Mamaku yang Selalu Sendirian


SAYA selalu sedih setiap melihat mamaku. Ia kian sepuh dan perlahan memasuki masa usia senja. Usianya kian menua, rambutnya kian memutih, kulitnya kian keriput, langkahnya kian tertatih-tatih dan sesekali ia terjatuh. Setiap kali saya tanya apakah ia baru saja terjatuh, ia selalu berbohong dan meyakinkanku bahwa ia masih kuat. Ia selalu ingin tampil perkasa di hadapanku sebagai anaknya. Padahal, saya tahu bahwa dia sering terjatuh.

Ia juga sering sakit-sakitan, sebuah kenyataan yang paling sering ditutupinya. Di saat anaknya menelepon, ia selalu mengaku sehat. Mungkin, ia paham bahwa anak-anaknya –yang bekerja di kota lain-- hanya bisa khawatir dari jauh, tanpa ikhtiar besar untuk mendatanginya. Ia tak mau banyak orang khawatir dengan dirinya. Meskipun untuk itu, ia harus menahan sakit.

Hari-harinya diisi dengan kegiatan yang kian monoton dan membosankan. Memang, mamaku masih mengajar sebagai guru Sekolah Dasar (SD). Namun, saya tahu bahwa ia mulai kepayahan berjalan sejauh sekitar tiga kilometer untuk menjangkau sekolah tempatnya mengajar. Kegiatan mengajar itulah yang mewarnai hari-harinya. Di saat tidak mengajar, ia lebih banyak di rumah dan tidak melakukan banyak hal selain dari sembahyang, mengaji, berbincang-bincang, atau bermain game soliter di komputer rumahku. Kegiatan itu mulai membosankan baginya.

Di saat saya pulang kampung, mamaku akan sangat senang. Inilah sebab mengapa saya selalu pulang. Kepulanganku adalah bahagia besar baginya sebab saya akan menjadi kakinya untuk menjangkau banyak tempat. Motor kakakku yang disimpan di rumah menjadi kendaraanku untuk mengantarnya ke mana-mana, ke tempat-tempat yang tak lagi bisa dijangkaunya. Awalnya ia menolak untuk jalan-jalan, tetapi belakangan ini ia jadi hobi keliling-keliling. Di saat jam mengajarnya usai, ia akan menelepon dan memintaku untuk mengantarnya ke pasar kemudian berlama-lama belanja dan membiarkanku menunggu. Meski melarangku mengikutinya, saya akan selalu berjalan di sampingnya. Saya takut kalau-kalau ia terjatuh sampai-sampai saya harus selalu memegang tangannya.

Mamaku adalah potret dari perempuan paling perkasa yang pernah saya saksikan di muka bumi ini. Di saat bapakku meninggal, ia mengambil alih tanggung jawab keluarga dan menyekolahkanku bersama tiga saudaraku hingga menjadi sarjana. Ia tak pernah mengeluh tatkala kami sering meminta duit untuk keperluan kuliah. Anehnya, ia tak pernah kehabisan uang untuk kami. Menjelang lulus kuliah, saya baru tahu kalau ternyata hari-harinya begitu berat. Ia menjual es, kedondong, hingga kadang-kadang menjual pisang goreng. Semua itu dilakukannya demi mencukupi kirimannnya kepada kami. Ah, mamaku memang luar biasa.

Sekarang, bebannya telah berkurang. Mestinya ia bisa lebih bahagia. Tetapi, selalu saja ada sedih yang menggelayut di hatinya. Ia selalu sendirian menjalani hari-hari. Ternyata, niat untuk menyekolahkan anaknya jauh-jauh ke Kota Makassar, adalah bumerang baginya. Ketika anaknya sudah lulus, semuanya bekerja di kota lain kemudian menikah sehingga meninggalkannya seorang diri. Mulailah mamaku menjalani hari-hari yang sepi. Meskipun ada dua mahasiswa asal kampung mamaku yang tinggal di rumahku, tetap saja tidak membuat sepinya menjadi buyar. Saat ini, dua mahasiswa itu sedang pulang kampung. Adikku datang dari kota lain untuk menemani mama dan suaminya selama beberapa hari. Andaikan saya tidak pulang kampung, barangkali mamaku akan kembali sepi. Bayangkan, betapa beratnya menjalani hari seorang diri. Tinggal di sebuah rumah besar dan tanpa berbincang dengan seorangpun. Itulah mamaku.

Kadang-kadang saya berpikir, mungkin ini adalah problem dari masyarakat moderen. Masyarakat moderen tumbuh dari mimpi-mimpi kemajuan sehingga menafikan hal-hal kecil semisal kumpul bersama keluarga dan berbahagia. Masyarakat modern tumbuh dalam tradisi individualisme yang ketat, sehingga ketika seseorang menikah, maka ia seolah memasuki dunia individual yang baru, tanpa melibatkan yang lain. Pada masyarakat tradisional, kumpul bersama adalah sebuah kebutuhan sehingga masing-masing bisa berbagi cerita, meskipun dalam kebersahajaan. Saya pernah melihat Rumah Panjang milik orang Dayak yang ditinggali sampai sekian generasi keluarga. Mulai dari nenek buyut hingga cicit, semuanya tinggal dalam satu rumah panjang. Mereka memang tidak punya mimpi besar akan kemajuan, kemasyhuran atau kekayaan. Mereka hidup seperti air yang mengalir di Sungai Barito, seakan tanpa hasrat besar dan pretensi. Namun, berkat hidup tanpa mimpi itu, hari-hari mereka kian bervariasi dan berwarna-warni. Mereka bahagia dalam kebersamaannya. Semua masalah dihadapi secara bersama-sama sekaligus mempertahankan keutuhan kelompok keluarganya. Ternyata, manusia tradisional lebih pandai mengelola hidup dengan pembagian peran yang jelas, mulai dari orang tua hingga anak muda.

Masalah besar bagi masyarakat modern adalah bagaimana memposisikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tidak adilnya situasi sekarang bagi mamaku. Di saat semua anaknya sudah berhasil dan menjadi orang sukses, satu demi satu akan meninggalkannya, kemudian menikah dan berdomisili di kota lain. Memang, beberapa saudaraku kerap mengirimkan uang untuknya. Namun, saya tahu persis bahwa mamaku tidak terlalu butuh uang. Ia hanya butuh teman berdiskusi untuk banyak hal. Ia hanya butuh kesediaan untuk menemaninya berbagi hal. Ia butuh seseorang yang bisa menemaninya di kala sedang sakit atau sekedar minta tolong mengambilkan air.

Tapi bukankah situasi hari ini adalah akibat dari mimpi yang pernah ia tanamkan? Mungkin juga. Sebab keluargaku telah lama terseret arus manusia modern yang punya mimpi-mimpi kemajuan. Mamaku juga punya keinginan melihat kami bisa sukses di abad modern dan membekali kami dengan piranti pengetahuan agar kami bisa survive. Kami disekolahkan hingga jauh ke kota lain. Siapa sangka, semua anaknya kemudian bekerja di kota lain hingga kehilangan romantisme tinggal bersama ibu dan menjalani hari bersama-sama. Kami anak-anaknya kehilangan romantisme ketika dimarahi dan disayangi seorang ibu, romantisme ketika menjalani hari bersama ibu yang mengayomi. Kamilah generasi moderen dengan nilai tradisional yang semakin tergerus. Mamaku perlahan menua, tanpa dikelilingi semua anaknya. Barangkali, ia tak pernah mengecap apa yang dinamakan sebagai bahagia.

Yup. Saya sering bertanya-tanya, kapan mamaku merasakan bahagia? Saya tak tahu. Masa mudanya adalah masa yang berat karena harus jadi pembantu di rumah seseorang biar bisa tinggal di situ dan bersekolah. Masa bahagia bersama bapakku tak terlalu lama usianya. Ia tak sempat melihat rambut bapakku yang memutih. Di saat bapakku dipanggil Allah, ia harus banting tulang demi membiayai sekolah kami. Lantas, kapankah mamaku bahagia? Apakah di saat semua anaknya sudah berhasil dan punya pekerjaan yang layak?

Ternyata tidak juga. Ia tetap sepi. Ketika semua anaknya lulus kuliah dan bekerja, ia ditinggalkan sendirian di rumah. Pada setiap kepulanganku ke kampung, saya selalu merasa jadi anak durhaka. Satu-satunya yang dimiliki dan dibanggakan mamaku adalah cerita tentang perjuangannya menyekolahkan anak hingga berhasil. Di saat menceritakan itu, ia sangat bahagia. Namun seberapa banyak orang yang peduli dengan kisah itu? Entah. Hal lain yang membuatnya tersenyum adalah ketika anaknya menelpon. Untuk sesaat, ia merasa bahagia hingga menjadi mantra dan motivasi yang menyembuhkan penyakit yang sedang dideranya. Ia memang sering sakit. Bayangkan, betapa berat hari-harinya ketika sedang sakit dan sendirian di rumah. Saat ini, yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bisa menemaninya menjalani hari. Yang dibutuhkannya hanyalah seseorang yang bisa diajaknya bercakap sekaligus bertukar-pikiran tentang banyak hal. Ia hanya butuh teman yang menemaninya di rumah itu dan menemaninya membunuh sepi. Dalam beberapa kali pembicaraan, ia suka bernostalgia dan mengisahkan masa ketika bapakku masih hidup atau saat ketika kami masih kecil. Menurut mamaku, itulah saat yang paling bahagia sebab kami semua kumpul dan besar di rumah yang sama. Ketika kami mulai merantau dan sekolah, ternyata itu adalah awal dari kisah kesendiriannya.

Barangkali, ia hanya butuh celoteh anak kecil di usia tuanya.Ya. Mestinya rumah kami ramai dengan celoteh anak kecil. Itulah satu-satunya hal yang dirindukannya. Ia memang punya dua orang cucu yang setiap hari dirinduinya. Semua cerita tentang cucunya dihafalnya di luar kepala sampai-sampai ia selalu mengisahkannya pada siapapun yang mengunjungi rumahku. Foto cucu itu dipampang dalam pose besar di ruang tengah rumahku, dan dipandanginya ketika sedang sedih. Memang, satu-satunya pembicaraan yang bisa membuat matanya berbinar adalah pembicaraan tentang cucu. Sayangnya, cucunya itu tumbuh besar di kota lain. Ia hanya memiliki imaji dan khayalan bahwa ada anak kecil yang datang menyapanya untuk meminta uang, atau minta diantar ke satu tempat. Beberapa kali ia menceritakan seorang temannya yang sangat senang karena setiap hari mengurusi seorang cucu. Mamaku ingin seperti temannya yaitu menjadi nenek yang setiap saat melihat cucu tumbuh besar. Untuk cucu itu, ia siap melakukan apapun.

Saya tahu pasti tentang itu. Pernah, saya menyaksikan lomba sepeda hias bagi anak TK di kampungku. Saat itu, saya melihat banyak nenek yang ikut masuk jalan raya dan memegang sepeda cucunya. Meskipun sudah dilarang, namun para nenek itu tetap bersikukuh untuk menemani cucunya bersepeda. Saat saya menceritakan itu, mamaku langsung bersemangat. Ia langsung mengatakan,”Andaikan saya juga punya cucu di sini, pasti saya akan temani juga. Saya tak mau cucuku kepanasan dan kepayahan bersepeda.” Saya lalu menimpali, bagaimana kalau mama juga tertatih-tatih dan kesulitan berjalan? “Saya pasti kuat, demi cucuku,” katanya dengan sangat yakin. Ada nada kebanggaan ketika menyebut “cucuku”, meskipun sang cucu sangat jauh dari matanya.(*)

0 komentar:

Posting Komentar