SATU-satunya pekerjaan yang tersedia dan dianggap prestisius bagi mereka yang tinggal di Pulau Buton adalah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Demi menjadi PNS, seseorang kerap bersedia membayar sejumlah sogokan atau pelicin hingga kisaran Rp 30 juta lebih. Baru-baru ini, saya dapat info kalau jumlah sogokan paling besar ada di Kabupaten Muna yaitu Rp 80 juta.
Di Kabupaten Buton Utara, untuk menjadi PNS, seseorang harus menyiapkan uang sampai Rp 30 juta. Demikian pula di Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau. Itupun tidak ada jaminan bakal lolos sebab bisa saja batal kalau backing (pejabat yang melobi agar lolos) ternyata tidak begitu punya pengaruh dalam meloloskan seseorang. Untuk menjadi PNS, seseorang harus berani berkolusi dan kongkalikong dengan para pejabat serta uang pelicin. Kita seolah menyaksikan fragmen kejahatan yang dilegalkan.
Bagi warga Sulawesi Tenggara (Sultra), profesi PNS adalah profesi yang paling membanggakan. Memakai baju dinas PNS adalah mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari satu kelas yang berkuasa dan punya otoritas untuk melakukan banyak hal. Ketika memakai baju PNS, maka seseorang langsung dikategorikan dalam strata sosial tertentu yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Baju PNS adalah alat kuasa sekaligus memungkinkan pemiliknya untuk mendapatkan respek serta penghargaan dari sesamanya. Seorang temanku berseloroh, ketika seseorang mengaku PNS saat melamar anak gadis orang lain, maka saat itu juga ia akan mendapatkan kesan positif dari keluarga gadis tersebut.
Profesi PNS adalah profesi yang seolah bisa diwariskan. Ambil contoh, pejabat di Bau-bau memasukkan semua anaknya menjadi PNS. Pernah, dalam satu kali penerimaan, tiba-tiba saja tiga anaknya langsung lolos menjadi PNS karena campur tangannya. Saya jadi bertanya-tanya. Apakah sang pejabat itu tidak memikirkan bagaimana kesan orang kepada dirinya? Saya juga membatin, jika PNS adalah profesi yang diwariskan, lantas adakah kesempatan bagi mereka yang tak punya bapak pejabat? Atau adakah kesempatan buat mereka yang tak punya uang? Kisah seperti ini bukanlah satu, melainkan banyak. Ketika bapaknya pejabat, maka dengan mudahnya memasukkan anaknya sebagai PNS, seolah profesi itu bisa diwariskan. Yupp.... Mungkin inilah potret buram birokrasi di negeri ini.
Di sini, uang tidak selalu menjadi tolok ukur dalam menilai seseorang. Meski seseorang tersebut tampak kaya dan sukses, bisa kalah mentereng dibandingkan seseorang yang biasa-biasa saja namun berprofesi sebagai PNS. Bahkan seorang haji yang bolak-balik Mekah sampai puluhan kali, bisa kalah pamor dengan seorang PNS yang memakai mobil dinas ke mana-mana, kemudian ada tanda pangkat di bajunya. Menjadi PNS adalah kebanggaan sekaligus kekuasaan untuk mengendalikan yang lain. Menjadi eselon di pemerintahan adalah akses untuk menggertak atau menghardik yang lain, kemudian mendapatkan fasilitas di pemerintahan.
Makanya, banyak orang yang rela menyogok berapapun, demi memuluskan niatnya menjadi PNS. Pantas saja jika setiap tahun, saat diadakan peneriman PNS, maka kehebohannya mengalahlan pesta demokrasi. Ada lobi-lobi, kolusi, serta intrik yang terjadi di belakang layar. Berapapun biaya sogok akan dikeluarkan, demi memuluskan langkah. Saya pernah bertanya pada seorang calon PNS, “Apakah anda mengincar gaji?“ Ia menjawab, ”Bukan soal gaji. Ini soal masa depan dan pengaruh.” Yah, inilah negeri yang menjadikan pengaruh dan kuasa sebagai tujuan. Dan PNS adalah jalan tol menuju pada dua hal tersebut.(*)
0 komentar:
Posting Komentar