LAMA juga saya tidak mengisi blog ini. Sudah hampir tiga minggu saya berada di Kota Makassar, demi menuntaskan kerinduanku pada setiap inchi memori yang tertata rapi di kampus ini. Meskipun saya pernah tinggal di kota ini sudah cukup lama, namun kedatanganku kali ini masih saja menghadirkan keterkejutan saat menyaksikan fisik kota yang terus berubah. Saya suka kaget melihat banyak hal yang baru dan meriah, khususnya di Tamalanrea. Dan di saat bersamaan, saya selalu rindu dengan angan-angan masa silam, masa silam yang sunyi senyap, namun romantis..
Dulunya, kampus Unhas yang terletak di kawasan Tamalanrea merupakan kawasan pendidikan yang sunyi. Pusat kota Makassar hanya sampai di Tello, sekitar tiga kilometer dari Tamalanrea. Jika naik kenderaan umum (pete-pete) dari Pasar Sentral, memasuki Tello maka jalanan sudah sunyi senyap. Dan di kiri kanan, pemandangan yang tampak hanyalah padang alang-alang dan rumput. Memang, ada satu atau dua bangunan seperti kampus UIM (dulunya merupakan kampus STP AL Ghazali), namun bangunan itu tidak banyak sehingga tak banyak pemandangan gedung atau rumah hingga mencapai kampus Unhas.
Saya cukup lama tinggal di kawasan pondokan di Jl Perintis Kemerdekaan 8. Jalan ini terletak di depan kantor Dinas Pendidikan (dulunya bernama Depdikbud) atau tepatnya di jalan menuju perumahan dosen Unhas. Saya tinggal bersama kakakku pada pondokan yang diberi nama nama Pondok King. Di depannya ada pondok putri yangbernama Pondok Kong. Sementara di samping pondokku, ada pondokan putra bernama Pondok Kreatif. Hampir semua pondokan di kawasan itu, memiliki nama-nama yang unik. Mungkin ini adalah cara agar nama pondok itu lebih mudah diingat.
Pada malam hari, di kawasan tempat tinggalku masih kerap terdengar bunyi katak yang menggerung serta desir angin yang melintas di sela-sela dedaunan. Ketika hari beranjak malam, saya kadang diselimuti ketakutan. Rerimbunan pohon dengan daun yang rapat, serta jarak pondokan yang jauh dari jalan raya, telah menambah derajat kekhawatiranku jika terpaksa harus meninggalkan rumah. Masyarakat sekitar kampus, masih percaya dengan mitos seperti setan atau hantu --yang konon katanya-- selalu mengitari kawasan sekitar kampus demi menakut-nakuti semua warga. Bagi saya, semua ingatan itu sungguh romantis dan meninggalkan kesan yang dalam.
Di tengah suasana malam yang gelap itu, saya melewati hari sebagai mahasiswa. Saat ke kampus, saya kadang-kadang jalan kaki dan “memotong jalan” melalui Kantor Diknas. Dulunya, kantor diknas tidak dipagari tembok sehingga jika lewat di sampingnya hingga ke belakang, kita bisa langsung smpai di danau Unhas. Nah, di danau itu, dulunya ada jembatan yang melewati danau dan menghubungkan gedung GPA dengan kantor diknas.
Dulunya, wartel hanya ada satu yaitu Wartel Jayanti. Kalau tak salah, jumlah teleponnya hanya sekitar 10 buah. Di malam hari, wartel ini sungguh ramai. Sebagian besar warga pondokan datang ke wartel ini demi menggunakan fasilitas telepon. Pada jam 22.00 wita, keramaian di wartel mencapai puncaknya, sampai-sampai banyak yang ngantri pada kursi yang lebih banyak tidak muatnya.
Kini, semua itu tinggal kenangan. Kampus Unhas sudah rimbun dengan berbagai rumah toko (ruko) serta menjelma menjadi kawasan bisnis baru. Jumlah 26 ribu civitas academica, ternyata dilihat sebagai peluang bisnis oleh sejumlah investor sehingga perubahan bergerak bagaikan seseorang yang sedang berlari. Tamalanrea secara perlahan telah bergegas menjadi kawasan komersial. Barisan etelase bisnis seakan memaksa semua mahasiswa dan civitas academica agar menjadi kaum konsumtif yang setiap harinya selalu mencari pemenuhan hasrat konsumtif. Sekeliling kampus sudah tidak sunyi seperti dulu. Tidak lagi terdengar suara katak yang menguak di tengah pekatnya malam. Kawasan ini sudah hingar-bingar dan bising dengan deru kenderaan. Saya merasa kehilangan.(*)
20 Juni 2008
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
Arsip Blog
-
▼
2008
(159)
-
▼
Juni
(13)
- Dunia Aktivis, Dunia Kebohongan
- Sandra Dewi, Cantik, Putih dan Ohhhhh…..
- Sejarah Lahirnya Kota Bau-Bau
- Mamaku Datang ke Makassar
- Terpaksa Harus Menolak Pekerjaan
- Ely, Ketampanan, dan Tubuh Berbulu
- Anarkisme dan Imajinasi Kolektif Mahasiswa Indonesia
- Orang Buton dan Bius Semangat Eropa
- Misteri Tongkat Bung Karno
- Ilmuwan Sosial yang Hanya Bisa Memamah Biak Teori
- Menghapus Sedih di Wajah Van Basten
- Beratnya Menanggung Beban Kultural
- Sekeping Ingatan di Kampus Unhas
-
▼
Juni
(13)
0 komentar:
Posting Komentar