Ely, Ketampanan, dan Tubuh Berbulu

ELY namanya. Mahasiswa berusia 19 tahun dan berasal dari Ambon, Maluku. Fisiknya gempal, kulitnya hitam legam, dadanya bidang, dan rambutnya awut-awutan seperti rambut Bob Marley, penyanyi asal Jamaika yang terkenal itu. Meski tubuhnya agak pendek, namun ototnya cukup besar dan mungkin alasan itu menyebabkan dirinya suka lebih suka mengenakan baju yang menampakkan otot bisepnya yang cukup besar.

Saya mengenalnya sejak tiga tahun lalu, saat ia pertama terdaftar sebagai mahasiswa baru. Waktu itu, saya melihat para mahasiswa baru berdisko dan mengikuti irama musik. Ely sangat menonjol jika dibandingkan dengan yang lain. Gerakannya atraktif dan sangat terlihat kalau ia mahir untuk urusan disko dan joged. Saat kutanya dari mana asalnya, ia menjawab “Ambon.” Saya langsung maklum sebab pemuda Ambon dikenal sangat pandai berdisko.

Beberapa hari yang lalu, saya berbincang agak lama dengannya. Kami banyak diskusi masalah ketampanan. Saya bercerita bahwa defenisi ketampanan dan kecantikan berbeda-beda di masing-masing kebudayaan. Selama ini, kecantikan sangat identik dengan kulit putih, tubuh kurus, dan rambut lurus. Padahal, di banyak tempat, tubuh seperti itu justru sangat jauh dari ideal. “Waktu diadakan kontes Miss Universe di Afika, banyak perempuan Afrika yang memprotes defenisi cantik tersebut. Mereka bilang, defenisi cantik bagi wanita Afrika adalah tubuh yang gemuk, wajah bundar dan berminyak, serta rambut keriting,” kataku.
Mendengar kalimatku, Ely banyak terdiam dan kemudian mengangguk-angguk. Ia lalu bercerita bahwa di kampungnya tampan dan cantik punya defenisi yang juga agak berbeda. Menurut Ely, defenisi tampan di kampungnya adalah tubuh yang hitam dan berbulu. “Kalau ada cowok yang banyak bulu kaki dan tangannya, maka dibilang ganteng sama orang-orang di kampung,” katanya saat menerangkan. Cowok demikian, kata Ely, menjadi idola gadis-gadis. Makanya, pemuda di kampungnya sangat suka memelihara bulu di tangan dan kaki. Bahkan ketika banyak salon yang menawarkan jasa untuk mencabut bulu kaki, salon tersebut langsung bangkrut.

Lagi kata Ely, kecantikan punya defenisi yang juga berbeda. Kecantikan dalam ukuran warga kampungnya adalah hidung yang mancung. Meskipun sang gadis punya kulit yang kusam dan banyak panu, kalau hidungnya mancung, maka akan dikatakan cantik. “Saya pernah mengenal gadis yang giginya agak mancung (maaf), namun semua orang kampung bilang cantik karena hidungnya mancung kayak film India,” katanya sambil tersenyum.

Bagiku, semua informasi yang disampaikan Ely adalah data kultural yang penting. Ia sedang menyibak fenomena pembakuan defenisi dan konsep yang dimapankan oleh media massa. Ely mengajukan contoh yang menurutku kian menguatkan asumsi bahwa sesungguhnya cara berpikir kita mengalami penyeragaman oleh dunia sosial. Interaksi beragam kebudayaan dalam satu komunitas global ternyata sangat kejam pada berbagai konsep lokal. Bahkan konsep tampan dan cantik di tingkat lokal perlahan digerus oleh defenisi yang dibakukan pada tingkat global. Lantas, apakah selamanya defenisi itu harus kalah? “Saya paham tentang pembakuan itu. Namun saya tidak mau ikut arus. Saya hidup dengan dunia saya sendiri,” kata Ely.

Makanya, Ely memilih hidup nyentrik, ia memilih hidup urakan dan berpenampilan cuek, meskipun ia sesungguhnya berasal dari latar keluarga yang cukup mapan. Dengan cara bepikir dan bertindak demikian, ia sedang melakukan perlawanan pada globalisasi. Hidup Ely!!!!


Makassar, 27 Juni 2008


0 komentar:

Posting Komentar