Orang Buton dan Bius Semangat Eropa

INI adalah gambar Sultan Buton pada awal tahun 1920-an. Bagi saya, foto ini bisa menjelaskan semangat zaman (zeitgeist) pada masa itu yang ditandai dengan ketakjuban pada segala hal yang datang dari Eropa. Periode ini adalah periode ketakjuban terhadap segala atribut yang dikenakan bangsa Belanda. Pertautan dengan modernisasi menyebabkan orang Buton mulai silau dengan kemajuan yang datang dari luar khususnya Eropa.

Foto ini menampilkan sultan yang begitu gagah mengenakan jas ala Eropa, dasi kupu-kupu beserta sepatu, sementara di kiri kanannya berjajar para petinggi Kesultanan Buton yang mengenakan pakaian adat (lihat sultan pada posisi keenam dari kiri). Jas serta dasi kupu-kupu itu menjadi simbol kebanggaan mengenakan pakaian seperti bangsa Eropa. Seakan-akan mengenakan pakaian tersebut adalah mengidentifikasikan diri sebagai bangsa yang lebih maju dan lebih berperadaban.

Busana dan atribut sultan yaitu balahadada seakan diabaikan ketika sultan lebih memilih mengenakan jas. Balahadada seakan menjadi tanda (ikon) dari tradisionalitas, sedangkan jas dan dasi kupu-kupu adalah tanda kemajuan. Ternyata dominasi bangsa asing tidak sekedar mengincar sumber daya alam (resource), melainkan juga membawa imperialisme kebudayaan ketika menjadikan bangsa barat sebagai kiblat kemajuan. Melalui tanda-tanda kemajuan itu, bangsa-bangsa lain harus ditaklukan dan selanjutnya harus memilih jalan sebagaimana yang ditempuh oleh barat. Bagi saya, foto itu bisa menjelaskan semangat zaman: bahwa pertautan dengan modernitas selalu saja mengakibatkan kekalahan bagi komunitas lokal dalam mempertahankan eksistensi kebudayaannya. Ketika bangsa Buton silau dengan berbagai atribut modernitas, maka segala sistem dan pranata nilai perlahan mulai mengabur sebab semua hendak bergerak mengejar nilai-nilai baru.

Sayangnya, adopsi nilai-nilai moderen itu hanya pada aspek life style (gaya hidup) dan tidak pada ranah intelektualitas. Di luar sejumlah karya sufistik dan keagamaan, hampir tak pernah tercatat sebuah prestasi besar di bidang sains atau ilmu pengetahuan moderen. Memang, orang Buton tak harus menjadi pihak yang kalah dalam dialektika dengan bangsa barat, namun setidaknya ada semacam upaya untuk menguasai semua sumber pengetahuan itu, kemudian disintesakan dengan segenap pengetahuan lokal sehingga pengetahuan lokal bisa berdialog secara terbuka. Yang terjadi kemudian adalah secara perlahan-lahan nilai ke-Buton-an memudar sebab berada pada posisi kalah dan digantikan dengan nilai baru yang kelihatan lebih mentereng. Persentuhan dengan modernisasi ini juga tidak diikuti dengan upaya mengadopsi berbagai aspek pendidikan moderen melalui upaya menyekolahkan banyak orang Buton ke luar daerah atau ke luar negeri.

Meskipun ada juga sedikit orang Buton yang menikmati keistimewaan disekolahkan ke luar negeri, namun ini tidak menjadi satu gerakan yang massif untuk menyekolahkan sebanyak-banyaknya orang Buton. Konsekuensinya adalah orang Buton tidak banyak “berbicara” di pentas nasional atau tidak banyak memberi kontribusi ketika terjadi peralihan secara perlahan-lahan dari masa Belanda, Jepang, hingga ke Republik Indonesia. Seakan-akan orang Buton hidup dalam satu ruang hampa sejarah, tanpa mengambil sikap dan peran pada berbagai kejadian besar di negeri ini. (*)


0 komentar:

Posting Komentar