DONGKALA, sebuah daerah yang terletak di pesisir pantai, yang bisa disaksikan dari seberang lautan Pasarwajo adalah keindahan yang tak terpermanai. Melihat langsung Dongkala menghadirkan sensasi yang berbeda bagiku. Di situ, saya menyaksikan ratusan perahu yang berjajar rapi. Kemudian banyak kapal bertiang dan layar juga menghiasi bibir pantai Dongkala.
Ada banyak bahasa yang digunakan di Dongkala. Mulai dari bahasa Cia-cia, Kondowa, Dongkala, Binongko, hingga Wolio. Antara bahasa Cia-cia, Dongkala, dan Kondowa merupakan rumpun bahasa yang sama, namun berbeda logat atau dialek. Sementara bahasa Binongko dan Wolio sangat berbeda dengan behasa sebelumnya. Warga setempat, rata-rata bisa menggunakan banyak bahasa itu. Ketika temanku Nas menyapa warga dengan bahasa Wolio, maka warga bisa menjawabnya dengan bahasa Wolio yang fasih. Ternyata warga Dongkala punya kecerdasan linguistik yang tinggi.
Perihal banyaknya perhau di pinggir laut ini, saya sempat menyakannya kepada nelayan Dongkala bernama La Uma Dhadi. Ia mengatakan, saat ini sedang musim timur. Biasanya pada musim ini, ombak demikian tinggi sehingga nelayan tak mau mengambil risiko. Kata La Uma, ada saja nelayan lain yang nekat melaut. “Barusan ada nelayan yang datang dari laut dan bawa banyak ikan tuna,” katanya. Harga ikan tuna di situ cukup tinggi. Sebanyak 1 kilogram, bisa dijual sekitar Rp 19.500. Jika nelayan membawa ikan sebanyak 800 kilogram, maka hitung sendiri berapa pemasukan nelayan tersebut.
Temanku Nas tertarik dengan konstruksi kapal yang unik. Bentuk haluannya agak runcing, namun konstruksinya tetap kokoh. Menurut La Uma itu, ada tiga jenis perahu atau kapal yang ada di situ. Pertama perahu berukuran kecil, sejenis kano yang didayung dua orang dan disebut koli-koli. Kedua, perahu berukuran sedang dan biasanya dipakai menangkap ikan dan disebut bodi. Ketiga, adalah perahu yang berukuran besar, sejenis kapal layar bertiang satu dan disebut bangka. Kesemua jenis perahu tersebut dibuat langsung oleh nelayan Dongkala. Mereka tidak punya tradisi membeli kapal dari luar sebab mereka punya teknologi sendiri untuk membuat kapal. Sayangnya, saya tidak sempat menyaksikan langsung proses pembuatan kapal.
Menurut La Uma, pembuatan kapal membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Seorang pembuat kapal harus punya rasa cinta pada laut dan punya visi tentang bagaimana nanti kapal tersebut ketika menghantam ombak. Saya tertarik dengan rasa cinta pada laut. Kata La Uma, cinta pada alut adalah kesadaran mengenali laut dengan segala seluk-beluknya. Dalam bahasa berbeda, saya menterjemahkan itu sebagai cinta yang lahir dari kesadaran bahwa manusia hanya bagian kecil dari semesta.Lautan adalah semesta yang juga harus dikenali dengan baik oleh manusia. Luar biasa, cintalah yang menjadi elemen penting untuk membuat perahu. Cinta menjadi nyawa hubungan manusia dengan alam. Dan perahu yang menjembatani hubungan tersebut, sesuatu yang dibangun dengan cinta.(*)
Ada banyak bahasa yang digunakan di Dongkala. Mulai dari bahasa Cia-cia, Kondowa, Dongkala, Binongko, hingga Wolio. Antara bahasa Cia-cia, Dongkala, dan Kondowa merupakan rumpun bahasa yang sama, namun berbeda logat atau dialek. Sementara bahasa Binongko dan Wolio sangat berbeda dengan behasa sebelumnya. Warga setempat, rata-rata bisa menggunakan banyak bahasa itu. Ketika temanku Nas menyapa warga dengan bahasa Wolio, maka warga bisa menjawabnya dengan bahasa Wolio yang fasih. Ternyata warga Dongkala punya kecerdasan linguistik yang tinggi.
Perihal banyaknya perhau di pinggir laut ini, saya sempat menyakannya kepada nelayan Dongkala bernama La Uma Dhadi. Ia mengatakan, saat ini sedang musim timur. Biasanya pada musim ini, ombak demikian tinggi sehingga nelayan tak mau mengambil risiko. Kata La Uma, ada saja nelayan lain yang nekat melaut. “Barusan ada nelayan yang datang dari laut dan bawa banyak ikan tuna,” katanya. Harga ikan tuna di situ cukup tinggi. Sebanyak 1 kilogram, bisa dijual sekitar Rp 19.500. Jika nelayan membawa ikan sebanyak 800 kilogram, maka hitung sendiri berapa pemasukan nelayan tersebut.
Temanku Nas tertarik dengan konstruksi kapal yang unik. Bentuk haluannya agak runcing, namun konstruksinya tetap kokoh. Menurut La Uma itu, ada tiga jenis perahu atau kapal yang ada di situ. Pertama perahu berukuran kecil, sejenis kano yang didayung dua orang dan disebut koli-koli. Kedua, perahu berukuran sedang dan biasanya dipakai menangkap ikan dan disebut bodi. Ketiga, adalah perahu yang berukuran besar, sejenis kapal layar bertiang satu dan disebut bangka. Kesemua jenis perahu tersebut dibuat langsung oleh nelayan Dongkala. Mereka tidak punya tradisi membeli kapal dari luar sebab mereka punya teknologi sendiri untuk membuat kapal. Sayangnya, saya tidak sempat menyaksikan langsung proses pembuatan kapal.
Menurut La Uma, pembuatan kapal membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Seorang pembuat kapal harus punya rasa cinta pada laut dan punya visi tentang bagaimana nanti kapal tersebut ketika menghantam ombak. Saya tertarik dengan rasa cinta pada laut. Kata La Uma, cinta pada alut adalah kesadaran mengenali laut dengan segala seluk-beluknya. Dalam bahasa berbeda, saya menterjemahkan itu sebagai cinta yang lahir dari kesadaran bahwa manusia hanya bagian kecil dari semesta.Lautan adalah semesta yang juga harus dikenali dengan baik oleh manusia. Luar biasa, cintalah yang menjadi elemen penting untuk membuat perahu. Cinta menjadi nyawa hubungan manusia dengan alam. Dan perahu yang menjembatani hubungan tersebut, sesuatu yang dibangun dengan cinta.(*)
20 AGustus 2008
4 komentar:
Thanks to the owner of this blog. Ive enjoyed reading this topic.
that's way too cool.
Nice blog. Thats all.
that's way too cool.
Posting Komentar