Jurnalisme Warga Ala Kompas


HARIAN Kompas membuat terobosan baru. Beberapa berita bagus yang tayang di Kompasiana akan dimuat juga di Kompas.com, serta Kompas versi cetak. Menurut sang penggagas yang juga sahabat dan guru saya, Pepih Nugraha, simbiosis ini disebut hybrid journalism. Ini hal yang menarik. Sebab selama ini media mainstream seperti Kompas dikuasai para jurnalis professional yang memang kemampuannya diasah untuk menghasilkan reportase.

Sekarang, reportase itu bisa dibuat warga biasa, dengan kualitas yang bisa jadi lebih dari wartawan. Kata Dan Gilmor, jika para wartawan melaporkan atau mereportase sesuatu, maka warga biasa itu justru membagikan (sharing) sesuatu. Warga biasa itu mengisahkan hal-hal yang dialami di sekitarnya hingga kemudian menjadi berita.

Mengapa demikian? Sebab warga biasa itu dekat dengan kejadian, bisa merasakan detak jantung sesuatu yang hendak diliput. Warga biasa seringkali punya pengetahuan lebih atau spesifikasi yang tidak dimiliki wartawan. Sebagai misal, dalam beberapa kecelakaan penerbangan, seorang pilot berpengalaman seperti Chappy Hakim (mantan Kepala Staf TNI AU, yang juga blogger) punya kualitas yang jauh lebih hebat dari wartawan peliput penerbangan. Demikian pula dengan berita teknologi. Blogger sekelas Kusmayanto Kadiman (blogger yang juga mantan Menristek RI) jelas jauh lebih paham bidang tertentu yang menjadi spesialisasinya.

Demikian pula dengan beberapa peristiwa sehari-hari. Kompasiana beberapa kali membikin heboh ketika warga biasa justru bisa menangkap momen yang tidak sempat ditangkap para jurnalis. Salah satu contoh teranyar adalah liputan warga tentang kunjungan Komisi 8 DPR RI ke Australia yang dicecar habis oleh mahasiswa, hingga terungkap kalau anggota DPR itu tak punya email. Malah, sempat pula ngasih email palsu. Berita itu kian mengukuhkan posisi jurnalis warga yang justru lebih mumpuni dari jurnalis media.

Jika demikian, pantas saja jika Kompas membuka ruang seluas-luasnya pada para warga untuk meliput. Di sini, terjadi simbiosis mutualisme. Kompas butuh berita aktual yang seringkali didapatkan para warga di sekitar lokasi kejadian, sementara warga justru butuh membagikan pengalaman, atau suka memajang tulisan di media sekelas Kompas demi menaikkan personal branding.

Yang menarik adalah eksperimen ini seakan menerabas beberapa teori jurnalistik yang terlanjur menjadi pakem bagi banyak orang. Beberapa peneliti seperti Robert Putnam hingga Dan Gilmor masih saja membuat kategori pembeda antara jurnalis warga dan jurnalis mainstream. Padahal, lewat eksperimen harian Kompas, sebenarnya dua kategori itu bisa disatukan demi meramaikan wacana dunia maya dan dunia cetak, dan demi mengatasi daya jelajah para jurnalis yang kadang sangat terbatas.

Namun, kalau dipikir-pikir, sebenarnya yang paling diuntungkan dengan simbiosis ini adalah harian Kompas sendiri. Betapa tidak, ia tiba-tiba saja mempunyai reporter back up atau reporter bayangan yang bersedia mereportase sesuatu, tanpa minta dibayar. Ini kan satu simbiosis yang sebenarnya Nampak adil di satu sisi, tapi di sisi lain justru tak adil. Sebab Kompas leluasa dengan iklan dan pemasukan miliaran atas akurasi serta aktualitas berita (yang dihasilkan beberapa liputan warga yang rela tak dibayar). Sementara para reporter warga hanya dapat nama. Iya khan?

Jika simbiosis ini berhasil, kelak media hanya diisi beberapa jurnalis saja. Sisanya adalah warga cerdas yang melaporkan dari berbagai belahan bumi. Lantas, apakah kelak profesi jurnalis akan dikubur oleh para warga?

0 komentar:

Posting Komentar