Beratnya Menanggung Beban Kultural

SETIAP orang menanggung beban kultural untuk menjadi orang penting. Setiap orang menginginkan berada pada puncak tertinggi dari strata sosial masyarakat. Setiap orang menginginkan bisa berdiri di titik atas, kemudian memandang yang lain dengan pandang sebelah mata, atau memaksa yang lain untuk melayani sembari menjilati telapak kaki demi mendapatkan belas kasihan. Olehnya itu, banyak orang yang akan belajar dan berusaha keras demi menggapai titik yang selalu diidam-idamkan tersebut. Banyak orang yang menghabiskan masa muda untuk tumbuh di lembaga pendidikan dan berupaya melicinkan jalan menuju bahagia.

Sejak masih kecil, setiap orang Indonesia seakan memanggul harapan untuk menjadi orang terpandang dan sukses di mata masyarakat. Sejak kecil, seorang anak sudah diazani di telinga kanan agar kelak dirinya bisa menjalani hidup sesuai norma agama yang diyakini sebagai jalan yang lurus dan ideal dijalani. Kemudian pada umur seminggu dibuatlah acara aqiqah (potong rambut) dan kemudian datang banyak orang demi mendoakan keselamatan serta kemaslahatan. Setelah berumur lima tahun, digelarlah sunatan agar anak tersebut memahami akan nilai yang seharusnya dijalani. Semua nilai itu telah menjadi koridor penjara yang kadang harus dilewatinya dengan selamat, jika ingin mendapatkan respek dari dunia sosial.

Berbagai mitos dan dongeng yang dituturkan kepada anak kecil, kebanyakan bertemakan kisah para raja dan aristokrat yang menjadi penguasa dan beristrikan gadis cantik seperti bidadari. Semua orang ingin seperti raja-raja yang punya kastil besar serta didalamnya ada banyak pelayan yang siap menjalankan perintah, meskipun perintah itu disampaikan melalui petikan jari atau kedipan mata. Mitos dan dongeng selali mengisahkan mereka yang menjadi bangsawan serta dengan seenaknya memperbudak yang lain. Seolah-olah, itulah gambaran ideal yang harus dicapai seorang manusia. Mitos dan dongeng tersebut telah menjadi kompas dan navigasi seseorang untuk menggapai mimpi. Sayang, tak semua memiliki amunisi serta senjata yang sama untuk mengalahkan logika jaman.

Artinya, setiap orang adalah budak dari dunia sosial --yang dengan sewenang-wenang—telah mengkonstruksi apa yang baik dan tidak baik untuk dijalani. Dunia sosial itu jualah yang telah menyematkan harapan di bahu hampir semua anak Indonesia agar kelak anak tersebut bisa menjadikan harapan itu sebagai tujuan. Sejak kecil, hampir semua orang sesungguhnya sudah kehilangan kemerdekaan sebab pilihannya ke depan telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh dunia sosial. Ketika tindakan seseorang menjauh dari titik ideal itu, maka sejumlah instrumen normalisasi mulai dari prosedur hukuuman hingga sanksi dijatuhkan kepada orang tersebut sebagai tanda bahwa dirinya telah menyamping. Tanda bahwa dirinya telah liar dari tujuan sosial.

Tak hanya itu. Untuk mendisiplinkan segala prilaku manusia, dunia sosial kemudian membangun banyak infrastruktur dan mekanisme pendisplinan prilaku seperti sekolah, perpustakaan, hingga lembaga pendidikan. Semuanya menawarkan mimpi dan ilusi kemajuan. Seolah-olah, menghabiskan waktu di lembaga tersebut adalah langkah tepat untuk mendaki tangga impian. Namun apakah benar demikian? Saya kira tidak selalu benar. Tingginya fenomena bunuh diri dan stres di banyak tempat menjadi lonceng yang memberi tanda bahwa antara ekspektasi (pengharapan) dan pencapaian tidaklah selalu berjalan seiring. Antara pengharapan dan takdir pencapaian tidak selalu kompak dan saling mempengaruhi. Makanya, mereka yang tidak siap menghadapi kenyataan (realitas), harus siap-siap menuai kekecewaan. Dunia sosial tidaklah berjalan seperti logika Aladin yang mengusap lampu wasiat kemudian keluar jin yang mengabulkan semua permintaan. Tidak juga seperti Cinderella yang sabar menunggu peri dan menyihirnya menjadi putri istana.

Dunia sosial tidaklah demikian. Dunia sosial punya tabiat sendiri yang kadang sngat sukar dipahami. Dunia sosial meniscayakan kompetisi sehingga setiap orang harus melakukan berbagai cara demi keluar hidup-hidup dari arena kompetisi. Sebagaimana galibnya hukum alam, kompetisi selalu berujung pada logika menang dan kalah. Muistahil semuanya menjadi pemenang. Pada titik inilah kita bisa memaknai mengapa banyak orang yang jadi pecundang (looser).

Dalam berbagai kebudayaan, kesuksesan di ranah kompetisi dunia sosial menjadi indikator untuk membangun perbedaan status di masyarakat. Pelapisan sosial masyarakat kita, masih belum bisa keluar dari dua kategori yaitu logika oposisi biner kaya dan miskin atau bangsawan dan rakyat jelata. Status kaya atau kebangsawanan (ningrat) adalah kategori yang bersifat genetis atau turun-temurun. Seseorang yang terlahir di tengah keluarga bangsawan, tak membutuhkan upaya dan kerja keras untuk menyandang status bangsawan tersebut. Sedangkan kepemilikan material terkait seberapa banyak kekayaan yang dimiliki seseorang. Meski seseorang bukan bangsawan, namun kekayaan yang banyak akan menempatkan dirinya pada posisi yang istimewa di masyarakat.

Seiring dengan gerak zaman dan leburnya berbagai otoritas tradisional, status ningrat itu seakan menabur pada masyarakat tertentu. Seorang pejabat, tiba-tiba menjelma menjadi bangsawan baru yang menuntut penghormatan berlebih. Yah, seperti itulah kecenderungan pelapisan sosial masyarakat kita. Jika bukan hal yang bersifat genetis atau turun-temurun, maka tentunya faktor kekayaan. Begitu kasihannya masyarakat kita. Sejak kecil, sebagian besar dari mereka sudah dibebani dengan citraan-citraan tentang orang penting. Setiap anak seakan-akan menanggung beban kultural dari orang tua serta lingkungannya untuk menjadi orang terpandang atau orang sukses. Ketika niat menjadi orang terpandang itu tidak terpenuhi, maka seorang tua akan merasa gagal dan dirundung sedih, malah ada yang depresi hingga meninggal dunia.(*)

0 komentar:

Posting Komentar