TIGA minggu silam, saya kehilangan salah satu benda berharga yakni Iphone 4 yang saya bawa dari Indonesia. Selama beberapa hari, saya memikirkan terus kehilangan itu. Bukan karena Iphone-nya, namun di situ ada demikian banyak kenangan yang tak mungkin tergantikan.
Beberapa teman meyakinkan saya kalau benda itu pasti akan kembali. Sahabat saya kehilangan dompet sampai tiga kali. Namun, dompet itu selalu kembali ke apartemennya dalam keadaan utuh. Makanya, saya pernah berkesimpulan kalau di tanah Amerika, yang sekuler ini, justru malaikat bertebaran dalam wujud orang-orang baik.
Ketika mengalami kehilangan, tak urung saya ikut bersedih. Saya memang trauma dengan kehilangan. Sebelum ke Athens, Ohio, saya kehilangan tas yang berisikan laptop dan semua dokumen penting.
Sebulan setelahnya, seseorang menelepon keluarga saya di Indonesia dan mengaku menemukan tas situ. Ia menolak menyebutkan tinggal di mana. Dengan gaya yang sedikit mengancam, ia mengajak kakak saya untuk ketemu di satu tempat di Jakarta, tengah malam. Nampaknya ia hendak memeras. Saya memilih untuk mengikhlaskan saja semua dokumen itu, daripada nyawa terancam dan diperas seseorang.
Tiga minggu silam, saya kembali kehilangan Iphone 4. Ini bukan soal benda. Tapi kenangan. Apalagi, saya mendapatkan benda itu secara gratis saat menjadi juara kompetisi menulis yang disponsori Telkomsel dan diikuti sekitar 667 penulis di Indonesia (beritanya DI SINI). Di situ juga ada kenangan, ketika istri saya menujum kalau sejak lomba itu diumumkan, ia sudah yakin kalau saya akan memenangkannya. Apalagi, ia tahu kalau saya menginginkan Ipad 2 sebagai hadiah untuk juara 2. Ternyata, saya malah jadi juara pertama.
Tak urung, kehilangan benda itu cukup mengganggu hari-hari saya yang berjalan. Selama beberapa hari, saya menghubungi bagian lost and found di beberapa gedung di kampus Ohio University. Hasilnya nihil. Maka saya lalu memilih untuk bersabar dan merelakannya. Toh, dengan mengikhlaskannya, maka saya tidak begitu meratapi kehilangan itu.
kenangan saat menerima hadiah Iphone 4 dari Kang Pepih Nugraha (redaktur senior Kompas) sebagai juara lomba menulis |
Hari ini, tiba-tiba saja seseorang mengirimi email. Namanya RJ Andrews. Ia bekerja sebagai konsultan di AT&T, sebuah perusahaan telekomunikasi yang paling besar di Amerika. Ia memperkenalkan diri dengan sopan, kemudian memberitahu kalau ia menemukan Iphone 4 saya dan berniat mengembalikannya. Katanya, ia membuka Iphone itu dan menemukan alamat email saya.
Saya amat bahagia saat membaca email itu. Tadinya, saya berpikir kalau barang itu sudah hilang tak berbekas. Ternyata, malah ada orang baik yang tiba-tiba saja bersedia mengembalikan barang yang dtemukan. Padahal, tadinya, saya sudah berpikir bahwa Iphone saya akan senasib laptop dalam tas yang hilang di Jakarta.
Saya lalu janjian dengannya. Ia langsung memberikan Iphone itu, tanpa meminta apapun. Ia hanya tersenyum lalu berkata kalau ia sangat bahagia karena sudah membantu. Batin saya tiba-tiba dibasahi oleh rasa haru karena bertemu seorang baik yang tak meminta apapun.
Uniknya, bersamaan dengan berita ditemukannya Iphone, saya tiba-tiba kehilangan satu benda berharga. Namun, dalam waktu hanya dua jam, seseorang menelepon demi memberitahu kalau ia menemukan benda itu dan menitipkannya pada seorang pegawai di salah satu gedung di kampus.
Saya lalu memikirkan dua keping kenyataan yang saya hadapi hari ini. Sungguh, saya tak menyangka. Di negeri yang penduduknya banyak sekular dan atheis ini, warganya sangat menjunjung tinggi moralitas untuk mengembalikan sebuah barang yang hilang, tanpa berniat untuk memilikinya.
Padahal, bisa saja sang penemu barang itu mengklaim sebagai miliknya. Ia tinggal menghapus semua file-file di Iphone itu, kemudian memilikinya sendiri. Tapi ia tidak mau melakukannya. Sebab ia tahu bahwa itu bukanlah haknya. Hal yang sama dengan sahabat saya yang kehilangan dompet hingga tiga kal dan selalu kembali dalam keadaan utuh.
Saya terkagum-kagum membayangkan kebaikan banyak orang di sini. Mereka laksana malaikat yang berjalan ke muka bumi dan hendak mengajarkan mana yang patut dan mana yang tak patut. Di sini, masyarakat tahu bagaimana menempatkan diri ketika menemukan sebuah barang hilang, tidak tergoda untuk memilikinya, kemudian berusaha dengan segala cara untuk mengembalikannya. Saya amat bahagia tinggal di satu masyarakat yang dipenuhi banyak orang baik. Saya merasa sangat aman dan terlindungi oleh kebaikan yang menjadi moralitas bersama.
Saya masih terkesima dengan kebaikan itu. Saya lalu membayangkan negeri saya yang katanya religius. Saya membayangkan negeri saya yang merupakan pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Negeri yang penduduknya paling banyak bergelar haji. Namun ketika barang hilang, maka penemunya tidak mau mengembalikan. Kalaupun berniat mengembalikan, maka diawali paksaan serta permintaan imbalan. Duh negeriku!
Athens, 24 Mei 2012
6 komentar:
pengalaman yang sangat menarik Bang Yusran ... salam buat Uncle Sam
wuiih...amazing kak..
sempat dia ceritakan istrita wktu sy ktemu, klo iphonenya kt hilang...hehe
tp alhamdulillah sudah balik lagi...
eh, bung, baru2 ini saya juga kehilangan berkas berharga di bandara soetta. untung ada no telp rumah di makassar dalam salah satu form dlm berkas. seseorang menyerahkannya ke pos polisi dan polisi bandara menelpon ke makassar, dan orang di rumah menelpon ke saya di bandara soetta...saya sempat teringat kehilanganmu itu seaktu akan ke amrik :)
Beda sama sy kak, 3 hari yg lalu BB hilang. Skrg aktif tapi sdh dipakai org lain dan tdk mau dibalikin :(
Beda sama saya kak, 3 hari yg lalu kehilangan BB. SKrg BB itu sdh ada sama org lain, katif tapi tdk mau dikembalikan :((
ya ya, itulah, saya sendiri bingung orang2 non-muslim malah lebih banyak yang "tindakan" sesama manusianya lebih muslim, cocoknya mereka diajak masuk muslim untuk gantiin "image jelek" seorang muslim
Posting Komentar