangkan ketidaknyamanan seperti tas dan
dompet yang mudah raib ke tangan maling.
Namun ketika naik ke dalam kereta, saya sadar bahwa segalanya telah berubah.
Pelayanan kereta jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan setahun silam. Kereta mulai identik dengan kenyamanan. Saya
merasa nyaman duduk di kelas eksekutif. Saya mendapatkan banyak fasilitas yang
sebelumnya hanya bisa dibayangkan. Mulai dari layanan makan, charger di setiap
kursi, serta perlindungan dari petugas sekuriti di setiap gerbong. Saya juga
melihat foto serta nama dan nomor telepon dari customer service yang tertera di
detiap gerbong.
Perjalanan dengan kereta ibarat perjalanan
udara. Tiketnya mudah didapatkan di Alfamart dan Indomaret. Tak perlu antri,
sebagaimana dahulu. Saat di kereta, ada banyak gadis cantik yang datang menyapa
demi menawarkan menu makanan atau sekadar mengecek apakah penumpang dalam
keadaan baik-baik saja, ataukah hendak menyampaikan sesuatu. Pihak kereta juga menyediakan
bantal, selimut, serta pendingin ruangan. Saya merasa sangat nyaman.
Hikmah yang bisa dipetik adalah segala
sesuatu mesti berubah. Pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) akhirnya menyadari
bahwa dengan melakukan penataan, maka pelanggan akan kembali menggunakan
kereta. Di tengah kondisi murahnya harga tiket penerbangan, kereta akan tetap
menjadi pilihan jika ada pelayanan serta kenyamanan yang ditawarkan kepada para
pengguna kereta.
Memang, selalu ada konsekuensi dari
perubahan. Ia bisa positif atau negatif, tergantung dari sudut mana melihatnya.
Dari sisi pelayanan, strategi yang ditempuh pihak kereta untuk memanjakan
pelanggannya adalah strategi yang paling tepat sebab menempatkan manusia
sebagai subyek yang diperhatikan. Jika pihak kereta tak berubah, boleh jadi
mereka akan ditelan zaman. Mereka akan menjadi museum yang hanya menyisakan
cerita bahwa dahulu pernah ada kereta yang menjadi portal penghubung antar
kota.
Jika pihak kereta bisa berubah dan menjadi lebih baik, bagaimanakah halnya dengan diri kita? Sudahkah kita merefleksi dan bercermin tentang berbagai masalah yang mendera dan memberat langkah kita, kemudian dipikirkan secara matang apa yang harus dilakukan untuk mengubahnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya
malu saat melihat fakta tentang diri yang selalu ingin di titik nyaman, dan
selalu ragu untuk menjemput berbagai api tantangan. Di gerbong kereta itu, saya dihinggapi rasa malu, yang
kemudian melahirkan setitik kesadaran bahwa mesti melakukan sesuatu untuk
berubah. Yup. Mesti ada yang berubah.(*)
Makassar, 19 Oktober 2013
0 komentar:
Posting Komentar