saat monyet mendekati anakku |
GUBERNUR DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) berencana
untuk menyingkirkan semua topeng monyet di wilayahnya. Topeng monyet adalah
atraksi monyet yang dirantai dan ditarik oleh sang pawang. Atraksi ini dengan
mudah bisa ditemukan di banyak tempat di Jakarta, mulai dari lampu merah hingga
yang keliling di gang-gang. Atraksi ini dianggap kumuh, kotor, serta
mengeksploitasi binatang.
Pro kontra tersulut. Berbagai partai
politik ikut menyerang gubernur yang digadang-gadang menjadi presiden itu. Duhai
Gubernur Jokowi, saya punya pertanyaan, mengapa hanya topeng monyet yang
disingkirkan? Mengapa tidak menyingkirkan para monyet bertopeng manusia yang
menjarah uang rakyat di kantor-kantor birokrasi lalu terus-menerus membodohi
kita melalui layar kaca?
Jauh sebelum topeng monyet masuk Jakarta,
ribuan monyet bertopeng telah bertebaran di kota besar itu. Mereka tersebar di
birokrasi, militer, parlemen, lembaga sosial masyarakat, perusahaan swasta,
hingga kantor polisi. Monyet-monyet bertopeng itu telah lama meninggalkan jubah
monyet. Mereka memakai jubah manusia yang tampak gagah dan cantik. Mereka wangi
dengan dandanan yang necis-necis, di saat kita semua berpeluh dan dipanggang
matahari.
Mereka memajang posternya yang sedang tersenyum
di mana-mana demi mencitrakan diri. Bahkan di layar-layar kaca, monyet
bertopeng itu berseliweran dan terus-menerus membodohi orang. Di birokrasi, monyet
bertopeng itu mengklaim kinerjanya sembari menyembunyikan miliaran uang rakyat.
Mereka menganggap diri sedang mengemban amanah penderitaan rakyat lalu secara
diam-diam mengatur proyek demi pundi-pundi pribadi.
Di dunia bisnis, monyet bertopeng itu
nampak santun dan berpeluh karena mencari nafkah. Padahal, yang mereka lakukan
hanyalah mengatur proyek-proyek agar jauh ke perusahaannya, lalu menyuap
sana-sini. Monyet bertopeng itu bersahabat dengan para tikus kantor, lalu
secara bersama-sama menilep uang kita, uang rakyat. Para monyet bertopeng
manusia itu lalu saling sindir di televisi, berdebat tentang uang triliunan,
sementara kita hanya makan sejumput nasi dan sekerat tempe.
Duhai Gubernur Jokowi. Tak ada yang salah
dari topeng monyet dan para monyet beneran itu. Kalaupun menjarah kebun warga,
monyet itu melakukannya hanya untuk bertahan hidup. Kalaupun mencuri, monyet
itu melakukannya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sungguh beda
dengan monyet bertopeng itu. Mereka mencuri demi memperkaya diri, demi dikira
orang hebat, demi untuk memperbanyak ternak mobil mewah di pekarangan rumahnya.
Duhai Gubernur Jokowi. Monyet-monyet itu
masuk kota Jakarta karena hutan-hutan kita sudah lama habis. Hutan hijau yang
dahulu menjadi rumah dan taman bermain bagi para monyet secara perlahan
menyempit. Hutan itu telah lama dikuasai oleh para cukong dan pemodal yang
emngicar kayu, kemudian menanaminya dnegan sawit. Monyet-monyet itu telah lama
kehilangan rumah, dan menjadi gelandangan yang lalu masuk kota dan bekerja
sebagai penari demi satu atau dua keping koin yang dilemparkan para penonton.
Duhai Gubernur Jokowi, kita harusnya
kasihan dengan para monyet itu. Kita juga harus sama kasihan pada
pawangnya. Mereka adalah dua sisi mata uang koin yang bekerja keras dan memikul
beban sejarah untuk mendapatkan penghasilan. Di belakang mereka, ada
wajah-wajah lain yang perlu dihidupi, diberikan makanan dan minuman, serta
diyakinkan tentang masa depannya yang lebih baik dari sekadar menari bersama
monyet di tepi jalan raya.
Duhai Gubernur Jokowi, kami menanti-nanti
pedang kekuasaanmu untuk memenggal para monyet bertopeng yang telah
menyingkirkan monyet asli. Jangan pernah gunakan pedangmu untuk menebas
monyet-monyet asli. Mereka hanya mencari makan. Tebaslah monyet palsu yang
bertebaran di banyak kantormu, lalu datang ke rumah-rumah dengan wajah serupa debt collector yang menakuti-nakuti
rakyatmu.
Jika engkau takut mengusir monyet
bertopeng itu, segera umumkan siapa saja mereka. Biar kami yang keluar dari
rumah-rumah untuk mengusir mereka bersama-sama. Biar kami yang akan mementung
mereka, lalu memaksa agar mengembalikan semua jarahan uang rakyat yang
seharusnya menjadi milik kita. Biar kami yang akan mengemplang dan memagari
tanah air dengan kesaktian pancasila yang digali dari bumi kita. Kami akan
berjibaku dan membantumu dengan seluruh jiwa raga untuk mengusir para monyet
bertopeng itu agar enyah dari tanah air kita.
Di dalam dirimu ada pengharapan sekaligus
keyakinan tentang masa depan negeri ini yang lebih baik. Di dalam dadamu ada
jantung hati kami yang kami titipkan agar selalu berdenyut dan mengingatkan
dirimu bahwa monyet-monyet bertopeng itu harus kita bereskan. Mereka harus kita
basmi hingga akar-akarnya. Mereka harus paham bahwa tanah air ini hanya milik
kita yang tak bertopeng. Tanah ini juga milik para monyet itu yang juga berhak tinggal
di bumi kita, bumi Indonesia.
Baubau, 26 Oktober 2013
1 komentar:
menurut saya tulisan nya agak berlebihan mas, tp bukan tulisan yang salah
Posting Komentar