Di abad ke-16, Jepang adalah wilayah yang terus bergejolak. Syair paling sering terdengar adalah sorak-sorai pertempuran, pekik peperangan, dan suara-suara pedang yang beradu.
Ini adalah periode paling brutal dalam sejarah, yang dikenal sebagai masa Sengoku Jidai. Para penguasa feodal yang disebut daimyo saling bersaing dan bertarung untuk menjadi shogun atau penguasa militer kekaisaran.
Di tengah situasi itu, hadir tiga sosok yang memberi sapuan warna pada kanvas sejarah. Mereka adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu. Ketiganya punya karakter amat berbeda. Ketiganya menghadirkan sentuhan berbeda dan membentuk mozaik Jepang yang utuh.
Kisah mereka yang dijuluki the three great unifiers atau tiga sosok pemersatu ini bisa disaksikan dalam serial dokumenter Age of Samurai: Battle for Japan, yang tayang di Netflix, sejak 24 Februari 2021. Saya menyaksikan enam episode serial ini secara maraton. Kelar sekaligus.
Nobunaga digambarkan sebagai sosok yang mengawali ambisi untuk mempersatukan Jepang. Dia adalah sosok yang suka bertempur dan menaklukkan. Pedangnya berkarat karena tetesan darah dari klan atau musuh yang ditaklukkannya.
Hideyoshi adalah sosok pendiam. Dia tidak setangguh Nobunaga dalam bertempur. Dia tidak menguasai bela diri. Mantan anak buah Nobunaga ini hanya manusia biasa yang lahir dari keluarga petani. Namun dia punya kecerdikan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dirinya sukses mempersatukan semua klan, lalu menjadi penguasa tertinggi.
Tokugawa Ieyasu tidak secerdas Hideyoshi. Tapi dia punya kesabaran di atas rata-rata. Saat Hideyoshi mangkat, dia menjadi penguasa tertinggi. Dia menikmati buah kerja Nobunaga dan Hideyoshi yang ingin mempersatukan semua klan di bawah panji kekaisaran.
Saya cukup menikmati alur kronologis semua sosok dalam serial ini. Serial ini cukup memikat karena menghadirkan banyak sejarawan. Mereka adalah Stephen Turnbull, David Spafford, Tomoko Kitagawa, dan lainnya.
Serial ini meluruskan pemahaman saya yang sebelumnya mengira kisah Nobunaga cs hanyalah fiksi. Ternyata, kisah ini bersumber dari fakta sejarah. Dalam serial Netflix, kisahnya dituturkan ulang, dengan menggunakan kronologis, sehingga kita mendapat gambaran utuh.
Satu hal yang saya kritisi, serial ini terlampau hitam putih. Fakta-fakta disajikan secara kronologis dan runtut, khas penulisan sejarah. Peristiwa disajikan secara cepat dan sekilas-sekilas. Kita kehilangan nuansa dan banyak konteks yang seharusnya membantu kita memahami karakter setiap tokoh.
Kita tiba-tiba saja diperkenalkan pada karakter Nobunaga yang dengan tegas membunuh musuh-musuhnya, setelah itu masuk ke Hideyoshi yang menggantikannya. Hideyoshi juga digambarkan sebagai sosok tegas yang mengalahkan pembunuh Nobunaga. Tapi kita tidak mendapatkan gambaran seperti apa dan dengan cara apa Hideyoshi mengalahkan lawannya.
Di titik ini, saya terkenang pada novel Taiko yang ditulis penulis Jepang, Eiji Yoshikawa. Taiko menyajikan kisah periode ini dengan nuansa yang sangat kaya. Taiko menggambarkan semua karakter, mulai dari Nobunaga lalu Hideyoshi, kemudian Tokugawa Ieyashu. Taiko menggambarkan secara manusiawi, tidak fokus pada peristiwa saling serbu dan serang, tetapi memaparkan bagaimana situasi dan konteks politik mengapa mereka harus menghunus samurai.
sampul baru TAIKO, karya Eiji Yoshikawa |
Memang, porsi cerita Taiko lebih fokus pada sosok Hideyoshi. Kisahnya memang inspiratif. Si kurus berwajah monyet ini lahir sebagai anak petani, kemudian menjadi pembantu Nobunaga sebagai pembawa sandal, kemudian menangani dapur, kayu bakar, sampai akhirnya menjadi samurai di barisan Nobunaga.
Namun dia memang dikaruniai kemampuan berdiplomasi, berargumentasi, dan retorika yang bisa mengubah pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu.
Dia seorang samurai yang tak berpedang (swordless samurai). Biarpun tak pandai bertarung, dia tahu dan berhasil bagaimana meneruskan cita-cita Nobunaga sehingga dirinya sukses mempersatukan Jepang. Sayangnya, Hideyoshi tak bisa bertahan lama. Dia pun tewas setelah ambisinya untuk menguasai Korea dan Cina menemui banyak aral. Tokugawa Ieyashu lalu menjadi penerus dan membangun dinasti penguasa dan bertahan selama 300 tahun.
Takdir ketiga sosok ini bisa dilihat pada kalimat yang sangat populer: “Penyatuan kembali seperti membuat nasi. Nobunaga menumbuk padi. Hideyoshi menanak nasi. Pada akhirnya, Ieyasu memakannya 300 tahun.”
Serial di Netflix ini juga gagal memotret utuh karakter orang Jepang. Yang dipaparkan hanya sisi kekerasan dan strategi untuk mengalahkan lawan. Saya yakin penonton akan kehilangan satu sisi penting dari orang Jepang yakni sisi kelembutan, spiritual, juga seni. Serial ini terlalu sejarah, kurang antropologi.
Saya ingat kajian Ruth Benedict yang berjudul “The Chrysanthemum and The Sword” yang diterjemahkan menjadi Pedang Samurai dan Bunga Seruni. Kajiannya pertama kali terbit tahun 1948 dan menjadi literatur klasik dalam antropologi, khususnya yang membahas pola-pola kebudayaan. Kajian ini menjadi pintu bagi bangsa lain untuk mengenal sisi terdalam bangsa Jepang.
Kata Ruth Benedict, pedang adalah simbol kalau orang Jepang selalu memberikan penghormatan terbaik pada mereka yang gugur dalam peperangan. Pedang adalah simbol dari keberanian. Sedangkan bunga seruni adalah simbol dari kasih sayang dan keindahan.
Melalui penuturan Ruth Benedict, kita bisa melihat karakter lelaki Jepang yang membawa pedang, tetapi juga bunga seruni atau bunga krisan. Saya ingat karakter Katsumoto dalam film The Last Samurai yang dibintangi Tom Cruise dan Ken Watanabe. Katsumoto adalah pemimpin klan samurai yang susah menyelesaikan bait terakhir puisinya jelang pertempuran. Bahkan ketika dirinya sekarat karena ditembus peluru dan pedang, dia masih sempat-sempatnya menuntaskan puisinya.
Dua sisi yakni pedang dan bunga telah menjadi karakter bangsa Jepang yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka pendekar berpedang, tetapi sekaligus menjadi pencinta puisi. Semangat bushido dan samurai digunakan untuk mempersatukan dan meraih kejayaan. Sebagaimana dicatat Jared Diamond dalam Upheaval, di era Meiji, Jepang sukses melakukan transformasi dengan membuat ekonominya lebih terbuka.
BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital
Kejayaan samurai berakhir, namun spiritnya terus diwariskan. Di tahun 1905, semangat itu menjelma menjadi kekuatan bagi tentara Jepang untuk mengalahkan Rusia yang lalu membangkitkan spirit bangsa Asia. Semangat itu pula yang membuat pasukan Jepang berani menjemput maut saat perang dunia kedua. Setelah kalah perang, semangat itu hadir dalam hasrat kuat bangsa Jepang untuk membangun kekuatan ekonomi hingga perlahan menguasai dunia.
Hari ini, kita melihat semangat itu dalam kedigdayaan ekonomi serta soft power yang menjadikan negeri itu punya pengaruh kuat di peta dagang dan teknologi. Kita melihat semangat samurai itu hadir dalam banyak lini kehidupan sehingga mereka tetap menjadi bangsa tangguh. Mereka menyerap semua nilai barat, tetapi tidak pernah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Jepang.
Semuanya adalah legacy atau warisan dari para samurai.
3 komentar:
Suka sekali tulisan tulisanya, Mudah difahami & Sarat Makna
Film yang kurang aspek antorpologisnya diperkaya melalui tulisan ini.
Choi Woo-shik dan Kim Da-mi akan reuni dalam sebuah drama Korea (drakor) baru bertajuk "Us That Year".
Posting Komentar