Saat INDIA Tersenyum, INDONESIA Tetap Menangis

Presiden Jokowi dan PM India Narendra Modi sedang bermain layangan bersama


Dilihat dari segala sisi, India adalah negeri yang sama dengan kita. Populasi India malah lebih 1 miliar. Penduduknya banyak kelas menengah ke bawah dan mengais nasib di jalan-jalan. Kemiskinan warganya telah lama digambarkan dalam berbagai film Hollywood dan Bollywood.

Saat pandemi menghantam, pemerintah Indonesia selalu menjadikan India sebagai rujukan. “Lihat India yang lockdown kini ekonominya morat-marit. Lihat India yang sama dengan kita, kini nomor urut dua di daftar negara terparah,” kata seorang pejabat.

Namun, kita luput melihat proses yang sedang bergerak. India tampak sakit dan kepayahan, lalu perlahan mencoba bangkit. Data terbaru menunjukkan, India sukses melandaikan kurva, malah jumlah kasus aktif lebih rendah dari Indonesia. India sukses mengontrol pandemi. 

Kita dapat mahkota sebagai kasus aktif Covid terbanyak di Asia. Jika melihat kerja keras negara-negara lain dan betapa lambannya kita, tak lama lagi kita akan menggantikan posisi India sebagai negara kedua terparah di dunia.

Lantas, apa yang hendak kita katakan?

Marilah sejenak kita berkaca pada India. Negeri itu memang fenomenal. Sejak awal tidak pernah menyembunyikan berapa jumlah warga yang terpapar. Jumlah yang terpapar terus bertambah hingga menggunung.

Sastrawan Arundhati Roy menulis esai mengenai lockdown menjadi kiamat bagi warga miskin India yang terpaksa harus berjalan kaki hingga ratusan kilometer demi kembali ke kampung halamannya. Virus ini telah mengubah makna normalitas menjadi sesuatu yang tidak normal.

Perbandingan India dan Indonesia (sumber: pandemictalks)


Namun pemerintah India tetap fokus pada rencana-rencana. Strateginya tidak canggih-canggih amat. Strateginya hanya mengikuti protokol penyelesaian pandemi yang standar yakni 3t: Test, Trace, dan Treat.

Mulanya India memberlakukan lockdown. Polisi turun ke jalan-jalan dan memukuli warga yang berkeliaran. Seiring dengan munculnya protes berbagai kalangan yang menilai kebijakan itu menghancurkan ekonomi, perlahan dilonggarkan. Namun bukan berarti pemerintah dan nakes diam saja. Mereka menggelar test dan trace secara massif dan besar-besaran.

Pemerintah India melakukan 5,2 juta tes per minggu. Ini jumlah yang cukup besar. India melakukan kombinasi tes Rapid Antigen dan tes PCR sehingga semua kasus positif segera dideteksi.  Semua warga dites Rapid Antigen. Ketika positif, dilaporkan sebagai kasus. Jika negatif, maka wajib untuk jalani tes PCR lagi untuk memastikan akurasinya. 

Prosedur ini memang melelahkan, tetapi semua rakyat India mematuhinya sebab itulah jalan untuk keluar dari belukar persoalan.

Petugas kesehatan mendatangi rumah-rumah, lalu mengetes warga. Semua yang positif langsung diisolasi. Kontaknya segera ditelusuri kemudian dites. Sebanyak 80 persen kontak erat harus ditelusuri dalam 72 jam. Ketika diketahui positif, maka langsung diisolasi.

Jumlah laboratorium ditingkatkan. Tadinya hanya 123 di bulan Juni, berubah menjadi 2.360 di bulan Desember. India mengajak semua swasta untuk terlibat menanggulangi pandemi. Ekonomi terpuruk akan menjadi ancaman bagi semua pihak, baik itu pemerintah maupun swasta.

Kerja keras itu kini berbuah. India memanen apa-apa yang sudah ditanam sejak masa terpuruk, sejak dunia mencatat mereka sebagai negeri terparah setelah Amerika Serikat. 

Memang, kasus aktif di India sempat menembus 1 juta orang pada pertengahan September 2020. Namun, perlahan kurvanya mulai menunjukkan penurunan dan terus menurun pada akhir Januari. Bahkan, India kini mencatatkan kasus aktif terendah sejak Juni 2020.

Dikutip dari Worldmeters, total kasus positif Covid di India adalah 10,7 juta orang. Namun kasus aktifnya kini hanya berjumlah 170.203 orang. 

Bandingkan dengan Indonesia, yang total kasusnya adalah 1 juta, dan kasus aktifnya sebanyak 175.095 orang. Indonesia menunjukkan tren yang terus meningkat sejak November 2020 hingga Januari kemarin.  Indonesia menjadi negara ke-15 dengan kasus aktif terbanyak di dunia, sedangkan India satu tingkat di bawahnya yakni ke-16.


Penambahan kasus harian Covid-19 di Indonesia pada Minggu kemarin juga lebih tinggi dari India. Di saat Indonesia menambah 12.001 kasus positif dalam sehari, kasus di India bertambah 11.528 orang. Kasus aktif Covid ini terjadi seiring dengan banyaknya jumlah testing yang dilakukan. India dengan populasi 1,3 miliar penduduk sudah mampu melakukan testing terhadap 196,5 juta penduduk.

Sedangkan Indonesia, dengan populasi 275 juta penduduk atau dengan penduduk sekitar seperlima lebih sedikit dari India, baru mampu melakukan total 9,2 juta testing.Sama seperti Indonesia, India telah memulai program vaksinasi pada 16 Januari 2021, yang menyasar kelompok prioritas tenaga kesehatan. Tapi, lagi-lagi India bergerak lebih cepat. India menargetkan, di bulan Juli nanti, sudah lebih 300 juta warganya yang divaksin. 

Sementara Indonesia menargetkan jumlah yang divaksin selama setahun ini bisa 180 juta orang. Melihat lambatnya proses vaksin karena banyak hoaks dan debat, sepertinya target Indonesia tidak realistis. Dalam dua pekan kurang dari 300 ribu orang yang divaksin. Jika kecepatannya seperti itu, butuh lima tahun untuk menyelesaikannya.

Baris-Baris Refleksi 

Dalam situasi pandemi begini, tidak tepat mencari salah dan benar. Namun, yang terasa bagi saya sebagai warga, pemerintah tidak benar-benar menjadi sains sebagai pijakan dalam membuat kebijakan publik.

Sejak awal, pemerintah lebih mengkhawatirkan ekonomi ketimbang kesehatan. Lihat saja, pemimpin satgas penanganan Covid adalah Airlangga Hartarto, dan wakilnya adalah Erick Tohir. Pemilihan mereka menunjukkan betapa pemerintah hanya memikirkan ekonomi, tanpa memikirkan dampak virus bagi masyarakat. Kita tidak membangun sinergi antara ahli epidemologi (untuk test dan trace), ahli medis dan biologi molekuler (untuk treat), dan ahli kebijakan publik. Kita menyerahkan semua ke politisi.

Di sisi lain, perlawanan semesta masyarakat kita seperti gaya bermain PSSI yang penuh semangat di awal, setelah itu ngos-ngosan di babak kedua. Kita tidak punya konsistensi untuk mengawal kebijakan hingga kurva perlahan diturunkan.

Banyak hal bisa diurai. Di antaranya, otonomi daerah menyebabkan rentang kendali Kementerian Kesehatan tidak sampai ke daerah-daerah sebab mesti berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Di sisi lain, bisa dilihat lemahnya leadership di kalangan kepala daerah, malah banyak yang masih menganggap Covid hanya konspirasi global.

Pendekatan pemerintah, baik pusat maupun daerah, sama-sama politis. Pemerintah menghindari lockdown dan melahirkan banyak istilah. Di sisi lain, pemerintah daerah hanya bisa menyalahkan pusat, seakan abai kalau dirinya punya kewenangan, yang tidak hanya melakukan tes masif, tapi bisa mengintervensi ke bawah sehingga kurva positif bisa melandai.

Jika situasi terus seperti ini, sepertinya India akan terus berlari ke depan dan memandang kita dengan senyuman. Mereka melaju bukan karena strategi yang hebat-hebat amat, namun konsisten menerapkan panduan yang sudah digariskan di kelas-kelas epidemologi.

Kita hanya gigit jari, sembari berharap-harap cemas semoga investor tidak malah lari, semoga ekonomi tidak terus memburuk, semoga pemerintah punya cadangan untuk menuntaskan semua janji-janji kampanye, semoga citra tetap naik agar kepala negara mendatang tidak jauh-jauh dari lingkar kekuasaan sekarang, semoga rakyat Indonesia tetap tegak menghadapi bencana.

Semoga badai segera berlalu.


0 komentar:

Posting Komentar