Dukun Cilik dan Kuasa Pengetahuan

DI Jombang ada dukun cilik yang bisa menyembuhkan penyakit. Ribuan warga antri demi mendapatkan sentuhan sang dukun. Sementara pemerintah tak henti-hentinya menyalahkan warga yang katanya tidak berpendidikan. Bupati Jombang menyebut masyarakatnya yang bodoh. “Semua fasilitas kesehatan modern sudah saya siapkan, ngapain mereka pegi berobat ke dukun,“ katanya dengan sedikit angkuh.

Media massa juga demikian. Mereka menuding bahwa tingkat pendidikan yang rendah sebagai pemicu kedatangan masyarakat ke dukun. Apa sih kaitannya prilaku ke dukun dengan tingkat pendidikan rendah? Saya rasa tak ada kaitannya. Bahkan di negeri yang sudah maju seperti Amerika dan Cina sekalipun, masyarakat masih saja percaya dengan segala ramalan atau peruntungan. Orang Amerika punya ramalan tarot, sementara Cina punya hong shui, feng shui, hingga ramalan garis tangan. Bukankah semuanya sama-sama tak rasional dan tak berbeda dengan praktik perdukunan?

Menurutku, tindakan ke dukun tak bisa dijustifikasi akibat kebodohan atau pendidikan rendah. Justru, masyarakat yang ke dukun adalah masyarakat yang cerdas dan jauh lebih cerdas dibandingkan pemerintah. Mereka ke dukun karena dibimbing pikiran rasional bahwa berobat di dukun lebih memberikan kenyamanan secara psikologis dan tidak membebani isi dompet. Saya menyimak wawancara dengan seorang tukang ojek. “Setiap saya ke rumah sakit, saya harus membayar Rp 200 ribu untuk konsultasi dan obat. Itupun saya diberitahu kalau obatnya habis, maka saya harus balik lagi ke rumah sakit. Bayangin, tiga kali ke situ, saya udah bangkrut. Sementara kalau pergi ke dukun, saya tidak pernah dimintai bayaran lebih dari yang saya sanggup berikan,“ katanya.

Artinya, masyarakat punya alasan yang jauh lebih praktis, efisien, dan low cost dari sisi ekonomi. Masyarakat lebih merdeka dalam bertindak, ketimbang pemerintah yang bertindak karena dipandu sejumlah aturan pusat, konstitusi, udang-undang serta sesuatu yang disebutnya “amanah rakyat.“ Sementara masyarakat terbebaskan dari berbagai keharusan itu. Mereka bebas menentukan hendak ke mana dan memilih jalur pengobatan seperti apa. Urusan ke dukun saja kok direpotin?

Ketimbang menyalahkan masyarakat, mendingan pemerintah harus introspeksi diri bagaimana pelayanan rumah sakit. Rumah sakit menjelma menjadi rumah sakit yang sebenarnya yaitu rumah yang kian menyakiti mereka yang datang berkunjung. Biaya yang mahal akibat serbuan produsen farmasi yang memberi iming-iming kepada para dokter, telah lama menjauhkan rumah itu dari misi-misi idealis. Meskipun ada banyak program kesehatan, namun selalu saja tidak bisa memberikan kenyamanan bagi pasien. Saya banyak mendengar kisah bagaimana seorang miskin yang membawa kartu askeskin atau jamkesmas tiba-tiba berhadapan dengan suster yang bermuka masam dan dimarah-marahi ketika berobat. Kapitalisme telah menyerbu rumah itu sehingga pasien dipandang sebagai obyek yang diperas demi memperkaya rumah yang kini menjadi institusi bisnis tersebut.

Tindakan masyarakat yang lebih mempercayai dukun adalah potret dari tiadanya akses ke sarana pengobatan. Sementara tindakan pemerintah yang mengatakan masyarakat bodoh adalah potret bekerjanya kuasa pengetahuan yang mendefinsikan yang lain dengan cara berbeda. Masyarakat punya pengetahuan sendiri, namun pemerintah juga punya kuasa pengetahuan untuk mendefinisikan mereka sebagai bodoh atau rendah pendidikan. Kuasa pengetahuan itu bekerja dalam kesadaran dan diejawantahkan dalam praktik yang mendiskriminasikan orang lain. Kuasa pengetahuan itu seakan membatasi pandangan pemerintah agar melihat sesuatu dengan kacamata kuda yaitu hanya melihat satu sisi dan mengabaikan sejumlah nalar yang sangat penting dalam pembentukan kesadaran.

Mestinya pemerintah tak perlu sewot dengan keberadaan dukun. Saya membayangkan pemerintah mengajak dukun untuk bekerja sama dalam satu institusi. Jadinya, dukun tak usah identik dengan praktik independen di rumah sendiri, namun bisa juga praktik di rumah sakit. Dukun memberikan sugesti dan kenyamanan psikologis bagi pasien, sementara dokter memberikan kawalan dari sisi medis. Hanya saja, pasti akan terjadi benturan dalam hal biaya. Jika dukun bekerja dengan biaya murah sebab mementingkan aspek kekerabatan dalam satu kampung, maka dokter harus bisa menyesuaikan dengan pola kerja sang dukun. Ia juga harus bisa memberikan pengobatan murah namun bisa menyembuhkan, sebagaimana sang dukun bisa memberikan sugesti. Saya kira ini bisa menjadi model rumah sakit unik di negara seperti Indonesia ini.(*)

0 komentar:

Posting Komentar