Walmart, pusat belanja terlaris di Amrik. Sayang, tak ada terasi di situ |
MAKANAN selalu terkait dengan kebudayaan. Sejauh-jauh seseorang berpindah tempat, selera atas makanan adalah sesuatu yang sukar berubah. Sebab selera itu dikonstruksi oleh budaya, dimapankan dalam pola atau kebiasaan yang selalu berulang-ulang, hingga menjadi konsep enak dan tidak enak yang serupa software telah melekat dalam kepala dan menjadi penilai atas suatu makanan.
Sejauh-jauh saya berkelana hingga Amerika, lidah saya tetap saja menyukai rasa makanan tanah air yang penuh bumbu-bumbu. Di sini, makanan tak banyak pakai bumbu. Dari sisi rasa, saya belum jatuh cinta pada satupun makanan. Saya tak suka spaghetti, serta makanan Mexico yang namanya Burrito yang banyak dtemukan di jalan-jalan. Saya juga tak suka makan fast food seperti McD atau KFC.
Kita bisa menyebutnya sebagai paradoks dalam kebudayaan. Di Indonesia, makanan cepat saji identik dengan kelas berpunya. Hanya yang kaya yang doyan makan di situ dan menjadikannya sebagai gaya hidup. Di Amerika, makanan cepat saji adalah pilihan bagi yang miskin karena harganya murah. Tapi, makanan itu dituding amat tidak sehat.
Mereka yang makan McD ibarat sedang memasukkan sampah dalam tubuh. Makanya, salah satu musuh terbesar warga Amerika adalah obesitas. Di sini, amat banyak menemukan orang tambun. Saya tak sedang bercanda. Mereka yang kaya akan menjauhi fast food. Mereka lebih suka mengakses sayuran dan buahan dari bahan organik sebab dianggap jauh lebih menyehatkan.
nelihat Indomie di rak-rak. Akhirnya... |
Asian Market memasok kebutuhan warga Indonesia, India, Malaysia, Cina, dan Taiwan |
Kembali ke soal makanan. Selera di lidah saya adalah selera khas tanah air. Susahnya karena di sini, tak ada warung padang. Tak ada pula warteg yang banyak menjamur di Jakarta. Sebagaimana warga Indonesia lain, bagi saya, yang disebut makan itu adalah ketika makan nasi. Kalau belum makan nasi, sama saja belum makan. Nah, solusinya adalah restoran Asia. Makanya, beberapa kali saya suka ke Restoran Cina demi makan nasi dan merasakan bumbu khas Asia.
Jahe Wangi dan Nescafe |
Tapi, keseringan di restoran Cina juga bukan solusi. Sebab biayanya cukup mahal. Makanya, saya memilih untuk masak sendiri. Nah, demi mengembalikan cita rasa khas tanah air, maka solusinya adalah saya mesti membeli beberapa bumbu, khususnya terasi. Kelihatannya sepele. Di tanah air, mencari terasi semudah membalik telapak tangan. Harganya cuma sekitar Rp 100. Tapi di Amerika, mencari terasi seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Tak percaya? Silakan saja cari di Walmart atau Kroger, saya jamin anda tak menemukannya.
Di manakah mencari terasi? Ternyata harus mencari di Asian Market. Sebab ternyata terasi bukan hanya dikonsumsi oleh orang Indonesia, tapi juga warga India dan Thailand. Jangan-jangan terasi bisa jadi pintu masuk untuk menjelaskan kesamaan budaya antar bangsa.
Saya lalu singgah ke Asian Market. Saya agak surprise karena saya menemukan banyak makanan khas Indonesia. Mulai dari Indomie, teh jahe, gula jawa, hingga beberapa bumbu masakan. Saya langsung membeli banyak Indomie yang dijual seharga 49 sen. Saya kangen juga dengan mie ini sebab di Amerika, yang popular adalah mie Ramen.
Keliling Asian Market, saya tak kunjung menemukan terasi. Saya lalu mengubah strategi. Kali ini, saya mencarinya dengan hidung sebab hidung saya menemukan bau sebagaimana terasi. Beruntung, saya menemukan terasi yang dijual per dalam kotak kecil dengan tulisan khas India. Di situ tertulis Shrimp Paste. Saya ragu, apakah ini terasi atau bukan. Saya membuka dan menciumnya. Ternyata memang terasi. Alhamdulillah. Pencarian ini akhirnya sukses juga.
14 komentar:
hahahaha,lucunya cerita terasi ta kak..pasti room mate ta' kaget cium bau apa itu??
Hahaha jadi ingat cerita tante yang tinggal di Jerman. Waktu itu katanya ia lagi membakar terasi untuk dijadikan lombok, mungkin karena baunya yang menyengat, tetangganya pada datang :p Mungkin niatnya mau menegur baunya tapi ujung-ujungnya malah ikutan makan :D
hihihihi... ati2 k'.. kk saya pernah dilaporkan oleh tmn flat-nya ke petugas keamanan flat gara2 bau menyengat dari terasi goreng... :D
makasih atas komentarnya. si room mate saya itu sempat protes dengan bau terasi. tapi setelah itu dia fine-fine aja kok. hehehehe. apa kabar smuanya???
hahahaha...lucu kak cerita terasinya.seandainya room mate ta' mencoba pasti bilang rasa "tambah lagi"...hehehe
selera makan memang tak bisa berubah seketika meski raga kita sudah bisa beradaptasi dengan wilayah baru. butuh waktu panjang. tapi biasanya kita akan kembali ke selera asal yang sudah dibangun bertahun-tahun di tanah air.
bung Yusran, kok gak diceritakan apakah room mate yang orang Amrik itu ikut nyobain makanan Indonesia?
baik2 aja bang. Semoga Abang juga baik2 disana and semoga sukses. Kisah Terasi yang menyenangkan untuk dibaca Bang. Hahahahahahahaa
Mari kita masak2 terasi di apart 601.. :)
menarik,lucu,ringan slalu inspiratif... nanti sy kirimkan terasix poleang...
jualan terasi disana cocok kale ya.hehe
jualan terasi disana mungkin mantab kali ya.hehe
iya. kayaknya jualan terasi di sini sangat menguntungkan..
sy tunggu kiriman terasinya. hehehehe
nassami dia kaget. hhehe
Posting Komentar