Ilmuwan Sosial yang Hanya Bisa Memamah Biak Teori

TADI siang, saya mengikuti sidang seminar salah seorang pengajar yang hendak menjadi doktor. Menurutku, presentasinya tidak begitu menarik sebab di sana-sini terjadi pengulangan ide (redundancy). Meskipun risetnya diniatkan kualitatif, namun observasi partisipatoris serta depth interview hanya disinggung sambil lalu. Beliau lebih banyak memaparkan tinjuan pustaka serta penguasaannya pada berbagai teori sosial.

Saya tidak begitu antusias mengikuti presentasinya. Tak begitu menarik. Saya melihat ada yang salah terhadap logika dan cara berpikir kebanyakan ilmuwan Indonesia. Kebanyakan mereka hanya berpikir dari umum ke khusus, tanpa mengamati realitas dengan baik kemudian menemukan pola-pola, dan selanjutnya mengkonstruksi sebuah teori. Maksudnya adalah mereka selalu memulai tulisan dari gambaran yang sifatnya makro, kemudian melihat hal yang mikro. Ini kan, sama saja dengan memaksakan suatu teori pada kenyataan. Seolah-olah riset hanya bertujuan untuk menguatkan atau menunjukkan cacat sebuah perangkat teoritis.

Apakah ada yang salah dengan cara berpikir demikian? Tak ada salahnya. Namun, cara berpikir ini punya implikasi yang cukup serius. Pertama, dengan banyak mengutip teks dan teori asing, maka ilmuwan sosial kita hanya menjadi “pemamahbiak” dari berbagai teori asing, tanpa membangun karakter sendiri. Maksudnya adalah mereka hanya menjadi pengutip sejati, tanpa membangun hipotesis teoritik yang bisa menjelaskan realias. Lagian, ini kan cara berpikir yang otoritarian yang sangat angkuh pada suara subyek penelitian yang sudah dibungkam hingga voiceless. Kedua, mereka justru memaksakan realitas sesuai dengan teori. Seorang peneliti tidak lagi setia dengan disiplin ilmiah atau intellectual curiosity, namun lebih percaya teori ketimbang merasakan langsung denyut nadi sebuah realitas. Ketiga, cara berpikir demikian membuat posisi peneliti sedemikian otoritatif sehingga peneliti menjadi mahluk yang paling sakti dalam menjelaskan satu kenyataan social. Dalam skala yang lebih jauh, peneliti seakan membisukan realitas yang sesungguhnya. Yang terjadi kemudian adalah sebuah hubungan yang otoritarian. Peneliti seolah menaklukan realitas dengan kuasa pengetahuannya.

Masih banyak celah yang saya lihat. Tapi, saya capek dan mau tidur. Zzz…zzz…

0 komentar:

Posting Komentar