Anarkisme dan Imajinasi Kolektif Mahasiswa Indonesia

MAHASISWA kembali mengamuk. Jakarta seolah lumpuh total dan macet di mana-mana. Mahasiswa mengepung gedung DPR kemudian berusaha menghancurkan pagar pembatas. Mereka menerjang dan membakar beberapa mobil berpelat merah yang melintas, kemudian bersorak-sorak dan meneriakkan kalimat “hidup rakyat”. Mereka tidak sedang berdemonstrasi. Mereka sedang melawan rezim melalui teriakan dengan tangan terkepal sambil mengenakan kaos bergambar Che Guevara dan lagu-lagu revolusi. “Hanya ada satu kata… LAWAN!!!!!”

Puluhan tahun negeri ini berdiri, namun teriakan ketidakpuasan selalu saja berkumandang. Hingar-bingar perlawanan tak pernah berakhir seiring dengan menjamurnya pengemis yang menadahkan tangan di jalan-jalan dan tangisan lirih orang-orang yang tak sanggup membeli sesuap nasi. ementara penguasa negeri ini selalu saja berdalih kalau apa yang mereka lakukan adalah demi kepentingan rakyat, namun siapa sih sebenarnya rakyat yang mereka wakili? Apakah sejumlah orang kaya di partai politik? Ataukah kroni bisnis yang berharap dapat keuntungan ekonomi karena kedekatannya dengan pejabat?

Anak-anak muda yang sedang mengamuk itu sedang dilanda frustasi. Mereka ingin meninju tembok dengan tangan yang berdarah-darah. Mereka stress karena demonstrasi sudah tidak mampu menggelitik perhatian pemerintah untuk segera berpaling dan merendahkan hati untuk melihat jerit rakyat yang ekonominya semakin terhimpit. Di negeri ini, demonstrasi adalah teriak ramai yang ditanggapi sebagai nyanyi sunyi. Penguasa seakan tebal kuping dan tidak perduli. Meskipun di berbagai penjuru negeri rakyat bunuh diri secara massal, belum tentu kaum penguasa akan berpaling untuk sekedar melirik. Makanya, demonstrasi seolah hanya teriak-teriak yang tidak perlu. Sekali lagi, penguasa masih tebal kuping!!!

Mereka yang masih muda itu menyangka kekerasan adalah salah satu jalan keluar. Ketika demonstrasi tak digubris, maka kekerasan adalah bahasa universal yang sanggup menembus segala lapisan social. Mereka berharap semua orang akan berpaling dan memandang kekerasan yang mereka lakukan, kemudian mencari tahu apa yang sesungguhnya mereka teriakkan. “Maka biarkanlah seluruh anak negeri ini mendengar teriakan kami. Biarkanlah seluruh anak negeri ini merasakan perih yang kami rasakan. Kami tak akan henti berteriak hingga keadilan benar hadir di muka bumi ini.”

Saya mendengar teriakan itu dari seorang demosntran melalui televisi. Teriakannya sangat heroik, namun dampaknya bisa jadi sangat mengerikan. Seakan-akan revolusi akan segera memangsa anak-anaknya sendiri. Saya bisa memahami gejolak samudera semangat mereka. Namun, saya tak pernah bisa memahami mengapa mobil harus dibakar, mengapa jalanan harus maacet, mengapa harus berkelahi dengan polisi. Namun, segalanya terjadi dengan cepat. Seolah-olah, kekerasan adalah bumbu penting dalam meracik demonstrasi. Seolah-olah sebuah demonstrasi harus “heboh” dan bisa membuat semua orang terbelalak kemudian ikut bergerak bersama mahasiswa.

Anak-anak muda itu tengah dibakar angan-angan untuk melakukan revolusi. Mereka memang tidak pernah menyaksikan revolusi Cina yang terkenal dengan strategi desa mengepung kota. Mereka juga tidak pernah menyaksikan bagaimana Rusia bergolak karena pidato yang membara dari Lenin, mereka tak juga menyaksikan ribuan massa yang bergerak bagai air bah ketika Khomeini menggerakkan revolusi

Namun, anak muda itu dibimbing semacam imajinasi yang membuatnya seolah berada di ruang sejarah dan menyaksikan Khomeini atau Lenin tengah berteriak membakar massa. Boleh jadi, mereka yang muda itu pernah membaca baris perlawanan dari Soekarno hingga Karl Marx yang punya kekuatan “membakar” semangat. Mereka dibimbing oleh sebuah imajinasi atau angan-angan untuk segera merubuhkan tatanan melalui revolusi.

Istilah imajinasi atau angan-angan kolektif dijelaskan Appadutai sebagai sesuatu yang sifatnya lintas Negara dan bangsa. Imajinasi bias lahir dari mana saja, mulai dari pamphlet politik, maupun dari iklan sabun colek di pinggir jalan. Hampir semua manusia bergerak karena dibimbing oleh imajinasi tersebut. Ketika penguasa berimajinasi tentang kestabilan dan situasi tenang dan tanpa konflik, namun mereka yang muda itu juga dibimbing oleh imajinasi ketidakstablian dan penghancuran tatanan yang rusak. Semua sama digerakkan oleh imajinasi .....

BELUM SELESAI (Saya keburu ngantuk....)


1 komentar:

Anonim mengatakan...

ya.. mau bgmn lg, setiap usaha itu ber-fase.
sa kira inilah saat dimana nyala api, akan membuka jalan bg lahirnya solusi, semoga.
kaum korup yg bersekutu dgn kaum Tiran di Indonesia, hanya skali hanya akan bsa, ditumbangkan dgn perlawanan tanpa ampun, sekaranglah saat memulai..

Posting Komentar