Hilangnya Sang Pemilik Angkringan


jalan-jalan di kota Yogyakarta

DULU, hampir setiap hari saya bertemu dengannya. Lelaki itu, berusia sekitar 40-an tahun, adalah pemilik sebuah angkringan di tepi Rumah Sakit Panti Rapih. Dekade akhir tahun 1990-an, saya selalu bertemu dengannya. Tiga kali dalam sehari, saya singgah makan di angkringannya. Meski harga makanannya murah, saya sering tak membayar. Saya lebih sering mengutang. Sebagaimana biasa, ia hanya tersenyum dan berkata, “Beres bos!”

Kota Yogyakarta ibarat ruang besar di mana banyak orang bertarung demi hidup. Lelaki yang sering saya sapa Mas Paijo itu datang dari sebuah desa kecil di Gunung Kidul. Ia datang menyabung nasib di kota Yogya bersama ribuan orang yang bermgrasi demi sebuah harapan. Bermodalkan dana pas-pasan yang dipinjam dari seorang tengkulak, Paijo lalu membuka angkringan yang berupa gerobak kecil, dan terdapat banyak makanan.

Ia memang hanya seorang pedagang kecil yang jauh dari mimpi untuk hidup mewah. Tapi angkringannya telah menyelamatkan begitu banyak mahasiswa kere yang sekian tahun berikutnya sukses menjadi kelas menengah perkotaan. Ia adalah pahlawan kecil yang tak mungkin dicatat dalam kamus kehidupan banyak orang. Mungkin hanya sedikit yang mengingatnya. Saya adalah salah satunya.

Saya masih mengingat persis bentuk angkringannya. Sebuah gerobak kecil, yang dipasang dua buah roda. Di situ, ada tiga buah cerek besar dari bahan seng yang duduk di atas bara api. Satu cerek berisikan air yang sangat panas hingga sanggup membakar lidah. Cerek lain berisikan air setengah mendidih. Istilah seorang kawan, air suam-suam kuku. Sedang cerek terakhir berisikan air yang dingin. Dulu, saya sering salah cerek. Saya sering mengambil air panas dan langsung meminumnya. Panas.

Di angkringan itu, saya sering memakan nasi kucing. Dahulu, harganya hanya 500 rupiah. Isinya hanya segenggam nasi, yang kemudian ditambah sejumput ikan teri. Dipikir-pikir, mungkin Paijo akan rugi jika semua orang hanya makan nasi kucing. Ternyata, para mahasiswa itu banyak yang menambah nasi, lalu mengambil lauk seperti tahu, tempe, sate ayam, ataupun telur puyuh.

Meski demikian, saya tak pernah tahu berapa keuntungan yang didapat Paijo. Ia tak pernah bercerita tentang itu. Hubungan saya dnegannya serupa hubungan ayah dan anak yang saling berbagi pengetahuan. Ia seringkali bercerita tentang desa kecilnya yang asri, namun mulai ditinggalkan para petani. Desa kehilangan daya tarik, sebab orang-orangnya lebih memilih untuk tinggal di kota.

kampus UGM
House of Raminten

Kini, setelah lebih 10 tahun meninggalkan Yogya, saya kembali menapakkan kaki di kota ini. Kota yang dahulu amat asri dan dipenuhi pohon-pohon rindang itu telah besolek menjadi kota besar yang padat. Dahulu, Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah wilayah yang tak seberapa ramai. Saya masih ingat, di sebelah Fakultas Filsafat UGM, ada satu kompleks pekuburan cina yang cukup luas. Pohon-pohonnya juga besar. Saya selalu ketakutan melintas di tempat itu. Saya merasa ada banyak pasang mata yang menyaksikan di sela-sela nisan kuburan cina. Kini, di tempat itu telah berdiri masjid kampus yang megah, serta beberapa gedung lainnya. Malah, saya melihat bangunan megah yang didirikan sebuah BUMN yang begerak di bidang perminyakan.

Yogyakarta mulai berubah. Jalan-jalan mulai dipenuhi kendaraan bermotor serta mobil-mobil yang berseliweran. Malioboro menjadi kawasan yang sesak dengan warga kelas menengah yang dahulu adalah mahasiswa tak berpunya, yang kemudian naik kelas. Ruang-ruang kota menjadi sempit dan tak menyisakan banyak tempat bagi pedagang kecil seperti Paijo.

Yup. Paijo menghilang entah ke mana. Kemarin, ketika melintas di Rumah Sakit Panti Rapih, saya sengaja mencarinya. Di depan rumah sakit itu, telah berdiri Pusat Dakwah Muhammadiyah, sebuah bangunan baru yang dahulu tak ada. Kota berkembag amat pesat, sementara Paijo tak sanggup mengikuti deru langkah kota. Ia ditinggalkan, atau lebih tepat menyebutnya sengaja menghilang dari pesatnya pertumbuhan kota.

Paijo telah menghilang, tapi tidak dengan romantika angkringannya. Berbagai restoran dan rumah makan menyediakan menu khas angkringan, juga dengan harga yang murah. Saya sempat singgah di House of Raminten yang terkenal itu. Restoran ini berpenampilan mewah, mengusung nuansa budaya, namun harga makanannya khas angkringan. Semuanya disajikan murah meriah sehingga terjangkau siapa saja.

Di restoran ini, saya mengalami nostalgia makanan murah ala angkringan. Sayangnya ada hal yang tak bisa dikembalikan di sini yakni kehangatan dialog serta obrolan ngalor-ngidul khas Yogya. Saya kehilangan keramahan Paijo yang setiap saat selalu bersedia mendengarkan beragai cerita, mulai dari  demonstrasi mahasiswa hingga cerita tentang petani di lereng Gunung Merapi.

Di tengah rasa kehilangan itu, saya tiba-tiba terkenang syair Katon Bagaskara yang juga merasa kehilangan banyak hal di kota ini. “Seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri. Di telan deru kotamu..”


Yogyakarta, 9 Oktober 2013

0 komentar:

Posting Komentar