Tambang Aspal yang Memfosil (Ekspedisi Pasarwajo-Wabula 3)


DI Indonesia, Buton terkenal sebagai pulau penghasil aspal. Di tanah ini, aspal tak perlu ditambang sebab muncul begitu saja dari dalam bumi untuk digunakan bagi warga demi kesejahteraan. Aspal adalah simbol kejayaan pulau ini sejak masa Belanda hingga Indonesia merdeka. Begitu banyak orang Buton yang menikmati kejayaan tambang aspal itu.

Namun itu dulu. Kini, cerita kejayaan tambang aspal itu menjadi nyanyi sunyi yang didongengkan pada anak kecil. Kini, tambang aspal itu menjadi fosil dan hanya meninggalkan jejak-jejak yang membisu. Hanya meninggalkan cerita dan tempat-tempat yang menjadi saksi kejayaan tambang itu. Hari ini, saya melihat mesin-mesin pengangkut aspal yang sudah berkarat karena tak pernah lagi digunakan. Pelabuhan yang tak terurus serta timbunan aspal yang tak tahu hendak dibawa ke mana.

“Dulunya, pelabuhan ini penuh dengan kapal tongkang dari berbagai negara. Kami capek setiap saat menerima order memasukkan aspal ke kapal tersebut, “kata seorang buruh PT Sarana Karya, perusahaan yang mengelola tambang tersebut. Buruh tersebut hanya punya lapis-lapis kenangan yang dikisahkan kepada mereka yang singgah. Ia juga bercerita kalau setiap tahun baru, maka perusahaan akan mengundang artis ibukota untuk tampil menghibur warga Pasarwajo. Suasananya demikian meriah sebab tambang juga banyak mengucurkan dana bagi warga sekitar sebagai bentuk kepedulian pada warga.

Apakah semuanya masih punya jejak? Buruh yang menemaniku lalu menunjukkan fasilitas perusahaan tambang tersebut ketika masih berjaya. Mulai dari lapangan tenis yang mewah untuk ukuran tahun 1970-an, gedung aula yang megah, serta bangunan perumahan karyawan yang banyak dan berjajar rapi. Kini, semua bangunan itu masih berdiri tegak, meskipun dengan cat yang terkelupas di sana-sini, dengan kondisi yang sungguh memprihatinkan, seperti melihat raut wajah seorang tua yang sedang menunggu ajal. Beberapa bangunan yang ada di situ, perlahan ditempati pihak Pemda Buton yang baru beberapa tahun dimekarkan, mulai dari rumah sakit hingga perumahan warga. Bahkan bangunan induk PT Sarana Karya juga ditempati aparat pemda untuk berkantor. Situasi tambang itu sungguh memprihatinkan dan seakan tak bisa berbuat apa-apa.

Jika tambang timah di Bangka bangkrut karena kandungan timahnya habis, tidak demikian dengan tambang aspal yang ada di Pasarwajo. Aspal di situ tetap melimpah, namun kalah bersaing dengan penjualan aspal minyak yang kemudian merajai pasar aspal. Di saat pemerintah tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan tambang, maka nasib ribuan karyawan di situ menjadi pertaruhan. Mereka akhirnya harus rela mengurut dada karena situasi zaman yang berubah drastis. Apa boleh buat. Mereka hanya bisa pasrah dan hanya menyisakan cerita lirih tentang masa lalu yang jaya.(*)

Pulau Buton, 20 Agustus 2008


0 komentar:

Posting Komentar