Sandra Dewi, Cantik, Putih dan Ohhhhh…..



HANYA ada beberapa kata untuk mengatakan artis Sandra Dewi yang tengah naik daun. Ia cantik, putih, genit, aduhai, dan ohhh…… Kata-kata terlalu miskin untuk menggambarkan cantiknya. Setiap kerling dan senyumnya langsung menghadirkan desir aneh dalam diriku. Setiap kali ia menangis, saya tiba-tiba ikut geram dan ingin menjadi hero dan melawan lelaki jahat yang membuatnya demikian. Dan setiap bahagia, selalu saja ada rasa aneh yang menjalari hatiku hingga kian betah menyaksikannya berlama-lama.

Busyettt!!! Apakah saya jatuh cinta padanya? Entahlah. Belakangan ini, saya kelewat sering menyaksikannya tampil di televisi. Saya bisa puyeng dan mabuk cinta. Bagiku, Sandra Dewi punya kecantikan yang khas sebagaimana anak negeri. Di banding banyak artis lainnya yang separuh Eropa dan kalau berbicara dicampur dengan aksen asing (misalnya kalau menyebut kata becek dengan beychek), maka Sandra justru sangat Indonesia. Memang, ia punya wajah oriental atau kecina-cinaan. Tapi, bukankah wajah seperti itu sudah ada dalam khasanah kultural bangsa ini sejak lama dan didengungkan dalam berbagai teks kuno? Bahkan lontara atau kitab kuno orang Bugis –yang terbuat dari daun lontar-- menyebut kata cantik dengan kata mattappa cina atau berwajah seperti orang Cina. Artinya, wajah itu sangat khas dan bersifat kultural dan sejak dulu sudah menjadi khasanah kekayaan negeri ini.

Ditambah dengan fakta bahwa ia berasal dari Pangka Pinang, di dekat kota Palembang. Palembang adalah pemukiman yang didirikan orang Cina dan berasal dari kata Po Lim Pang yang –kalau tak salah—dibangun oleh murid Laksamana Cheng Ho. Apalagi, ia berasal dari latar keluarga yang secara ekonomi termasuk golongan menengah ke bawah yang datang ke Jakarta demi mencari peruntungan nasib. Dengan berbagai fakta tersebut, kian bertambah rasa simpatiku pada Sandra Dewi.

Mungkin saya agak berlebihan. Mungkin saya sudah menjadi korban media yang dengan sukses telah menanamkan imaji terhadap seseorang. Cara berpikir dan kesukaan saya pada sesuatu telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga saya ikut larut di dalamnya. Saya tahu bahwa Sandra Dewi itu produk televisi dan media massa, namun saya merasa suka dan senang memandang wajahnya. Saya tahu bahwa semua teori cultural studies akan mencibir dengan tindakan saya ini, namun rasa-rasanya saya lebih memilih berkubang dengan efek media ini ketimbang spekulasi akademis yang hanya bisa bikin pusing. Media memang mengkonstruksi sesuatu, namun saya justru merasa happy dengan konstruksi kultural tersebut.

Meskipun saya tahu bahwa besok lusa, akan hilang rasa suka pada Sandra Dewi. Kelak Sandra akan terhempas oleh artis-artis baru yang datang dengan wajah yang mungkin jauh lebih fresh dan muda. Inilah tabiat pasar yang bisa lembut pada seseorang, namun bisa juga sangat kejam. Sementara saya di sini, tetap senang dengan efek konstruksi kultural tersebut. Malah, saya merasa aneh dengan mereka yang mengusung gagasan media literacy atau melek media. Mereka kurang kerjaan dan tak mau membiarkan gelora hatinya mengalir. Gelora itu ditundukkan oleh spekulasi rasionalitas. Mereka tak tahu rasanya menjadi bahagia dan mengidolakan seseorang. Namun di tengah malam, saya suka berefleksi. Inikah yang disebut hegemoni?

Makassar, 27 Juni 2008


1 komentar:

Anonim mengatakan...

konstruksi kultural yang salah kaprah, kok yang kulitnya putih saja yang dianggap cantik, demikian pula dengan citra rambut lurus yang indah. Apakah yang hitam dan keriting itu jelek???
Bagaimana dengan orang-orang di Indonesia Timur (maluku, papua,ntt dsb)?? anda rupanya korban iklan di media

Posting Komentar