stand Indonesia |
CINA identik dengan kebudayaan serta filosofi. Jepang identik dengan music dan tarian yang menghentak. India identik dengan tarian Bollywod dan penduduknya yang tersebar di mana-mana. Thailand identik dengan makanannya yang tersebar di seluruh penjuru Amerika Serikat (AS). Lantas, apa yang menjadi ciri khas warga Indonesia perantauan? Apakah mereka punya ciri yang unik dan khas?
Kemarin, Sabtu (27/5), saya mengunjungi kota Colombus untuk menyaksikan Asian Festival. Acaranya ramai sebab menampilkan kebudayaan Asia. Acara ini menjadi ajang bagi warga Asia perantauan untuk berkumpul bersama, menampilkan kesenian, serta menjadi ajang promosi kebudayaan di AS.
Dari berbagai stand serta atraksi yang ditampilkan, saya mendapat kesan kalau Asia identic dengan Cina dan India. Stand yang menampilkan dua budaya ini amat banyak. Ada toko cenderamata, pakaian, hingga jenis tari-tarian. Saat menuju tenda-tenda yang menyajikan makanan, saya terkejut menyaksikan di mana-mana terdapat masakan Thailand yang dijajakan oleh warga Thailand.
tarian India |
tarian Cina |
Cina dan India memiliki warga perantau yang tersebar merata di seluruh penjuru Amerika. Mereka sudah menyebar warganya sejak masa lampau. Mereka sudah lama memenuhi kota-kota besar di Amerika dan menguasai pusat-pusat ekonomi. Kualitas SDM-nya juga hebat-hebat.
Beberapa sahabat asal India di Ohio selalu cerdas-cerdas dan tidak pernah menyombongkan diri. Pada diri mereka terdapat kualitas rendah hati dan pintar. Sementara warga Cina menguasai sector ekonomi. Anda akan ia menemukan mereka membangun perkampungan besar di seluruh penjuru Amerika.
Sementara Thailand justru muncul belakangan. Seiring dengan kian populernya masakan Thailand, warganya lalu berbondong-bondong ke Amerika, lalu membuka restoran di mana-mana. Saya agak sulit menjelaskan fenomenadiaspora warga Thailand. Kalau India dan Cina, saya bisa memahaminya dari sisi banyaknya penduduk serta peluang kerja yang menipis di negaranya.
Tapi Thailand justru berbeda. Negeri itu adem-ayem saja. Ekonominya biasa saja, sebagaimana Indonesia. Tak pernah ada konflik atau perang berkepanjangan. Tapi penduduknya bisa bermigrasi dalam jumlah banyak ke Amerika lalu membuka restoran di mana-mana. Mereka mulai punya brand atau ciri sendiri sebagai negeri yang kulinernya enak-enak.
makanan Thailand |
makanan Thailand |
sate khas Thailand |
Benarkah kulinernya enak? Buat saya, tak ada beda rasa antara kuliner Thailand dan Indonesia. Kuliner Thailand selalu identi dengan nasi, sea food serta jenis-jenis olahan daging. Rasanya sama persis dengan menu-menu makanan di Indonesia. Kalaupun ada beda, palingan hanya namanya saja. Saya suka dengan the Thailand. Itupun rasanya sama saja dengan the tarik yang banyak dijual di Indonesia. Lantas, mengapa Thailand sukses memasarkan kulinernya menjadi masakan global yang laris dijual?
Saya punya asumsi. Mungkin jawabannya terletak pada sejauh mana perhatian yang diberikan negara kepada warganya yang berdiaspora atau bermigrasi. Bagi Cina, India, dan Thailand, para warga yang tinggal di luar, tetap dianggap sebagai warga yang harus diperhatikan. Negara tidak meminggirkan mereka. Namun berusaha menyentuhnya dengan berbagai kebijakan.
Dalam hal Thailand, ternyata ada upaya sistematis dari negara untuk memproosikan masakan Thailand. Sebagaimana diceritakan Bondan Winarno, pada masa pemerintahan Thaksin Shinawatra, pemerintah Thailand memberikan bantuan bagi siapapun warganya yang mau membuka restoran Thailand di Amerika. Mereka membantu modal dan akses.
Kebijakan ini jadi gayung bersambut. Warga Thailand langsung berbondong-bondang pindah ke luar negeri lalu membuka restoran yang menunya adalah nasi goreng, tumis ikan, hingga kreasi daging. Pada mulanya, pelangganya hanya warga Asia Tenggara. Hari ini, restoran Thailand bisa ditemukan di mana-mana. Warganya jadi entrepreneur sejati yang membuka bisnis kuliner di mana-mana.
bersama dua gadis Kamboja |
Bagaimana halnya dengan Indonesia? Saya sangat jarang menemukan restoran menu Indonesia. Amat sangat sedikit. Mengapa? Saya hanya berasumsi. Ini disebabkan karena warga Indonesia sangat jarang yang mau bermigrasi ke ngeri-negeri lain. Kita, orang Indonesia, jauh lebih nyaman tinggal di dalam negeri. Sebab kita senantiasa merasa cukup serta tiadanya keinginan untuk membuka tantangan-tantangan baru.
Padahal, sejarah kita justru mengajarkan bahwa sejak masa silam, warga Indonesia sudah terbiasa berpindah-pindah. Buktinya, orang Bugis pernah mendirikan Singapura. Bukti lain, Perdana Menteri Malaysia, Nadjib Razak, adalah keturunan Bugis. Sejarah mengajarkan bahwa warga Nusantara adalah bangsa yang berpindah-pindah hingga ke negeri-negeri jauh seperti Afrika. Tapi hari ini, kita kesulitan menemukan warga Indonesia diaspora di banyak negara. Palingan, hanya mahasiswa yang jumlahnya juga tidak seberapa. Mereka tersebar dan tidak punya ikatan kuat sebagaimana warga India dan Cina. Selain itu, kita juga terperangkap dengan perbedaan geografis serta ego kesukuan yang tinggi.
Lantas, apakah yang bisa dibanggakan dengan diaspora warga Indonesia yang amat sedikit ini?
Athens, 28 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar