pedagang pasar tradisional di Makassar |
DI belakang rumah panggung yang terbuat
dari kayu, sebuah sepeda tua teronggok, lama tak terpakai. Di belakang sepeda
itu, masih terdapat dua ember yang berfungsi sebagai bagasi atau tempat
penyimpanan. Ketika saya datang melihat sepeda itu, lelaki bernama Daeng Kallu
lebih banyak diam. Ia hanya bisa mengenang masa-masa ketika menjadi pagandeng atau pengayuh sepeda yang
membawa hasil bumi untuk dijual ke Pasar Terong di Kota Makassar.
Dahulu, ketika semua orang masih terlelap
di subuh hari, ia sudah mengayuh sepeda menempuh jarak sekitar 20-an kilometer
dari Maros ke Makassar. Ia membawa berbagai jenis sayuran untuk dijajakan lagi
di pasar. Kadang-kadang, ia menjajakan sayuran itu ke beberapa pasar lainnya.
Kini, ia hanya bisa mengenang masa-masa silam saat ia menjajakan dagangan di
pasar. Ia hanya bisa mengingat betapa ramainya suasana pasar-pasar ketika
pembeli dan pedagang saling berinteraksi, kemudian produk yang dijual lalu
menyebar ke berbagai penjuru kota hingga ke wilayah lain di Indonesia timur.
Di akhir tahun 1990-an, saya merasakan
betapa ramainya pasar. Pada masa itu, banyak pasar kecil yang tumbuh bak
cendawan di musim hujan. Di berbagai perkampungan, pasar-pasar bermunculan demi
menampung pedagang yang menggelar jualan. Di saat subuh, ketika azan
berkumandang, jalan poros Makassar – Maros dipenuhi armada semut para pagandeng yang memasok sayuran dan ikan
ke Pasar Terong. Pasar ini memasok kebutuhan sayuran dan produk pertanian ke
banyak daerah di Indonesia timur.
Namun, itu dulu. Seiring dengan
perkembangan zaman, pasar-pasar di Kota Makassar mulai merana. Pasar-pasar itu
menjadi becek dan kumuh. Pasar-pasar menjadi tak terawat. Secara perlahan, para
pelanggan lalu beralih ke berbagai mal dan pusat perbelanjaan yang bertambah
dengan sangat cepat di kota ini. Seorang pagandeng seperti Daeng Kallu hanya
bisa memandang perubahan itu dengan mata tak berkedip.
Data AC Nielsen menunjukkan bahwa pasar
modern tumbuh 31,4 persen per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8
persen per tahun. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dalam waktu yang tak
lama lagi, pasar rakyat akan punah seiring dengan perkembangan pesat
pusat-pusat perbelanjaan.
Jutaan rakyat yang menggantungkan harapan
pada pasar itu akan kehilangan pekerjaan dan hanya menjadi penonton dari laju
ekonomi yang hanya menguntungkan sejumlah orang yang memiliki modal besar dan
berinvestasi pada sektor usaha kecil. Mengapa demikian? Ada dua sebab yang bisa
dikemukakan. Pertama, ketiadaan dukungan dari pemerintah. Kedua, penetrasi
pebisnis besar ke dalam sektor usaha kecil.
tomat-tomat segar |
Ico Ugi, tembakau Bugis yang nyaris punah |
Dalam buku Dunia Dalam Kota (2013) yang
disusun Agung Prabowo dkk, yang mendapat informasi bahwa awalnya Wali Kota
Makassar melihat pasar-pasar rakyat di Hawaii, Amerika Serikat (AS). Ia lalu
terinspirasi untuk menata ulang pasar di Makassar. Masalahnya, bentuk penataan
yang dimaksud adalah membongkar pasar lama, kemudian membangun pasar baru yang
berbentuk gedung ala mal, dan di dalamnya datang para pedagang dan investor.
Lantas, bagaimanakah nasib pedagang kecil yang sejak dahulu mendiami pasar ini
dan menjadi urat nadi dari satu mata rantai perdagangan besar sejak puluhan
tahun lalu?
Mengurai Sebab
Barangkali ini disebabkan oleh adanya
konsep tradisional dan modern. Berdasarkan hasil observasi yangdilakukan oleh
Active Society Institute (AcSI) sepanjang tahun 2008 jumlah pasar lokal
sudah mencapai lebih 50 buah. Jumlah ini terus menyusut setiap tahun. Sungguh mengherankan
sebab pemerintah mengategorikan pasar itu sebagai pasar tradisional, darurat
atau liar, sebuah penamaan yang mendiskreditkan pedagang-pedagang kecil yang
tidak tertib.
Tak cukup dengan penyebutan tradisional,
liar, resmi, serta tak resmi, kebijakan pemerintah juga menunjukkan
diskriminasi. Bagi pedagang di pasar lokal mengalami penggusuran, kesulitan
akses modal usaha bagi pelaku usaha kecil dan mikro, mahalnya harga kios
setelah revitalisasi pasar, kumuhnya pasar-pasar, dan lain-lain. Diskriminasi
juga terlihat dari tiadanya regulasi yang mengatur secara khusus dan adil atas
ekonomi kerakyatan, khususnya pasar lokal vis a vis pusat perbelanjaan dan toko
moderen.
Daeng Kallu menyebut banyak pelanggan
pasar yang beralih ke beberapa perbelanjaan yang hadir di tengah pemukiman
warga seperti Indomaret, Alfamart, Giant, Carrefour, dan Hypermart. Pebisnis
besar masuk dan mengeruk keuntungan dari rumah-rumah warga. Dengan mengusung
konsep ala warung dan toko, maka mereka sukses menggaet para pelanggan di
perumahan untuk tidak ke pasar. Mereka menyajikan kenyamanan, kemewahan, serta
harga yang lebih murah.
Masalahnya, tak sesederhana itu. Ada
perbedaan mendasar antara pasar rakyat dan bisnis besar seperti Alfamart. Pasar
rakyat menampung banyak pedagang kecil, seperti daeng Kallu, yang karakter
ekonominya adalah bertahan (survive) dan sekadar memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Para pedagang itu berdagang demi keluarga kecil serta biaya
sekolah anaknya. Sementara Alfamart memiliki karakter untuk memaksimalkan
profit atau keuntungan yang hanya dimiliki oleh perusahaan tersebut. Sungguh
disayangkan sebab pemerintah justru memberikan akses dan perhatian lebih banyak
pada Alfamart dan sejenisnya.
pasar petani di Athens |
pasar petani |
Kenyataan ini sungguh beda dengan apa yang
saya saksikan di Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Di kota kecil itu, pusat
belanja Walmart didirikan di pinggiran kota, pada lokasi yang cukup jauh, dengan
pertimbangan bahwa mereka yang mengaksesnya adalah mereka yang punya duit serta
kendaraan. Di dalam kota, toko-toko kelontong tetap dipertahankan sebab
memberikan kehidupan bagi banyak warga kota. Pemerintah setempat juga mendorong
munculnya pasar petani (farmers market) yang menjadi ruang dan tempat bertemu bagi
petani dan masyarakat biasa.
Sungguh disayangkan karena masyarakat kita
menelan mentah-mentah pengategorian tradisional dan modern itu. Mereka
ikut-ikutan wacana yang dikembangkan bahwa pasar identik dengan kekumuhan.
Menjadi modern adalah mendatangi mal atau pusat belanja yang menyediakan
pendingin udara dan kemewahan, lalu berbelanja produk-produk impor yang dikemas
rapi. Sementara pasar lokal perlahan-lahan kehilangan pamor dan tergusur dengan
sendirinya.
Jika masyarakat memang memandang kemasan,
mengapa pasar-pasar lokal tidak ditata dengan baik, serta dikemas dengan konsep
yang lebih segar? Saya menduga bahwa ada semacam pembiaran. Bahwa kesemrawutan
pasar-pasar lokal sengaja dipelihara demi menunggu waktu tepat untuk
disingkirkan setelah terlebih dahulu dimatikan aliran nadinya, dengan cara
membiarkan pusat belanja modern beroperasi ke tengah pemukiman warga.
Hari ini, saya mengeja aksara kehidupan.
Pertemuan dengan Daeng Kallu sungguh mengharukan, khususnya ketika menyadari
bahwa dirinya tak bisa bersaing dengan pemodal besar yang merambah kota, dan
mendirikan toko di mana-mana. Saya akhirnya sadar bahwa sebuah kota adalah
sebuah ruang yang di dalamnya terdapat pertarungan untuk berebut ruang hidup.
Sungguh amat miris ketika menyadari bahwa Daeng Kallu, seorang pagandeng kecil,
harus kalah dari dinamika yang tak adil tersebut.
“Jangki
bosan belanja sama saya nah” kata Daeng Kallu. Kami lalu bersisian jalan. Pada hari ini, saya mengenang
masa-masa yang lewat, masa-masa ketika banyak orang memiliki ruang terbuka
untuk hidup dan mencari nafkah. Kini, mereka yang pernah memasok kebutuhan
hidup lebih 2 juta warga kota Makassar itu perlahan-lahan tersingkir ke
pinggiran. Mereka kehilangan ruang sebab diberi label tradisional, serta
serbuan pusat belanja. Dan kehidupan hari ini telah dimenangkan oleh mereka
yang punya duit, dan punya koneksi. Miris.
Makassar, 3 Oktober 2013
1 komentar:
sekarang banyak sekali pusat perbelanjaan yang menggusur keberadaan pasar, padahal malah menghilangkan ciri khas masyarakat
Posting Komentar