tiga seri JAKA WULUNG |
DI tengah suramnya Jawa Dwipa, di tengah
kecamuk dan konflik antar kerajaan, di tengah belenggu angkara yang
mencengkeram sendi-sendi kehidupan, serta di tengah krisis yang melanda banyak
negeri, seorang pendekar muda hadir dan mewarnai dunia dengan kisah
perjalanannya. Ia adalah seorang petarung yang menggemparkan dunia persilatan
dengan bersenjatakan kudi hyang,
senjata pusaka legendaris di tanah Sunda. Pendekar itu bernama Jaka Wulung.
Kisah Jaka Wulung ditulis oleh Hermawan
Aksan, seorang pengarang yang tinggal di Bandung. Kisah ini mengambil setting
tanah Sunda, pada masa setelah jatuhnya Prabu Siliwangi. Kisah ini bercerita
tentang seorang anak muda yang kemudian melanglang buana dan mengalahkan banyak
jago rimba persilatan. Anak muda itu memilih jalan golongan putih, serta
menjadikan pertarungan sebagai cara untuk menegakkan kebenaran.
Saya membaca tiga kisah Jaka Wulung yang
sudah terbit. Bagian pertama adalah Pertarungan di Bukit Sagara, selanjutnya
Jurus Tanpa Nama, dan terakhir adalah Pendekar Bunga Matahari. Ketiga kisah ini
saling terkait sehingga kita harus mulai membaca dari episode pertama. Kisahnya
juga bergulir kronologis sehingga pembaca diajak untuk menelusuri kisah Jaka
Wulung, sedari kecil dan masih ingusan, hingga akhirnya menjadi sakti
mandraguna.
Saya cukup terhibur ketika membaca serial
ini. Sayangnya, kisah ini terlampau datar, tanpa ada greget yang cukup
menegangkan. Tak ada pula misteri atau teka-teki yang bisa membuat kisah ini
menjadi lebih berwarna-warni. Latar historisnya terlampau sedikit, sehingga
menempatkan kisah ini murni fiksi, yang hanya menjadikan aspek sejarah sebagai penanda
tidak penting.
Gaya penceritaan kisah ini benar-benar
mengingatkan saya pada gaya bercerita novel-novel silat pada akhir tahun
1980-an. Pada masa itu, jagad penerbitan Tanah Air dibanjiri dengan berbagai
kisah-kisah pendekar. Kita mengenal sosok seperti Wiro Sableng, Pendekar Rajawali
Sakti, Pendekar Pulau Neraka, Dewa Arak, ataupun Pendekar Hina Kelana. Masa itu
adalah masa kejayaan kisah pendekar. Tak hanya berjaya di dunia cetak, di
radio, ada banyak kisah seperti Saur Sepuh, Tutur Tinular, maupun kisah Misteri
dari Gunung Merapi.
Di lihat dari gaya bercerita, hampir semua
kisah pendekar itu terilhami pada kisah yang ditulis pengarang Asmaraman S Kho
Ping Hoo yang marak di tahun 1980-an. Hanya saja, Kho Pinghoo tetap saja unik
di banding cerita silat lainnya. Kisah Kho Ping Hoo tak melulu tentang
pertarungan atau adu kedigdayaan. Kisahnya juga bisa berupa filsafat atau
pencarian makna kehidupan yang dikemas dalam kisah dunia pendekar.
Sementara Jaka Wulung memilih genre
bercerita sebagaimana kisah Wiro Sableng. Mungkin karena diniatkan untuk
remaja, makanya alur kisah ini mudah ditebak. Bahkan proses belajar menjadi
sakti pun digambarkan singkat yakni sang pendekar punya otak cerdas dan
dibimbing oleh guru yang juga sakti.
Master Oogway dalam Kungfu Panda |
Cara belajar seperti ini terlampau datar.
Saya tak menemukan satu dinamika atau pencarian pengetahuan yang didapatkan
melalui olah pikir serta kontemplasi yang dalam, sebagaimana dialami Panda Po
dalam kisah Kungfu Panda. Dalam kisah animasi ini, sang Panda mulanya tak
menyangka bahwa dirinya adalah Pendekar Naga, meskipun sang Master Oogway, kura-kura sakti telah memilihnya. Ia tak berputus-asa,
hingga di akhir kisah, ia berhasil memecahkan misteri gulungan silat naga yang
kosong. Ia seolah terlahir kembali sebagai pendekar yang memecahkan misteri
dengan pemikirannya.
Saya juga lebih meggemari novel silat
Nagabumi karya Seno Gumira Adjidarma. Jagoan di cerita ini berada di
tengah-tengah ranah putih dan hitam. Ia sebagaimana manusia lainnya hanya
bertujuan untuk mencari kedamaian dalam hidup, namun sebagai pesilat nomor
satu, ia mesti siap untuk menghadapi semua tantangan dari pendekar lainnya yang
ingin menggapai posisi yang terbaik di ranah pertarungan.
Saya juga menyebut satu novel silat
lainnya Senapati Pamungkas, karya Arswendo Atmowiloto. Aspek kesejarahan sangat
kuat di kisah ini sehingga sebagai pembaca, kita akan disuguhi tradisi
Majapahit yang telah lama punah, termasuk tradisi menyiapkan para pendekar agar
menjadi prajurit tangguh.
Memang, terlampau ambisius jika
mengharapkan Jaka Wulung akan menyamai posisi Nagabumi dan Senopati Pamungkas.
Tapi setidaknya, serial ini telah menyiangi jalan yang mulai penuh rerumputan,
di tengah maraknya enerbitan fiksi belakangan ini. Kisa Jaka Wulung telah
mengisi kekosongan kisah silat yang redup sejak era kejayaannya di tahun
1990-an. Kisah ini menghangatkan memori tentang pertarungan para pendekar yang
hendak menjadi pendekar tak terkalahkan. Ada filosofi, ada syair kehidupan,
serta ada kisah-kisah pencarian makna di tengah deru perkelahian serta debu
beterbangan.
Baubau, 24 Oktober 2013
0 komentar:
Posting Komentar