HARI ini saya melintas di lapangan yang dulunya merupakan Stadion Betoambari Bau-Bau. Ternyata, di lapangan itu sedang digelar perkemahan besar dan menghadirkan banyak anggota Pramuka se-Kota Bau-Bau. Ratusan anggota Pramuka baik SD, SMP, maupun SMA berkemah selama tiga hari di situ. Mereka tampak riang gembira dan menikmati suasana itu seperti sebuah petualangan baru, bertemu teman baru, hingga bersenang-senang.
Saya pernah merasakan bagaimana perasaan mereka. Masa-masa itu sangatlah menyenangkan sebab hasrat petualangan kita seakan terpenuhi dengan mengikuti ajang tersebut. Jiwa kita yang hendak melanglangbuana tiba-tiba menemukan medan penjelajahan baru. Apa sih yang paling menyangkan bagi seorang remaja kecuali bertemu tantangdan dan keasyikan baru. Saat melintas, saya sempat menghentikan motor dan menyaksikan mereka yang sedang tertawa-tawa gembira. Begitu banyak tenda berdiri dengan beragam aksesoris, mulai dari tempat memasak, bendera, hingga menara. Tiba-tiba, saya menyaksikan tenda yang di depannya ada papan bertuliskan “Gudep Mardhana Ali, SDN Puma”. Depan tenda SD Gonda, saya lihat papan bertuliskan “Gudep Oputa Yi Koo”. Lain lagi di depan tenda dari Madrasah Tsanawiyah, saya menyaksikan papan bertuliskan “Gudep Sayid Abdul Wahid.” Saya banyak menemukan simbol nanas. Malah, saya menyaksikan replika patung naga yang sangat besar terdapat di sudut lapangan, dekat satu tenda.
Bagi mereka yang tak paham sejarah dan kebudayaan lokal, mereka akan melihat simbol itu dengan tatap kebingungan. Namun mereka yang riset emik dan live in (menyatu) dalam masyarakat Buton, pasti memahami bahwa kebudayaan sedang beroperasi dalam pikiran mereka yang remaja itu. Pasti orang akan memahami bahwa ada konsep-konsep kultural yang mengorganisasikan pikiran dan menjadi kompas yang mempengaruhi tindakan di masa kini.
Saya bisa paham kenapa siswa di Puma (singkatan dari Pulau Makassar atau daerah Liwuto, pulau kecil depan Pulau Buton) memasang nama Mardhana Ali. Mereka mengidolakan sosok Mardhan Ali, yang merupakan seorang Sultan Buton yang dijerat perairan dekat kampung mereka. Mardhana Ali dituduh selingkuh dan melabrak norma ksultanan, namun bagi orang Puma itu hanya fitnah atas ketampanan, popularitas dan kesaktian Mardhana Ali, yang disapa La Cila. Lain lagi dengan siwa di Gonda. Nama Oputa Yi Koo masih menjadi pahlawan sebab sultan –yang nama kecilnya adalah La Karambau— memiliki istri yang berasal dari Wakokili, yang terletak tak jauh dari Gonda. Mereka bangga karena Oputa Yi Koo adalah seorang hero yang tumbuh dari kebudayaan mereka yang kemudian menjelma menjadi role model bagi kehidupan mereka di hari ini. Seorang sultan yang hidup tahun 1600, memiliki magis yang melintasi zaman hingga masa ketika sejumlah remaja melakukan perkemahan di lapangan pada tahun 2008.(*)
Saya pernah merasakan bagaimana perasaan mereka. Masa-masa itu sangatlah menyenangkan sebab hasrat petualangan kita seakan terpenuhi dengan mengikuti ajang tersebut. Jiwa kita yang hendak melanglangbuana tiba-tiba menemukan medan penjelajahan baru. Apa sih yang paling menyangkan bagi seorang remaja kecuali bertemu tantangdan dan keasyikan baru. Saat melintas, saya sempat menghentikan motor dan menyaksikan mereka yang sedang tertawa-tawa gembira. Begitu banyak tenda berdiri dengan beragam aksesoris, mulai dari tempat memasak, bendera, hingga menara. Tiba-tiba, saya menyaksikan tenda yang di depannya ada papan bertuliskan “Gudep Mardhana Ali, SDN Puma”. Depan tenda SD Gonda, saya lihat papan bertuliskan “Gudep Oputa Yi Koo”. Lain lagi di depan tenda dari Madrasah Tsanawiyah, saya menyaksikan papan bertuliskan “Gudep Sayid Abdul Wahid.” Saya banyak menemukan simbol nanas. Malah, saya menyaksikan replika patung naga yang sangat besar terdapat di sudut lapangan, dekat satu tenda.
Bagi mereka yang tak paham sejarah dan kebudayaan lokal, mereka akan melihat simbol itu dengan tatap kebingungan. Namun mereka yang riset emik dan live in (menyatu) dalam masyarakat Buton, pasti memahami bahwa kebudayaan sedang beroperasi dalam pikiran mereka yang remaja itu. Pasti orang akan memahami bahwa ada konsep-konsep kultural yang mengorganisasikan pikiran dan menjadi kompas yang mempengaruhi tindakan di masa kini.
Saya bisa paham kenapa siswa di Puma (singkatan dari Pulau Makassar atau daerah Liwuto, pulau kecil depan Pulau Buton) memasang nama Mardhana Ali. Mereka mengidolakan sosok Mardhan Ali, yang merupakan seorang Sultan Buton yang dijerat perairan dekat kampung mereka. Mardhana Ali dituduh selingkuh dan melabrak norma ksultanan, namun bagi orang Puma itu hanya fitnah atas ketampanan, popularitas dan kesaktian Mardhana Ali, yang disapa La Cila. Lain lagi dengan siwa di Gonda. Nama Oputa Yi Koo masih menjadi pahlawan sebab sultan –yang nama kecilnya adalah La Karambau— memiliki istri yang berasal dari Wakokili, yang terletak tak jauh dari Gonda. Mereka bangga karena Oputa Yi Koo adalah seorang hero yang tumbuh dari kebudayaan mereka yang kemudian menjelma menjadi role model bagi kehidupan mereka di hari ini. Seorang sultan yang hidup tahun 1600, memiliki magis yang melintasi zaman hingga masa ketika sejumlah remaja melakukan perkemahan di lapangan pada tahun 2008.(*)
Pulau Buton, 12 Agustus 2008
0 komentar:
Posting Komentar