Ekspedisi Pasarwajo-Wabula (1)


HARI ini saya lelah secara fisik dan emosional setelah menjalani ekspedisi melintasi Pasarwajo dan Wabula. Dua daerah ini adalah kecamatan yang terletak di ujung selatan Pulau Buton. Pasarwajo dikenal sebagai daerah penghasil aspal, yang di tahun 1970-an sempat menikmati masa jaya. Akibat kurang promosi dan persaingan yang tinggi dengan jenis aspal minyak, kini tambang aspal alam itu ibarat kereta tua yang kepayahan bergerak melintasi rel yang terus mendaki. Malah, kereta itu mulai tertahan dan perlahan berjalan mundur. Sungguh ironis.

Jalan yang hendak saya lalui ini adalah jalan yang dibangun oleh pemerintah Belanda demi melancarkan pasokan aspal dari Pasarwajo ke Bau-Bau. Belanda bersusah payah membelah bukit, kemudian menyisipkan celah di antara bebatuan cadas demi sebuah jalan yang menghubungkan dua wilayah ini. Berdasarkan data yang sempat kucatat, produksi aspal Buton yang diperluas secara resmi dimulai pada tanggal 21 Oktober 1924. Perusahaan pertambangan asing yang pertama mengelolanya adalah NV Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton. Perusahaan inilah yang kemudian mengajukan proposal ke Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun jalan ke Pasarwajo.

Hari ini saya menyiapkan fisik untuk melalui jalan itu. Dengan mengendarai sepeda motor jenis Suzuki Smash, saya melintasi jalanan Bau-Bau ke Pasarwajo yang rusak parah sejauh 48 kilometer, kemudian disambung ke Wabula sejauh 30 km dan selanjutnya pulang kembali ke Bau-Bau. Waktu sehari saya gunakan untuk melintasi wilayah yang medannya sungguh sulit dan berbukit-bukit. Dikarenakan ekspedisi ini cuma sehari, mohon dimengerti kalau tulisanku kurang bisa menangkap detail-detail yang unik dan penting sebagaimana lazimnya tulisan etnografi.

Meninggalkan Kota Bau-Bau, jalanan masih sangat mulus, namun setelah melewati Gonda Baru, yang merupakan perbatasan dengan Kabupaten Buton, jalanan mulai rusak parah. Kerikil serta batu cadas harus dilewati sehingga waktu tempuh menjadi berkurang secara drastis. Selama melintasi jalan tersebut, saya selalu khawatir kalau-kalau ban motorku akan pecah sebab disekelilingku adalah hutan belantara dan tidak terlihat pemukiman penduduk. Jika ban motor itu pecah, maka saya akan kepayahan harus mendorong motor di tengah hutan belukar dan jalanan yang rusak parah.

Daratan Pulau Buton ini yang saya lewati ini, hanya sebagian kecil yang subur dan ditumbuhi hutan lebat. Sebagian besar topografi wilayah yang saya saksikan adalah bebatuan karang yang tandus sehingga rasanya mustahil jika dijadikan areal persawahan. Yang mencengangkan saya, penduduk bisa menyiasati lahan tandus itu dengan menanam ubi kayu. Setahu saya, ada beberapa jenis ubi kayu yang bersifat endemik di Buton yaitu wikau maombo dan ubi kayu La Baali (mohon maaf karena saya tak tahu nama latinnya).

Selain pemandangan berupa batu karang yang cadas serta ubi kayu yang tumbuh di sela karang, pemandangan lain yang saya saksikan adalah sejumlah bukit sabana yang ditumbuhi alang-alang. Alang-alang itu tidak seberapa tinggi, namun rata dan memenuhi bukit, sehingga pemandangannya cukup indah. Jika diperhatikan secara sepintas, persis bukit dalam serial anak Teletubbies. Pantas saja jika warga Buton menyebut bukit-bukit itu sebagai Bukit Teletubbies, bukit yang enak dipandang mata, namun sesungguhnya tandus dan tak ada sumber air.

Sepanjang perjalanan, saya mengeluh melihat jalanan yang rusak parah. Saya tak habis pikir, kenapa pemerintah Kabupaten Buton tidak mendesakkan hal ini dengan gigih. Mereka hanya sibuk berdalih bahwa anggarannya adalah anggaran provinsi. Mereka tak mau mencari sumber-sumber dana yang kreatif demi mengatasi masalah jalan raya ini. Padahal, jalan ini adalah jalan yang sangat vital dan pertamakali dibangun Belanda demi melancarkan proses distribusi aspal dari Pasarwajo ke Bau-Bau.

Saya melalui beberapa desa seperti Kaongke-Ongkea hingga Wakokili. Kemudian masuk wilayah Lapodi, Wasaga, hingga Wakoko. Saya mencatat banyak nama-nama desa yang unik, yang nantinya akan saya kisahkan pada tulisan lain. Desa Wakoko merupakan jantung wilayah Kabupaten Buton sebab di desa inilah dibangun jalan besar yang kemudian terhubung menuju kantor Bupati Buton. Sayangnya, jalan menuju kantor bupati belum semua diaspal. Jalanannya masih gripis, penuh batu kerikil. Setelah singgah sesaat di Wakoko, selanjutnya saya mulai meneruskan perjalanan dan memulai petualangan baru.(*)

Pulau Buton, 20 Agustus 2008


5 komentar:

Anonim mengatakan...

mending duitnya dipake buat bangun yang lain itu bang, seperti rumah dinas tapi tidak ditempati juga sampai sekarang, sudah bagus dibuatkan malige daoana wajo tapi tidak ditinggali, jalan yang rusak gak kerasa bang kalo mereka pegawai-pegawai itu naiknya mobil yang harga 1 miliar.

Unknown mengatakan...

sepertinya pejabat2 di sana semuanya tidak punya mata apalagi perasaan...........

Anonim mengatakan...

salah kita sendiri sebagai orang asli,tidak ada yang bersikeras mendesak pemerintah daerah.jagonya hanya keluar kalau ada kekacauan pertandingan bola PAYAH........!

Anonim mengatakan...

cara laent buat dapatin dana yaitu dengan mempromosikan keindahan alam yg ada di buto sebut saja wabaelangko dan sekitarnya sangat indah bukan,,,, jika waisata tsb di promisikan dan berhasil menarik perhatian turis pasti akn ada pundi'' keuangan akan bertammba lg hehehehhehe

Anonim mengatakan...

pejabat atau pemerintahnya tidak salah. yang goblok ya rakyatnya,

Posting Komentar