Mata Air Inspirasi

KEMARIN saya nonton satu episode tayangan KickAndy di Metro TV. Episode yang ditayangkan kemarin sungguh inspiratif dan membuat saya tercenung selama beberapa saat. Saya lupa apa judulnya, namun tayangan kemarin menampilkan kisah sejumlah orang --yang dengan semangat luar biasa-- menjadi guru dan mendirikan sekolah di daerah terpencil. Mereka ikhlas dan bekerja tanpa mengharap imbalan. Mereka punya ketulusan. Mereka punya keikhlasan, --sesuatu yang nyaris hilang di tengah manusia zaman ini yang kian individualis dan membuang muka pada sesamanya.

Selama 60 menit episode itu, saya saksikan dengan tanpa beranjak. Mereka bukanlah para politisi, atau pejabat yang suka mengatasnamakan rakyat. Mereka bukanlah orang yang sering disorot media. Mereka adalah manusia-manusia kecil yang selama ini terabaikan dalam segala hiruk-pikuk wacana negeri ini. Tetapi mereka bukanlah bagian dari mereka yang cuma bisa pasrah memeluk nasib. Mereka memang punya segala keterbatasan, namun keterbatasan itu tidak menghalangi niatnya untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk membantu sesamanya, meskipun untuk itu, mereka harus rela hidup dengan pas-pasan dan sama menggiriskannya dengan mereka yang dibantunya.

Seorang guru bernama Jufri (mungkin saya salah menyebutnya) tinggal di satu desa terpencil di Sumatera Utara. Desanya terisolasi dan sama sekali belum pernah menikmati listrik dan lampu yang benderang. Jufri adalah petani yang setiap hari acap menyaksikan anak kecil yang tidak bersekolah di desanya. Ia resah dengan keterbelakangan. Meski pendidikannya cuma setingkat Sekolah Dasar (SD), ia nekad mendirikan sekolah dengan kondisi yang memprihatinkan. Meski bangunannya seperti kandang kambing, ia tak patah arang. Ia mengajari anak-anak di desa itu tanpa mengharapkan imbalan sepeserpun. Ia mengajar anak-anak agar bisa membaca dan menuntun mereka untuk memasuki dunia ilmu pengetahuan, sebuah dunia yang terang-benderang dan membawanya melanglangbuana untuk lepas dari keterbelakangan.

Kemanakah ia usai mengajar? Jufri kembali bertani untuk mendapatkan sesuap nasi. Sebidang tanah sawah telah menanti sentuhannya. Ia bertani demi mendapatkan sesuap nasi dan nafkah bagi keluarganya. Ia seorang guru di pagi hari, namun di siang hari menjadi petani untuk menjaga napas kehidupannya. Mengapa pula ia mau berpayah-payah mendirikan sekolah? “Saya ingin agar anak-anak di desa saya tidak tertinggal. Saya ingin mereka pandai dan tidak menyerah begitu saja ketika dibodohi mereka yang pintar,“ katanya. Luar biasa!!! Nun di tengah kampung terpencil itu, Jufri masih memelihara idealisme dan mimpi besar. Memang, ia hidup miskin. Namun kemiskinan tidaklah menjadi perangkap baginya untuk menggapai impiannya yang mulia. Ia lebih mendahulukan orang lain, kemudian memikirkan dirinya dan keluarganya.

Lain lagi dengan kisah Asep, seorang pria yang kakinya pincang di Jawa Barat. Ia hidup sebagai tukang parkir di kawasan Puncak. Asep juga nekad mendirikan sekolah, meskipun pendidikannya cuma setingkat SD. Seperti halnya Jufri, ia tak pernah minta bayaran dan melakukan semua tugas mengajar dengan penuh keikhlasan. Asep mengajar di semua kelas dan siap dipanggil kapan saja ketika muridnya butuh bantuan. Usai mengajar, Asep kembali menjadi tukang parkir di Puncak. Lewat itulah ia membiayai hidup dan sekolah yang didirikannya. Langkahnya tertatih-tatih menapaki hari, namun ia tidak tertatih-tatih ketika mewujudkan idealismenya. Langkahnya mantap dan penuh keyakinan untuk memberikan sesuatu pada dunia sekitarnya.

Saya merasa tersentuh. Dulunya, saya menganggap bahwa idealisme dan keikhlasan adalah prasasti yang hanya bisa dibaca serpih jejaknya di abad ini. Dulunya saya menganggap bahwa keikhlasan seperti itu hanya ada dalam biografi atau kisah-kisah para pahlawan di waktu yang lampau, atau kisah para rasul dan rahib yang menggetarkan. Namun Asep dan Jufri seakan menampar kita semua bahwa hasrat untuk membantu orang lain adalah sesuatu yang bisa tumbuh di hati siapa saja dan dalam keadaan apapun dan di waktu apapun. Keterbatasan tidaklah menjadi penjara bagi keduanya, namun menjadi api yang membakar semangat mereka untuk sesuatu yang lebih baik. Bahwa idealisme serta keinginan untuk membebaskan yang lain, bukanlah monopoli mereka yang duduk manis di atas singgasana pendidikan tinggi. Keikhlasan itu bisa menghinggapi siapa saja yang kemudian menggerakkan yang lain. Asep dan Jufri adalah manusia-manusia yang bebas dari jeratan apatisme dan oportunis dalam menjalani hidup.

Hal yang bikin saya kagum dengan mereka adalah mereka melakukannya bukan untuk mengharap imbalan. Mereka tidak melakukan itu dalam rangka proyek yang dibiayai pendonor asing yang mengucurkan dana besar untuk proyek-proyek demikian. Mereka melakukan itu bukan demi proyek sebagai hasil kongkalikong dengan pejabat pemda. Mereka jauh dari publikasi untuk terkenal atau menjadi pesohor. Mereka juga tidak melakukannya dalam konteks penelitian, --demi mengetahui bagaimana rasanya menjadi manusia yang terpencil dari peradaban lalu diseminarkan di hotel dan menjadi objek bahasan di kampus-kampus. Mereka mendirikan sekolah semata-mata hanya didorong oleh kesadaran bahwa pendidikan sangat penting bagi siapa saja dan untuk mewujudkan itu, mereka tak perlu menunggu uluran tangan siapapun. Mereka ingin berbuat pada sekelilingnya, tanpa pernah mengharap ada publikasi atau menjadi seorang pesohor.

Hal lain yang juga saya kagumi adalah mereka tidak berasal dari lapis-lapis terdidik yang kerap menyebut dirinya paling peduli dengan realitas sosial. Mereka tak pernah membaca Marx, tak juga membaca karya Paolo Freire tentang pendidikan yang membebaskan. Namun apa yang mereka lakukan adalah pembebasan dalam makna yang sesungguhnya. Mereka membebaskan dirinya dari belenggu ketidakberdayaan kemudian membebaskan yang lain. Asep dan Jufri adalah manusia langka di negeri ini yang para elitenya dikepung rasa narsis dan selalu membanggakan apa yang dilakukannya. Mereka adalah nyanyi sunyi ditengah gegap gempita partai politik yang sibuk mengklaim prestasinya yang telah membebaskan kemiskinan, dan di saat bersamaan telah mengeruk rupa-rupa keuangan negara demi memperkaya dinasti politik dan jaringannya. Asep dan Jufri adalah pahlawan sesungguhnya yang tidak banyak menuntut. Mereka adalah mata air yang tak pernah surut dan selalu mengalirkan inspirasi dan harapan bagi manusia di sekelilingnya.

Dalam wawancara kemarin, Jufri menyebut keinginannya hanya satu yaitu agar kelak dirinya bisa masuk surga, sebuah negeri yang mewujudkan semua harapan dan keinginannya. Saya teringat kalimat Soedjatmoko: sebuah gagasan dan impian akan memiliki kaki-kaki yang akan menggerakkan. Barangkali impian tentang surga itu telah menggerakkan kakinya untuk berbuat sesuatu. Sementara kita di sini, masih bergelut dengan pencarian gagasan, masih bergelut dengan soal bagaimana mengisi perut hari ini dan esok hari……..


Pulau Buton, 9 Februari 2009
www.timurangin.blogspot.com



1 komentar:

Unknown mengatakan...

yusran.... saya jadi teringat film seven samurainya akiro kurusawa, betapa susahnya mencari sebuah ketulusan dan keikhlasan seperti mencari jarum jatuh di jerami. namun di saat yang tak terduga dia muncul di depan mata kita, dan menyadarkan kita bahwa sebongkah ketulusan dan keikhlasan itu masih ada.
oiya... selamat yaaa... atas tawaran2 untuk mengajar di beberapa univ. dan study ke singapurnya...
salam...

Posting Komentar