EKOSISTEM

 

Bukan hanya dipakai dalam biologi, bahkan di dunia bisnis, istilah ekosistem sering disebut. Kita juga sering mendengar istilah Digital Ecosystem. Apakah gerangan?

Dia bernama Jadav Payeng. Di usia 16 tahun, dia melihat banyak hewan mati kepanasan di Sungai Brahmaputra di Mauli, India. Dia melihat sungai yang kering dan daratan yang tandus. Tak ada kehidupan di situ.

Dia punya ide untuk melakukan sesuatu. Ditanaminya kawasan itu secara rutin. Mulanya bambu, setelah itu tanaman lain. Perlahan pemandangannya berubah. Kawasan yang dahulu kering kerontang berubah menjadi hijau. 
 
Luasnya mencapai 550 hektar atau 785 kali luas lapangan sepakbola. Orang menyebut kawasan itu sebagai Hutan Molai, sesuai nama panggilan Jadav Payeng. Hutan luas menjadi cikal bakal dari lahirnya ekosistem di kawasan itu.
 
Jadav Payeng tidak menduga, langkah kecilnya telah menghadirkan ribuan satwa seperti harimau, ular, gajah, badak, rusa, kera, kelinci, dan ratusan burung. Inilah kekuatan ekosistem, yang serupa magnet raksasa bisa menarik jutaan flora dan fauna, membentuk roda kehidupan, dan lingkaran yang saling mendukung.
 
Pendekatan ekosistem dipakai kalangan pebisnis untuk menggambarkan saling hubung dari berbagai unsur dalam satu kawasan. Ekosistem ibarat rumah yang membuat banyak organisme hidup bersama dan saling menopang.
 
Namun adakah cara untuk mengumpulkan hewan tanpa membangun ekosistem? Ada. Yakni dengan membuat kebun binatang. Para hewan dikumpulkan di satu area, kemudian makannya setiap hari disiapkan.
 
Risikonya, saat situasi sulit, hewan tidak mendapat makanan yang sesuai porsinya. Kita pernah membaca publikasi mengenai hewan-hewan yang kurus karena tidak mendapat asupan makanan yang sesuai. Di satu kebun binatang, jatah makan harimau 7 kilogram, dikorupsi pengelola jadi 5 kilogram. Walhasil, harimaunya kurus dan cacingan.
 
Para penggiat teori pembangunan menyamakan upaya pemberian makanan ini dengan subsidi. Untuk mengatasi kemiskinan, pemerintah sering menempuh jalan pintas yakni memberikan subsidi yakng serupa suapan nasi kepada masyarakat miskin.
 
Dalam buku The Prosperity Paradox (2019) yang ditulis Clayton Christensen, menyebut strategi ini sebagai push strategy. Pemerintah memiliki kebijakan fiskal yakni subsidi atau kebijakan moneter melalui kredit murah.
 
Christensen memberi contoh mengenai kota San Francisco. Demi mengatasi kemiskinan, wali kota menggelontorkan dana besar untuk subsidi bagi tuna wisma. Tapi kemiskinan bukannya turun, malah bertambah. Banyak warga yang mencibir dan mengatakan program itu tidak adil. Sebab orang malas dan pengangguran diberi subsidi, sementara orang bekerja dipajaki.
 
Nah, belajar pada Jadav Payeng, yang seharusnya dibangun adalah ekosistem. Bangun hutan. Nanti, berbagai hewan akan berdatangan dan tinggal di situ. Mereka saling menopang sehingga terbentuk lingkaran kehidupan atau the circle of life. Ekosistem akan memberikan kehidupan bagi semua hewan secara adil, tanpa manusia harus memikirkan apa makanan hewan itu.
 
Kata Christensen, strategi Jadav Payeng adalah pull strategy yakni melakukan inovasi sehingga menarik pihak-pihak lain untuk memberikan kontribusi. Christensen mengurai banyak contoh. Di antaranya adalah Tolaram, perusahaan yang memasarkan indomie di Afrika dan menjadi market leader.
 
Awalnya Tolaran susah memasarkan produk mie asal Indonesia itu di pasar Afrika. Dia membangun ekosistem berupa gudang, jaringan listrik, truk-truk etalase, jejaring dengan pengusaha kecil hingga ribuan pengemudi. Kini, Indomie bisa ditemukan di banyak sudut Afrika.
 
Bagaimanakah pull strategy diterapkan di pemerintahan? Saya menyarankan Anda untuk membaca buku Road to Prosperity yang ditulis Prof Rheland Kasali. Buku ini adalah bagian dari MO Series atau Mobilisasi dan Orkestrasi, dua pendekatan yang banyak dipakai di ranah digital.
 
Seperti apakah? Biar saya selesaikan bacaan dulu. Saya baru sampai di halaman 70. Maafkan.


0 komentar:

Posting Komentar